LPG: Antara bisnis dan subsidi
A
A
A
RENCANA kenaikan harga LPG 12 kg sudah diwacanakan sejak tahun lalu. Pertamina berencana menaikkan harga gas elpiji sebesar Rp25.400 per tabung atau menjadi Rp95.600 per tabung sebab sejak Oktober 2009 tidak pernah menaikkan harga.
Tapi, rencana ini akhirnya urung dilakukan karena saat bersamaan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga berencana menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Pertamina akhirnya mengikuti saran pemerintah dengan menunda rencana kenaikan harga gas elpiji agar tidak semakin memberatkan masyarakat.
Bisnis LPG
LPG merupakan gas hidrokarbon produksi dari kilang minyak dan kilang gas dengan komponen utama gas propana (C3H8) dan butana (C4H10). Di Indonesia, LPG digunakan terutama sebagai bahan bakar untuk memasak. Konsumen LPG bervariasi, mulai dari rumah tangga, kalangan komersial seperti restoran dan hotel, hingga industri. Di kalangan industri, LPG digunakan sebagai bahan bakar pada industri makanan, keramik, gelas, serta bahan bakar forklift.
Selain itu, LPG juga dapat digunakan sebagai bahan baku pada industri aerosol serta refrigerant ramah lingkungan. LPG direkomendasikan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena hasil pembakaran LPG bersih dengan emisi yang rendah, pembakarannya menghasilkan nilai kalori yang tinggi dan stabil, tidak meninggalkan bau dan jelaga, distribusinya relatif mudah, serta ramah lingkungan.
Bisnis Elpiji (nama merek produk LPG keluaran Pertamina) dengan ukuran tabung 12 kg salah satu bisnis yang dikelola Pertamina. Bisnis Elpiji 12 kg tak ubahnya seperti Pertamax, harganya mengikuti naik atau turun nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Namun, bisnis ini justru dilakukan dengan sistem penetapan harganya tak mengikuti kurs. Sejak 2010 penjualan LPG 12 kg terus mengalami kenaikan penjualan.
Hingga 2013 Pertamina telah berhasil menjual 975.898 MT. Namun, kenaikan penjualan tak dibarengi dengan kenaikan profit. Itu justru membuat Pertamina semakin merugi. Ini juga didukung dengan pengadaan LPG dengan impor yang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Sementara kilang Pertamina hanya mampu menyediakan 12% dan perusahaan swasta domestik mampu berkontribusi sebesar 31%.
Angka impor LPG kini mencapai 57%. Tingginya impor LPG ini memengaruhi harga pengadaan LPG. Dampak dari penetapan harga yang selama ini berlaku dapat dirasakan saat ini yakni Pertamina mengalami kerugian dari tahun ke tahun. Pada 2013 kerugian Pertamina dari Bisnis Elpiji 12 kg diperkirakan mencapai Rp6 triliun per tahun.
Sejak 2008 hingga saat ini Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp22 triliun dengan tren yang meningkat. Ini bukanlah jumlah yang sedikit sebab uang sebesar itu bisa membantu Pertamina untuk investasi di hulu migas dengan mengakuisisi blok-blok yang saat ini banyak dikuasai asing.
Rasionalisasi kenaikan harga elpiji 12 kg
Harga LPG nonsubsidi Indonesia merupakan yang termurah dibandingkan beberapa negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, China, dan India yang berkisar Rp12.600 per kg hingga Rp20.000 per kg. Indonesia juga termasuk negara yang paling banyak memberikan subsidi bagi LPG, dibandingkan Malaysia dan Thailand.
Sementara negara-negara Asia lain umumnya tak memberikan subsidi seperti Filipina, China, Korsel, dan Jepang. Secara sederhana, rasionalisasi kenaikan harga elpiji 12 kg didasarkan pada harga jual elpiji yang berkisar Rp4.944 per kg. Sementara harga keekonomian mencapai Rp10.785 per kg. Selisih Rp5.841 per kg akhirnya ditanggung Pertamina.
Jika pada 2013 penjualan elpiji mencapai 977.000 MT, kerugian yang ditanggung Pertamina sekitar Rp5,7 Triliun. Harga bahan baku elpiji yang dibeli Pertamina mengacu pada CP Aramco, di mana harga gas menyumbang sekitar 80–90%. Sisanya yang 10–20% ditentukan oleh biaya pendistribusian dan penyimpanan.
Kerugian dari bisnis ini disebabkan oleh dua faktor utama yakni tingginya harga keekonomian elpiji 12 kg dan ada pengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Sebagai ilustrasi, apabila harga elpiji 12 kg dinaikkan Rp3.500 per kg atau Rp42.000 per tabung, bisa menekan kerugian Pertamina sampai hampir Rp3 triliun per tahun. Dengan catatan, kenaikan tersebut berlaku mulai 1 Januari 2014.
Idealnya, untuk menutupi kerugian perusahaan, kenaikannya sebesar Rp6.250 per kg. Namun, kenaikan itu cukup di angka Rp3.500 per kg. Konsumen elpiji 12 kg yang merupakan kelas menengah atas dikonsumsi masyarakat sekitar 1 tabung dalam 1 atau 1,5 bulan. Berdasarkan kecenderungan konsumsi LPG masyarakat ini, pengeluaran masyarakat akan bertambah berkisar Rp28.000– 42.000 per bulan.
LPG 3 kg bersubsidi
Untuk konsumen ekonomi lemah dan usaha mikro, pemerintah telah menyediakan LPG 3 kg bersubsidi yang harganya lebih murah. Penyediaan tabung LPG ini konsekuensi dari konversi minyak tanah ke gas yang telah dilakukan sejak 2006. Program konversi ini telah membawa dampak yang signifikan pada perubahan perilaku masyarakat untuk mengonsumsi LPG dalam memenuhi kebutuhan energi sehari-hari, terutama untuk kebutuhan memasak.
Program ini diklaim oleh kementrian ESDM sebagi program yang 90% berhasil. Program konversi minyak tanah ke LPG telah menjangkau hampir sekitar 48 juta keluarga dan usaha kecil dan menengah (UKM) di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Pemakaian LPG menggantikan minyak tanah telah terbukti memberikan keuntungan ekonomis. Pemakaian LPG yang memiliki nilai kalori sebesar 11.254,61 kcal/kg (minyak tanah sebesar 10.478,95 kcal/kg) dengan kesetaraan satu liter minyak tanah setara 0,57 kg LPG, pemakaian LPG memberikan penghematan sekitar Rp16.500 hingga Rp29.250 bagi setiap keluarga yang menjadi sasaran program konversi ini.
Bagi negara hingga saat ini telah memberikan penghematan sekitar Rp25 triliun. Jika kenaikan harga LPG 12 kg mendapatkan lampu hijau dari Kementerian BUMN selaku pemegang saham, laju kerugian Pertamina dapat direm. Pertamina sebagai BUMN mempunyai dua fungsi yakni sebagai entitas bisnis dan sebagai pelayanan masyarakat yang menyediakan kebutuhan migas.
Kenaikan harga gas nonsubsidi perlu dilakukan Pertamina dalam menjalankan perannya sebagai entitas bisnis sebab profitabilitas yang diterimanya selain untuk membiayai pembangunan juga sebagai salah satu modal ekspansi bisnis.
Dengan profitabilitas yang tinggi, Pertamina diharapkan mampu melakukan ekspansi bisnis dengan menguasai ladang-ladang migas di dalam dan luar negeri.
PRIMA MULYASARI AGUSTINI
Praktisi Komunikasi, Pemerhati Masalah Energi dan BUMN, Peneliti pada Pusat Studi Komunikasi dan Bisnis Pascasarjana Universitas Mercu Buana Jakarta
Tapi, rencana ini akhirnya urung dilakukan karena saat bersamaan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga berencana menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Pertamina akhirnya mengikuti saran pemerintah dengan menunda rencana kenaikan harga gas elpiji agar tidak semakin memberatkan masyarakat.
Bisnis LPG
LPG merupakan gas hidrokarbon produksi dari kilang minyak dan kilang gas dengan komponen utama gas propana (C3H8) dan butana (C4H10). Di Indonesia, LPG digunakan terutama sebagai bahan bakar untuk memasak. Konsumen LPG bervariasi, mulai dari rumah tangga, kalangan komersial seperti restoran dan hotel, hingga industri. Di kalangan industri, LPG digunakan sebagai bahan bakar pada industri makanan, keramik, gelas, serta bahan bakar forklift.
Selain itu, LPG juga dapat digunakan sebagai bahan baku pada industri aerosol serta refrigerant ramah lingkungan. LPG direkomendasikan untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari karena hasil pembakaran LPG bersih dengan emisi yang rendah, pembakarannya menghasilkan nilai kalori yang tinggi dan stabil, tidak meninggalkan bau dan jelaga, distribusinya relatif mudah, serta ramah lingkungan.
Bisnis Elpiji (nama merek produk LPG keluaran Pertamina) dengan ukuran tabung 12 kg salah satu bisnis yang dikelola Pertamina. Bisnis Elpiji 12 kg tak ubahnya seperti Pertamax, harganya mengikuti naik atau turun nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Namun, bisnis ini justru dilakukan dengan sistem penetapan harganya tak mengikuti kurs. Sejak 2010 penjualan LPG 12 kg terus mengalami kenaikan penjualan.
Hingga 2013 Pertamina telah berhasil menjual 975.898 MT. Namun, kenaikan penjualan tak dibarengi dengan kenaikan profit. Itu justru membuat Pertamina semakin merugi. Ini juga didukung dengan pengadaan LPG dengan impor yang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Sementara kilang Pertamina hanya mampu menyediakan 12% dan perusahaan swasta domestik mampu berkontribusi sebesar 31%.
Angka impor LPG kini mencapai 57%. Tingginya impor LPG ini memengaruhi harga pengadaan LPG. Dampak dari penetapan harga yang selama ini berlaku dapat dirasakan saat ini yakni Pertamina mengalami kerugian dari tahun ke tahun. Pada 2013 kerugian Pertamina dari Bisnis Elpiji 12 kg diperkirakan mencapai Rp6 triliun per tahun.
Sejak 2008 hingga saat ini Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp22 triliun dengan tren yang meningkat. Ini bukanlah jumlah yang sedikit sebab uang sebesar itu bisa membantu Pertamina untuk investasi di hulu migas dengan mengakuisisi blok-blok yang saat ini banyak dikuasai asing.
Rasionalisasi kenaikan harga elpiji 12 kg
Harga LPG nonsubsidi Indonesia merupakan yang termurah dibandingkan beberapa negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, China, dan India yang berkisar Rp12.600 per kg hingga Rp20.000 per kg. Indonesia juga termasuk negara yang paling banyak memberikan subsidi bagi LPG, dibandingkan Malaysia dan Thailand.
Sementara negara-negara Asia lain umumnya tak memberikan subsidi seperti Filipina, China, Korsel, dan Jepang. Secara sederhana, rasionalisasi kenaikan harga elpiji 12 kg didasarkan pada harga jual elpiji yang berkisar Rp4.944 per kg. Sementara harga keekonomian mencapai Rp10.785 per kg. Selisih Rp5.841 per kg akhirnya ditanggung Pertamina.
Jika pada 2013 penjualan elpiji mencapai 977.000 MT, kerugian yang ditanggung Pertamina sekitar Rp5,7 Triliun. Harga bahan baku elpiji yang dibeli Pertamina mengacu pada CP Aramco, di mana harga gas menyumbang sekitar 80–90%. Sisanya yang 10–20% ditentukan oleh biaya pendistribusian dan penyimpanan.
Kerugian dari bisnis ini disebabkan oleh dua faktor utama yakni tingginya harga keekonomian elpiji 12 kg dan ada pengaruh nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Sebagai ilustrasi, apabila harga elpiji 12 kg dinaikkan Rp3.500 per kg atau Rp42.000 per tabung, bisa menekan kerugian Pertamina sampai hampir Rp3 triliun per tahun. Dengan catatan, kenaikan tersebut berlaku mulai 1 Januari 2014.
Idealnya, untuk menutupi kerugian perusahaan, kenaikannya sebesar Rp6.250 per kg. Namun, kenaikan itu cukup di angka Rp3.500 per kg. Konsumen elpiji 12 kg yang merupakan kelas menengah atas dikonsumsi masyarakat sekitar 1 tabung dalam 1 atau 1,5 bulan. Berdasarkan kecenderungan konsumsi LPG masyarakat ini, pengeluaran masyarakat akan bertambah berkisar Rp28.000– 42.000 per bulan.
LPG 3 kg bersubsidi
Untuk konsumen ekonomi lemah dan usaha mikro, pemerintah telah menyediakan LPG 3 kg bersubsidi yang harganya lebih murah. Penyediaan tabung LPG ini konsekuensi dari konversi minyak tanah ke gas yang telah dilakukan sejak 2006. Program konversi ini telah membawa dampak yang signifikan pada perubahan perilaku masyarakat untuk mengonsumsi LPG dalam memenuhi kebutuhan energi sehari-hari, terutama untuk kebutuhan memasak.
Program ini diklaim oleh kementrian ESDM sebagi program yang 90% berhasil. Program konversi minyak tanah ke LPG telah menjangkau hampir sekitar 48 juta keluarga dan usaha kecil dan menengah (UKM) di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Pemakaian LPG menggantikan minyak tanah telah terbukti memberikan keuntungan ekonomis. Pemakaian LPG yang memiliki nilai kalori sebesar 11.254,61 kcal/kg (minyak tanah sebesar 10.478,95 kcal/kg) dengan kesetaraan satu liter minyak tanah setara 0,57 kg LPG, pemakaian LPG memberikan penghematan sekitar Rp16.500 hingga Rp29.250 bagi setiap keluarga yang menjadi sasaran program konversi ini.
Bagi negara hingga saat ini telah memberikan penghematan sekitar Rp25 triliun. Jika kenaikan harga LPG 12 kg mendapatkan lampu hijau dari Kementerian BUMN selaku pemegang saham, laju kerugian Pertamina dapat direm. Pertamina sebagai BUMN mempunyai dua fungsi yakni sebagai entitas bisnis dan sebagai pelayanan masyarakat yang menyediakan kebutuhan migas.
Kenaikan harga gas nonsubsidi perlu dilakukan Pertamina dalam menjalankan perannya sebagai entitas bisnis sebab profitabilitas yang diterimanya selain untuk membiayai pembangunan juga sebagai salah satu modal ekspansi bisnis.
Dengan profitabilitas yang tinggi, Pertamina diharapkan mampu melakukan ekspansi bisnis dengan menguasai ladang-ladang migas di dalam dan luar negeri.
PRIMA MULYASARI AGUSTINI
Praktisi Komunikasi, Pemerhati Masalah Energi dan BUMN, Peneliti pada Pusat Studi Komunikasi dan Bisnis Pascasarjana Universitas Mercu Buana Jakarta
(nfl)