UU Desa serta Birokrasi Bersih dan Melayani
A
A
A
BANYAK masyarakat yang “mengecilkan” segala sesuatu hal yang berkenaan dengan “desa”. Desa seringkali identikdenganistilahudik, kampungan, terbelakang, ketinggalan zaman, dan istilah lain yang menjadikan desa sebagai sesuatu yang marginal. Padahal, desa adalah elemen penting dari berdirinya sebuah bangsa, sebuah negara.
Desa adalah partikel penyangga kehidupan kota. Tanpa desa dan segala kehidupan di dalamnya, tentu masyarakat kota tak mampu hidup tanpa peran produktivitas desa, di antaranya tak ada pasokan sayur, buah, hasil alam lainnya, bahkan tenaga kerja. Sebagai negara dengan jumlah wilayah yang begitu luas, Indonesia memiliki desa dengan jumlah yang amat banyak. Kemendagri (2013) mencatat bahwa ada 72.944 desa di Indonesia saat ini.
Jika melihat sebesar apa pengaruh kegiatan masyarakat desa terhadap keberlangsungan kehidupan kota, kita akan tahu persis seberapa besar penting memperhatikan perbaikan pembangunan desa. Lantas masih pantaskah kita mendiskreditkan desa yang berjumlah begitu banyak di Indonesia? Selama ini desa-desa di Indonesia mengalami banyak kendala dalam pembangunannya. Itulah mengapa desa kerapkali terlambat dalam mengikuti perkembangan zaman.
Jika melihat lebih jauh, setidaknya terdapat dua kendala besar dan utama yang menyebabkan desa mengalami kesulitan dalam pembangunan.
Pertama, minim dana atau dengan kata lain sumber pendapatan desa. Kedua, ketidakjelasan status sumber daya manusia yang bekerja di pemerintahan desa. Permasalahan keuangan dan sumber daya manusia tentu berpengaruh ke dalam pembangunan desa secara spesifik terhadap kualitas pengelola desa dan kinerja mereka. Ini yang menjadikan banyak stakeholder desa menuntut perbaikan landasan hukum pembangunan desa.
Setelah menempuh berbagai pengorbanan panjang dari para pemangku, pada 18 Desember lalu UU Desa secara resmi telah disahkan oleh DPR RI. UU yang begitu dinantikan banyak stakeholder desa akhirnya rampung dan menjadi payung hukum perbaikan desa.
UU desa muncul layaknya pahlawan perubahan desa di Indonesia. UU ini pun dibuat dengan tujuan tercapai pembangunan desa yang lebih baik karena UU ini akan menjadi dasar kebijakan wewenang bagi para kepala desa untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan.
UU Desa secara spesifik mengatur setidaknya lima hal yakni Pembangunan Desa; Keuangan, Aset, dan BUM Desa; Pembangunan Kawasan Perdesaan; Kerja Sama Antardesa; serta Lembaga Kemasyarakatan Desa. Salah satu hal yang akhir-akhir ini paling disoroti banyak kalangan dalam UU Desa adalah kebijakan terkait sumber pendapatan desa. Tidak aneh mengapa masalah ini yang seringkali dibahas pascapengesahan UU Desa.
Tidak lain tidak bukan adalah karena banyak pelaku pemerintahan yang menyalahgunakan wewenangnya dalam mengelola uang rakyat. Karena itu, menganalisis lebih jauh tentang ini dirasa perlu agar kita semua memahami apa saja langkah preventif yang dapat ditempuh agar pelaksanaan UU Desa, terutama terkait pengelolaan sumber pendapatan desa, tidak disalahgunakan.
Pendapatan desa dari APBN menjadi lebih besar dengan UU Desa. Pasal 27 dalam UU Desa menyebutkan bahwa desa akan memperoleh 10% dari alokasi dana transfer ke daerah, 10% dari pajak dan retribusi daerah, 10% dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil, dana bantuan dari APBD provinsi atau kabupaten, dan hibah atau sumbangan yang tidak mengikat pihak ketiga.
Jika sungguh-sungguh diterapkan sesuai tujuan, UU Desa akan mampu menciptakan perubahan dalam pembangunan desa. Pendapatan desa ibarat modal pembangunan.
Dengan pendapatan desa yang besar, pembangunan akan mencapai titik yang optimal. Sebagai contoh, infrastruktur desa akan lebih mudah dibangun. Contoh lainnya kinerja perangkat desa akan dapat ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan yang tentu membutuhkan biaya yang besar dalam pelaksanaannya.
Pendapatan desa yang besar akan menjadi faktor pendukung utama dalam kebijakan pembangunan desa. Sayangnya, dampak negatif juga sangat mungkin terjadi dengan pengaturan baru mengenai sumber pendapatan desa ini.
Tentu kita tak lupa bahwa banyak pemekaran daerah baru di Indonesia memunculkan “raja-raja kecil”. Korupsi tak lagi menjadi santapan elite pemerintahan pusat, tapi juga oleh elite pemerintahan daerah, termasuk desa.
Maka itu, jika perbaikan pembangunan desa yang optimal ingin tercapai, perangkat desa perlu melaksanakan beberapa hal untuk mendukung pencapaian tujuan UU Desa. Setidaknya terdapat dua hal yang perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan implementasi UU Desa di antaranya membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan desa.
Pertama, kepala desa harus menerapkan sistem birokrasi bersih dan melayani. Penerapan birokrasi bersih dan melayani ini salah satu elemen pendukung keberhasilan implementasi UU Desa. Kepala desa tentu menjadi penentu utama dalam penerapan faktor pendukung pertama ini, terlebih dalam pengelolaan dana pendapatan desa.
Kepala desa tidak boleh menggunakan wewenangnya tanpa batas. Adapun yang dapat dilakukan untuk mencapai birokrasi yang bersih dan melayani adalah penerapan unsurunsur transparansi, akuntabilitas, serta perubahan mindset aparatur desa. Hal kedua yang perlu dilakukan untuk mendukung optimalisasi tujuan UU Desa adalah perencanaan kebijakan desa yang ideal.
Anderson (2006) mengungkapkan, dalam membuat dan memilih sebuah kebijakan, setidaknya terdapat enam kriteria yaitu (1) nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan maupun ideologi; (2) afiliasi partai politik; (3) kepentingan konstituen; (4) opini publik; (5) penghormatan terhadap pihak lain; serta (6) aturan kebijakan. Inilah yang perlu dilakukan kepala desa dalam membuat kebijakan demi mencapai tujuan UU Desa yang optimal.
Seorang kepala desa tidak bisa sekadar menjalankan tugasnya sebagai pelaksana UU Desa tanpa disertai kemampuan untuk membuat kebijakan yang sesuai kriteria-kriteria di atas. Kesalahan yang paling sering terjadi dalam pembuatan kebijakan di desa adalah tidak memperhatikan karakter masyarakat dan kondisi lingkungan desa tersebut yang merupakan kebutuhan mereka.
Masyarakat desa seringkali dijadikan objek pembangunan, padahal seharusnya mereka subjek pembangunan desa. Pemerintah desa bisa menggunakan sistem musrenbang dengan baik jika menginginkan perbaikan pembangunan desa yang maksimal. Dalam membuat kebijakan, kepala desa perlu mendengarkan kebutuhan rakyatnya agar kebijakan yang dibuat tidak salah sasaran dan kontekstual.
UU Desa masih membutuhkan dukungan para kepala desa demi mewujudkan perbaikan pembangunan desa. Tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan kerja keras dan kepedulian para stakeholderdesa. Rakyat desa tidak boleh lagi menjadi masyarakat yang termarginalkan dalam pembangunan bangsa. Formulasi UU Desa dan Birokrasi Bersih dan Melayani akan menjadi jaminan tercipta pembangunan desa yang lebih baik.
Indonesia tanpa desa yang terbangun dengan baik tidak akan mampu menjadi bangsa yang kokoh. Memulai dengan UU Desa, meneguhkan dengan birokrasi bersih dan melayani, sambutlah Indonesia yang berdiri dengan desa sebagai penyangga kemajuan bangsa. Selamat datang UU desa dan mari terapkan birokrasi bersih dan melayani sebagai paket keberhasilan dan kemakmuran desa di seluruh Nusantara.
DR DEWI ARYANI, M SI
Anggota DPR RI FPDI Perjuangan,
Duta Reformasi Birokrasi Indonesia
Desa adalah partikel penyangga kehidupan kota. Tanpa desa dan segala kehidupan di dalamnya, tentu masyarakat kota tak mampu hidup tanpa peran produktivitas desa, di antaranya tak ada pasokan sayur, buah, hasil alam lainnya, bahkan tenaga kerja. Sebagai negara dengan jumlah wilayah yang begitu luas, Indonesia memiliki desa dengan jumlah yang amat banyak. Kemendagri (2013) mencatat bahwa ada 72.944 desa di Indonesia saat ini.
Jika melihat sebesar apa pengaruh kegiatan masyarakat desa terhadap keberlangsungan kehidupan kota, kita akan tahu persis seberapa besar penting memperhatikan perbaikan pembangunan desa. Lantas masih pantaskah kita mendiskreditkan desa yang berjumlah begitu banyak di Indonesia? Selama ini desa-desa di Indonesia mengalami banyak kendala dalam pembangunannya. Itulah mengapa desa kerapkali terlambat dalam mengikuti perkembangan zaman.
Jika melihat lebih jauh, setidaknya terdapat dua kendala besar dan utama yang menyebabkan desa mengalami kesulitan dalam pembangunan.
Pertama, minim dana atau dengan kata lain sumber pendapatan desa. Kedua, ketidakjelasan status sumber daya manusia yang bekerja di pemerintahan desa. Permasalahan keuangan dan sumber daya manusia tentu berpengaruh ke dalam pembangunan desa secara spesifik terhadap kualitas pengelola desa dan kinerja mereka. Ini yang menjadikan banyak stakeholder desa menuntut perbaikan landasan hukum pembangunan desa.
Setelah menempuh berbagai pengorbanan panjang dari para pemangku, pada 18 Desember lalu UU Desa secara resmi telah disahkan oleh DPR RI. UU yang begitu dinantikan banyak stakeholder desa akhirnya rampung dan menjadi payung hukum perbaikan desa.
UU desa muncul layaknya pahlawan perubahan desa di Indonesia. UU ini pun dibuat dengan tujuan tercapai pembangunan desa yang lebih baik karena UU ini akan menjadi dasar kebijakan wewenang bagi para kepala desa untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan.
UU Desa secara spesifik mengatur setidaknya lima hal yakni Pembangunan Desa; Keuangan, Aset, dan BUM Desa; Pembangunan Kawasan Perdesaan; Kerja Sama Antardesa; serta Lembaga Kemasyarakatan Desa. Salah satu hal yang akhir-akhir ini paling disoroti banyak kalangan dalam UU Desa adalah kebijakan terkait sumber pendapatan desa. Tidak aneh mengapa masalah ini yang seringkali dibahas pascapengesahan UU Desa.
Tidak lain tidak bukan adalah karena banyak pelaku pemerintahan yang menyalahgunakan wewenangnya dalam mengelola uang rakyat. Karena itu, menganalisis lebih jauh tentang ini dirasa perlu agar kita semua memahami apa saja langkah preventif yang dapat ditempuh agar pelaksanaan UU Desa, terutama terkait pengelolaan sumber pendapatan desa, tidak disalahgunakan.
Pendapatan desa dari APBN menjadi lebih besar dengan UU Desa. Pasal 27 dalam UU Desa menyebutkan bahwa desa akan memperoleh 10% dari alokasi dana transfer ke daerah, 10% dari pajak dan retribusi daerah, 10% dari dana alokasi umum dan dana bagi hasil, dana bantuan dari APBD provinsi atau kabupaten, dan hibah atau sumbangan yang tidak mengikat pihak ketiga.
Jika sungguh-sungguh diterapkan sesuai tujuan, UU Desa akan mampu menciptakan perubahan dalam pembangunan desa. Pendapatan desa ibarat modal pembangunan.
Dengan pendapatan desa yang besar, pembangunan akan mencapai titik yang optimal. Sebagai contoh, infrastruktur desa akan lebih mudah dibangun. Contoh lainnya kinerja perangkat desa akan dapat ditingkatkan melalui pelatihan-pelatihan yang tentu membutuhkan biaya yang besar dalam pelaksanaannya.
Pendapatan desa yang besar akan menjadi faktor pendukung utama dalam kebijakan pembangunan desa. Sayangnya, dampak negatif juga sangat mungkin terjadi dengan pengaturan baru mengenai sumber pendapatan desa ini.
Tentu kita tak lupa bahwa banyak pemekaran daerah baru di Indonesia memunculkan “raja-raja kecil”. Korupsi tak lagi menjadi santapan elite pemerintahan pusat, tapi juga oleh elite pemerintahan daerah, termasuk desa.
Maka itu, jika perbaikan pembangunan desa yang optimal ingin tercapai, perangkat desa perlu melaksanakan beberapa hal untuk mendukung pencapaian tujuan UU Desa. Setidaknya terdapat dua hal yang perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan implementasi UU Desa di antaranya membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan desa.
Pertama, kepala desa harus menerapkan sistem birokrasi bersih dan melayani. Penerapan birokrasi bersih dan melayani ini salah satu elemen pendukung keberhasilan implementasi UU Desa. Kepala desa tentu menjadi penentu utama dalam penerapan faktor pendukung pertama ini, terlebih dalam pengelolaan dana pendapatan desa.
Kepala desa tidak boleh menggunakan wewenangnya tanpa batas. Adapun yang dapat dilakukan untuk mencapai birokrasi yang bersih dan melayani adalah penerapan unsurunsur transparansi, akuntabilitas, serta perubahan mindset aparatur desa. Hal kedua yang perlu dilakukan untuk mendukung optimalisasi tujuan UU Desa adalah perencanaan kebijakan desa yang ideal.
Anderson (2006) mengungkapkan, dalam membuat dan memilih sebuah kebijakan, setidaknya terdapat enam kriteria yaitu (1) nilai-nilai yang dianut baik oleh organisasi, profesi, individu, kebijakan maupun ideologi; (2) afiliasi partai politik; (3) kepentingan konstituen; (4) opini publik; (5) penghormatan terhadap pihak lain; serta (6) aturan kebijakan. Inilah yang perlu dilakukan kepala desa dalam membuat kebijakan demi mencapai tujuan UU Desa yang optimal.
Seorang kepala desa tidak bisa sekadar menjalankan tugasnya sebagai pelaksana UU Desa tanpa disertai kemampuan untuk membuat kebijakan yang sesuai kriteria-kriteria di atas. Kesalahan yang paling sering terjadi dalam pembuatan kebijakan di desa adalah tidak memperhatikan karakter masyarakat dan kondisi lingkungan desa tersebut yang merupakan kebutuhan mereka.
Masyarakat desa seringkali dijadikan objek pembangunan, padahal seharusnya mereka subjek pembangunan desa. Pemerintah desa bisa menggunakan sistem musrenbang dengan baik jika menginginkan perbaikan pembangunan desa yang maksimal. Dalam membuat kebijakan, kepala desa perlu mendengarkan kebutuhan rakyatnya agar kebijakan yang dibuat tidak salah sasaran dan kontekstual.
UU Desa masih membutuhkan dukungan para kepala desa demi mewujudkan perbaikan pembangunan desa. Tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan kerja keras dan kepedulian para stakeholderdesa. Rakyat desa tidak boleh lagi menjadi masyarakat yang termarginalkan dalam pembangunan bangsa. Formulasi UU Desa dan Birokrasi Bersih dan Melayani akan menjadi jaminan tercipta pembangunan desa yang lebih baik.
Indonesia tanpa desa yang terbangun dengan baik tidak akan mampu menjadi bangsa yang kokoh. Memulai dengan UU Desa, meneguhkan dengan birokrasi bersih dan melayani, sambutlah Indonesia yang berdiri dengan desa sebagai penyangga kemajuan bangsa. Selamat datang UU desa dan mari terapkan birokrasi bersih dan melayani sebagai paket keberhasilan dan kemakmuran desa di seluruh Nusantara.
DR DEWI ARYANI, M SI
Anggota DPR RI FPDI Perjuangan,
Duta Reformasi Birokrasi Indonesia
(kur)