Deadlock di Jenewa, berhasil di Bali

Senin, 09 Desember 2013 - 09:03 WIB
Deadlock di Jenewa,...
Deadlock di Jenewa, berhasil di Bali
A A A
KONFERENSI Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Kesembilan yang mengemas proposal Paket Bali akhirnya membuahkan hasil kesepakatan yang dapat diterima 159 delegasi anggota.

Sebelumnya, pertemuan General Council of WTO di Jenewa pada 26 November 2013 gagal menghasilkan kesepakatan. Kesepakatan BaliPackage yang memuat tiga agenda, yakni trade facility, sektor pertanian, dan pembangunan negaranegara kurang berkembang (Least Developed Countries/LDCs),menjadi momentum bersejarah dalam perjalanan WTO sejak didirikan pada 1995.

Selama ini sejumlah perundingan WTO gagal menghasilkan kesepakatan karena adanya benturan kepentingan antarnegara anggotanya. Seperti kita ketahui, pengambilan keputusan dalam WTO menganut prinsip single undertaking approach, yaitu konsensus hanya dapat dicapai jika disetujui semua negara anggota tanpa terkecuali. Kesepakatan pada pertemuan WTO Bali kali ini menjadi babak baru sejarah perdagangan dunia, khususnya ketika perdagangan global dalam beberapa tahun ini relatif tertekan.

Perubahan struktur dan rantai pasok global memerlukan pendekatan holistik untuk mendorong perdagangan serta meredam perlambatan global yang terjadi beberapa tahun ini. Dengan disepakatinya Paket Bali, perdagangan global diharapkan dapat bergairah kembali dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi. Paket Bali dengan tiga agenda (fasilitas perdagangan-pertanian-pembangunan negara kurang berkembang) diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia kepada WTO yang selama ini dipandang hanya mengutamakan kepentingan negara maju.

Kesepakatan Paket Bali ini juga memberi ruang kesetaraan dan semangat saling membantu antara negara-negara maju, berkembang, dan kurang berkembang sehingga agenda pembangunan dunia berjalan dengan kongruen. Kongruensi ini direfleksikan dari kesepakatan dalam memberi ruang gerak kelompokG-33, khususnya disektor pertanian dan ketahanan pangan.

Kelompok G-33 (33 negara berkembang) yang diketuai Indonesia memandang perlunya memperhatikan struktur, pola, dan kapasitas perdagangan di negara-negara berkembang dan kurang berkembang, khususnya terkait dengan isu ketahanan pangan. Paket Bali dengan tiga agenda yang disepakati ini tentunya dipandang lebih realistis dibandingkan 19 agenda dalam Putaran Doha di Qatar tahun 2001.

Dari ketiga agenda Paket Bali yang disepakati, perdagangan global diharapkan dapat berjalan dengan lebih sehat dan fair sesuai dengan Doha Development Agenda (DDA), terutama terkait keseimbangan pembangunan antarnegara anggota.

Berikut ini ketiga hasil kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan WTO Bali, khususnya terkait dengan agenda pembangunan di Indonesia. Pertama, negaranegara berkembang dan kurang berkembang memperoleh manfaat yang besar dengan hasil negosiasi trade facility yang baru pertama kali dilakukan sepanjang perjalanan WTO. Dengan kesepakatan ini, negara-negara berkembang/ kurang berkembang memiliki kesempatan yang besar untuk memperluas akses bebas barang/jasa sehingga dapat mendorong kapasitas perdagangan masing-masing.

Selain itu, dengan disepakatinya keinginan untuk mereduksi berbagai hambatan perdagangan, negara-negara berkembang/ kurang berkembang dapat meningkatkan kapabilitas, sistem dan prosedur perdagangan di negara masing-masing. Kesepakatan pada pengurangan hambatan perdagangan ini juga menekankan prinsip ”nondiskriminasi” untuk mendorong sistem perdagangan dunia yang berkeadilan dan proporsional. Kesepakatan dalam trade facility ini sangat memberi ruang yang besar bagi negara-negara berkembang dan kurang berkembang untuk memperluas pasar dan mendorong ekspornya ke negara-negara maju.

Kedua, pada poin kesepakatan sektor pertanian khususnya terkait ketahanan pangan, Paket Bali memberi keleluasaan bagi negara-negara berkembang, khususnya negara dengan populasi besar seperti Indonesia dan India, untuk memberikan subsidi kepada petaninya dan menjamin ketersediaan pangan bagi kelompok miskin. Agenda ini sangat penting mengingat volatilitas harga bahan pangan dunia terus meningkat beberapa tahun terakhir.

Kesepakatan pada sektor pertanian dan ketahanan pangan ini juga menekankan perlunya kesepakatan terkait special products (SPs) dan special safeguards mechanism (SSM) yang memungkinkan sejumlah negara berkembang untuk melindungi dan memperhitungkan kebutuhan domestiknya.

Keleluasaan memberikan subsidi sektor pertanian hingga empat tahun ke depan dan memastikan jaminan stok pangan domestik ini akan menguntungkan negara-negara berkembang/ kurang berkembang, khususnya Indonesia, untuk memacu produktivitas serta mendorong kedaulatan pangan nasional.

Dengan demikian, dalam empat tahun ke depan, negara-negara berkembang/ kurang berkembang tidak diwajibkan mengacu pada pengaturan besaran harga acuan pokok produk pertanian sesuai dengan agreement on agriculture (AoA) tahun 1994 di Uruguay tentang mekanisme pemberian subsidi pertanian bagi negara maju dan berkembang.

Ketiga, hasil kesepakatan Paket Bali juga mendorong untuk memberikan perhatian lebih bagi negara-negara kurang berkembang baik dalam hal akses pasar maupun bantuan lain. Paket Bali telah menghadirkan legitimasi WTO dan kembalinya kepercayaan publik dunia dengan berfungsinya sistem perdagangan multilateral yang sehat, adil, dan dapat memberikan kepastian bagi perekonomian global.

Agenda pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan pembangunan daerah tertinggal di negara berkembang/ kurang berkembang disepakati menjadi perhatian khusus dalam kesepakatan Bali untuk menopang Sustainable Development Goals (SDG’s). Kesepakatan Paket Bali ini juga memperkuat paket untuk negara-negara kurang berkembang (Least Developed Countries’s Package) di mana dorongan mengurangi hambatan perdagangan dilakukan bersamaan dengan capacity building.

Paket ini termasuk memberi kesempatan dagang dan ruang fleksibilitas yang besar bagi negara kurang berkembang untuk meningkatkan kapasitasnya dalam memenuhi target-target WTO. Mekanisme pemantauan yang berlaku berbeda dan khusus (special and difference) yang memuat berbagai tipe fleksibilitas bagi negara berkembang dan negara miskin (LDC) juga memberikan hak khusus bagi negara berkembang dalam sistem perdagangan global.

Kesepakatan Paket Bali kali ini diyakini akan menstimulasi permintaan global serta mendorong peningkatan volume perdagangan global guna memacu pertumbuhan global. Nilai perdagangan pasca-kesepakatan Bali diperkirakan akan mencapai USD1 triliun atau Rp12.000 triliun dengan potensi perluasan kesempatan kerja mencapai 20 juta orang yang sebagian besar diperkirakan banyak dinikmati negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dengan tercapainya kesepakatan pada pertemuan WTO kesembilan di Bali, sinyal perbaikan keseimbangan perdagangan global di masa mendatang akan semakin kuat. Di samping itu, Paket Bali yang disepakati juga menjadi pesan semakin menguatnya posisi tawar Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan KTT tingkat menteri kali ini.

PROF FIRMANZAH PhD
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0720 seconds (0.1#10.140)