Revisi UU Peternakan dan swasembada daging
A
A
A
PEMERINTAH dan Komisi IV DPR tengah mengamendemen UU Nomor 18/ 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pemerintah-DPR mendapatkan momentum terkuaknya penyadapan intelijen Australia terhadap Presiden SBY dan pejabat penting Indonesia. Salah satu titik tekan amendemen adalah mengembalikan kebijakan impor daging berbasis negara (country based) jadi berbasis zona (zone based). Pertanyaannya, mengapa pemerintah dan DPR kembali menghidupkan rencana lama itu. Mengapa mereka ngotot? Adakah mereka diboncengi kepentingan negara eksportir daging (sapi)?
Semula, UU No 18/2009 menganut zone based. Oleh sejumlah pihak, selain ada potensi ancaman penyakit mulut dan kaki (PMK), aturan ini juga dinilai tidak berpihak pada peternak dalam negeri. Lewat judicial review di Mahkamah Konstitusi, pendekatan zone based dibatalkan dan diganti berbasis negara (country based). Alasannya, pendekatan zone based bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Alasan pemerintah dan DPR bahwa pendekatan zone based membuat Indonesia tidak leluasa mengimpor daging (dan sapi) dari berbagai negara di dunia tidak pada tempatnya. Langkah pemerintah-DPR ini bisa menghancurkan industri ternak domestik. Beleid zone based memungkinkan Indonesia mengimpor daging (dan sapi) dari wilayah tertentu meskipun negara tempat wilayah itu belum bebas PMK. Mengimpor daging (dan sapi) dari negara yang belum bebas PMK sebetulnya sama dengan menantang bahaya.
Bukankah pemerintah telah memberlakukan aturan ketat atas daging sapi impor? Intinya, impor bisa saja dilakukan asal memenuhi standar tingkat risiko yang ditoleransi (acceptable level of protection). Ketentuan ini diatur rinci dalam SK Menteri Pertanian No 260/1986, Permentan No 64/2007 jo No 27/ 2007, dan jo No 61/2007 tentang Persyaratan Pemasukan Karkas, Daging, dan Jeroan dari Luar Negeri. Juga prinsip kehati-hatian dalam Resolusi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) No XVIII/2008. Mengacu pada standar di atas, syarat risiko negara asal (daging sapi impor) yang dapat ditoleransi Indonesia adalah tingkat risiko yang dapat diabaikan (negligible risk).
Menurut hasil Tim Analisis Risiko Independen (TARI) yang dibentuk Kementerian Pertanian (2008), impor daging tanpa tulang dari zona bebas tanpa vaksinasi risikonya amat sangat rendah (extremely low), sedangkan dari zona bebas vaksinasi risikonya sangat rendah (very low). Ini menunjukkan, meskipun impor didatangkan dari zona bebas PMK tanpa vaksinasi sekalipun, pada hakikatnya risikonya masih tetap ada.
Amat mengherankan sikap pemerintah-DPR yang begitu ngotot mengubah beleid dari country based ke zone based. Padahal, TARI telah memberi persyaratan yang cukup ketat, baik di negara asal daging maupun negara pengimpor (Indonesia). Tindakan sanitasi di negara pengekspor: impor dibatasi hanya pada daging beku tanpa tulang yang telah dilakukan pemisahan kelenjar limfa, impor tidak termasuk jeroan dan daging variasi, impor dari zona bebas PMK tanpa vaksinasi harus diprioritaskan, impor dari zona bebas PMK dengan vaksinasi bisa dilakukan dengan syarat tiga tahun terakhir tak terjadi wabah PMK, pengangkutan ternak dari peternakan tidak boleh singgah, dan rumah potong hewan (RPH) yang digunakan harus disetujui negara pengimpor (Indonesia).
Sanitasi di Indonesia meliputi peningkatan kemampuan teknis dan fasilitas diagnostik karantina; penguatan sistem kesehatan hewan; peningkatan kemampuan teknis dan fasilitas laboratorium untuk pengujian PMK; surveillance dan monitoring di wilayah distribusi daging impor; sosialisasi dan simulasi kesiap-siagaan darurat veteriner dari bahaya PMK; penyediaan dana tanggap darurat PMK siap pakai; pembatasan jumlah impor daging beku tanpa tulang; sertifikasi, audit, dan pengawasan fasilitas usaha (cold storage, dan sebagainya); peningkatan sistem pengawasan peredaran daging; serta peningkatan pengetahuan dan kepedulian masyarakat atas penanganan limbah daging sesuai aturan.
Ini menunjukkan, impor daging sapi dari negara belum bebas PMK dimungkinkan dengan syarat: sistem pengamanan (UU Veteriner), infrastruktur (otoritas veteriner dan SDM), dan pelayanan veteriner di Indonesia dibenahi terlebih dahulu. Tanpa itu, dengan sendirinya impor tak bisa dilakukan. Impor daging dari zona belum bebas PMK amat berisiko karena sistem dan infrastruktur di Indonesia masih banyak loop hole. Pertama, sistem kesehatan hewan lemah, terutama tak ada garis komando langsung dari pusat ke daerah dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit.
Kedua, dana tanggap darurat tak tersedia tiap saat. Ketiga, kemampuan teknis dan fasilitas diagnostik untuk mendeteksi virus PMK pada hewan dan produk hewan di karantina di pelabuhan pemasukan belum ada. Keempat, laboratorium diagnostik untuk mendeteksi virus PMK dengan kemampuan teknis dan fasilitas yang memadai belum tersedia (TARI, 2008). Alasan pemerintah-DPR bahwa beleid country based membatasi Indonesia mendapatkan pasokan daging dan sapi dari berbagai negara di dunia tidak pada tempatnya.
Memang selama ini impor daging dan sapi Indonesia dipasok dari Australia. Tapi bukan berarti Indonesia disandera mesti Australia karena tidak ada negara alternatif. Masih ada Selandia Baru, Kanada, dan Amerika Serikat. Impor daging dan sapi selama ini didominasi Australia karena kedekatan geografis sehingga harganya relatif murah. Mestinya terkuaknya penyadapan ini dijadikan momentum untuk meneguhkan kembali target swasembada daging.
Sejatinya Indonesia memiliki potensi yang besar untuk swasembada. Bukankah pada 1970-an Indonesia jadi eksportir daging sapi (dan kerbau)? Perubahan beleid dari country based ke zone based dalam UU No 18/2009 akan membuat impor daging dan sapi mengalir deras. Ini mengancam swasembada daging. Impor akan membuat ketergantungan Indonesia pada pasokan dari luar negeri tak bisa diputus.
Secara politik, ketergantungan yang tinggi akan membuat posisi kita lemah. Dengan posisi negara pengekspor sebagai price taker, kita akan mudah didikte. Lagipula, karena pasar daging terkonsentrasi, harga daging sapi di pasar dunia amat fluktuatif. Seharusnya pemerintah dan DPR memeriksa kembali apakah kebijakan peternakan domestik sudah on the track. Sudahkah kebijakan menghindari pemotongan sapi muda dilakukan? Sudahkah riset intensif untuk menemukan breedlokaldanunggul digeluti? Sudahkah peternak memperoleh akses modal?
Mayoritas (90%) usaha ternak dikuasai tak kurang dari 4 juta keluarga peternak di perdesaan. Usaha itu sebagian besar bersifat sambilan dan skala kecil. Selama inimerekakesulitanpendanaan. Menuntaskan pertanyaan-pertanyaan ini lebih mendesak ketimbang mengamendemen UU No 18/2009.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
Pemerintah-DPR mendapatkan momentum terkuaknya penyadapan intelijen Australia terhadap Presiden SBY dan pejabat penting Indonesia. Salah satu titik tekan amendemen adalah mengembalikan kebijakan impor daging berbasis negara (country based) jadi berbasis zona (zone based). Pertanyaannya, mengapa pemerintah dan DPR kembali menghidupkan rencana lama itu. Mengapa mereka ngotot? Adakah mereka diboncengi kepentingan negara eksportir daging (sapi)?
Semula, UU No 18/2009 menganut zone based. Oleh sejumlah pihak, selain ada potensi ancaman penyakit mulut dan kaki (PMK), aturan ini juga dinilai tidak berpihak pada peternak dalam negeri. Lewat judicial review di Mahkamah Konstitusi, pendekatan zone based dibatalkan dan diganti berbasis negara (country based). Alasannya, pendekatan zone based bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan MK bersifat final dan mengikat. Alasan pemerintah dan DPR bahwa pendekatan zone based membuat Indonesia tidak leluasa mengimpor daging (dan sapi) dari berbagai negara di dunia tidak pada tempatnya. Langkah pemerintah-DPR ini bisa menghancurkan industri ternak domestik. Beleid zone based memungkinkan Indonesia mengimpor daging (dan sapi) dari wilayah tertentu meskipun negara tempat wilayah itu belum bebas PMK. Mengimpor daging (dan sapi) dari negara yang belum bebas PMK sebetulnya sama dengan menantang bahaya.
Bukankah pemerintah telah memberlakukan aturan ketat atas daging sapi impor? Intinya, impor bisa saja dilakukan asal memenuhi standar tingkat risiko yang ditoleransi (acceptable level of protection). Ketentuan ini diatur rinci dalam SK Menteri Pertanian No 260/1986, Permentan No 64/2007 jo No 27/ 2007, dan jo No 61/2007 tentang Persyaratan Pemasukan Karkas, Daging, dan Jeroan dari Luar Negeri. Juga prinsip kehati-hatian dalam Resolusi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) No XVIII/2008. Mengacu pada standar di atas, syarat risiko negara asal (daging sapi impor) yang dapat ditoleransi Indonesia adalah tingkat risiko yang dapat diabaikan (negligible risk).
Menurut hasil Tim Analisis Risiko Independen (TARI) yang dibentuk Kementerian Pertanian (2008), impor daging tanpa tulang dari zona bebas tanpa vaksinasi risikonya amat sangat rendah (extremely low), sedangkan dari zona bebas vaksinasi risikonya sangat rendah (very low). Ini menunjukkan, meskipun impor didatangkan dari zona bebas PMK tanpa vaksinasi sekalipun, pada hakikatnya risikonya masih tetap ada.
Amat mengherankan sikap pemerintah-DPR yang begitu ngotot mengubah beleid dari country based ke zone based. Padahal, TARI telah memberi persyaratan yang cukup ketat, baik di negara asal daging maupun negara pengimpor (Indonesia). Tindakan sanitasi di negara pengekspor: impor dibatasi hanya pada daging beku tanpa tulang yang telah dilakukan pemisahan kelenjar limfa, impor tidak termasuk jeroan dan daging variasi, impor dari zona bebas PMK tanpa vaksinasi harus diprioritaskan, impor dari zona bebas PMK dengan vaksinasi bisa dilakukan dengan syarat tiga tahun terakhir tak terjadi wabah PMK, pengangkutan ternak dari peternakan tidak boleh singgah, dan rumah potong hewan (RPH) yang digunakan harus disetujui negara pengimpor (Indonesia).
Sanitasi di Indonesia meliputi peningkatan kemampuan teknis dan fasilitas diagnostik karantina; penguatan sistem kesehatan hewan; peningkatan kemampuan teknis dan fasilitas laboratorium untuk pengujian PMK; surveillance dan monitoring di wilayah distribusi daging impor; sosialisasi dan simulasi kesiap-siagaan darurat veteriner dari bahaya PMK; penyediaan dana tanggap darurat PMK siap pakai; pembatasan jumlah impor daging beku tanpa tulang; sertifikasi, audit, dan pengawasan fasilitas usaha (cold storage, dan sebagainya); peningkatan sistem pengawasan peredaran daging; serta peningkatan pengetahuan dan kepedulian masyarakat atas penanganan limbah daging sesuai aturan.
Ini menunjukkan, impor daging sapi dari negara belum bebas PMK dimungkinkan dengan syarat: sistem pengamanan (UU Veteriner), infrastruktur (otoritas veteriner dan SDM), dan pelayanan veteriner di Indonesia dibenahi terlebih dahulu. Tanpa itu, dengan sendirinya impor tak bisa dilakukan. Impor daging dari zona belum bebas PMK amat berisiko karena sistem dan infrastruktur di Indonesia masih banyak loop hole. Pertama, sistem kesehatan hewan lemah, terutama tak ada garis komando langsung dari pusat ke daerah dalam pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit.
Kedua, dana tanggap darurat tak tersedia tiap saat. Ketiga, kemampuan teknis dan fasilitas diagnostik untuk mendeteksi virus PMK pada hewan dan produk hewan di karantina di pelabuhan pemasukan belum ada. Keempat, laboratorium diagnostik untuk mendeteksi virus PMK dengan kemampuan teknis dan fasilitas yang memadai belum tersedia (TARI, 2008). Alasan pemerintah-DPR bahwa beleid country based membatasi Indonesia mendapatkan pasokan daging dan sapi dari berbagai negara di dunia tidak pada tempatnya.
Memang selama ini impor daging dan sapi Indonesia dipasok dari Australia. Tapi bukan berarti Indonesia disandera mesti Australia karena tidak ada negara alternatif. Masih ada Selandia Baru, Kanada, dan Amerika Serikat. Impor daging dan sapi selama ini didominasi Australia karena kedekatan geografis sehingga harganya relatif murah. Mestinya terkuaknya penyadapan ini dijadikan momentum untuk meneguhkan kembali target swasembada daging.
Sejatinya Indonesia memiliki potensi yang besar untuk swasembada. Bukankah pada 1970-an Indonesia jadi eksportir daging sapi (dan kerbau)? Perubahan beleid dari country based ke zone based dalam UU No 18/2009 akan membuat impor daging dan sapi mengalir deras. Ini mengancam swasembada daging. Impor akan membuat ketergantungan Indonesia pada pasokan dari luar negeri tak bisa diputus.
Secara politik, ketergantungan yang tinggi akan membuat posisi kita lemah. Dengan posisi negara pengekspor sebagai price taker, kita akan mudah didikte. Lagipula, karena pasar daging terkonsentrasi, harga daging sapi di pasar dunia amat fluktuatif. Seharusnya pemerintah dan DPR memeriksa kembali apakah kebijakan peternakan domestik sudah on the track. Sudahkah kebijakan menghindari pemotongan sapi muda dilakukan? Sudahkah riset intensif untuk menemukan breedlokaldanunggul digeluti? Sudahkah peternak memperoleh akses modal?
Mayoritas (90%) usaha ternak dikuasai tak kurang dari 4 juta keluarga peternak di perdesaan. Usaha itu sebagian besar bersifat sambilan dan skala kecil. Selama inimerekakesulitanpendanaan. Menuntaskan pertanyaan-pertanyaan ini lebih mendesak ketimbang mengamendemen UU No 18/2009.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
(nfl)