Panik dan pindah ke Halim
A
A
A
HALIM Perdanakusuma mulai Januari 2014 secara resmi akan mulai melayani beberapa rute penerbangan komersial. Penggunaan Bandara Halim sebagai bandara komersial difungsikan untuk mengurangi kepadatan arus penerbangan yang terjadi di Bandara Internasional Soekarno- Hatta.
Banyak yang tidak menyadari bahwa tindakan ini sebenarnya adalah sebuah bukti dari kegagalan total dalam mengelola airport. Di banyak negara di dunia, bila pertumbuhan penumpang meningkat maka seiring dengan itu dipastikan pula terjadi pemekaran dan modernisasi bandar udara. Dalam ilmu manajemen yang paling kuno sekalipun telah dikenal langkah yang bernama “planning” atau perencanaan.
Dalam konteks inilah, kemudian menjadi mudah terlihat bahwa pengelola Soekarno-Hatta International Airport (SHIA) menunjukkan bukti orisinal dari kualitas unjuk kerjanya. Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma tidak didesain untuk penerbangan komersial. Tidak ada jalan yang lebar dan luas menuju Halim, juga tidak tersedia lahan parkir yang dapat menampung sekian banyak kendaraan bermotor. Runway hanya satu buah dan tidak juga tersedia tempat parkir pesawat atau apron yang memadai untuk pesawat-pesawat berbadan lebar.
Pangkalan Udara Halim juga tidak memiliki taxi-way bagi keperluan pesawat meluncur dari apron ke runway dan atau sebaliknya. Di samping itu, sebenarnya Halim adalah merupakan “subsistem” dari sistem utama persenjataan Angkatan Udara Republik Indonesia yang menjadi basis tidak kurang dari tiga skuadron udara, batalion pasukan paskhas, skuadron teknik untuk perawatan pesawat, yang kesemuanya memerlukan keberadaan landasan pacu beserta segala perlengkapannya.
Singkat kata, Pangkalan Angkatan Udara Halim akan sangat terganggu dengan penambahan trafficdari SHIA. Pengalaman di waktu lalu menunjukkan banyak sekali program latihan dan operasi Angkatan Udara terpaksa tidak dapat dilaksanakan karena masuknya kegiatan penerbangan sipil komersial di Halim. Sementara itu di Halim terletak pula Markas Komando Pertahanan Udara Nasional, lengkap dengan Ruang Pusat Kendali Operasi Udara sebagai pengendali kegiatan Operasi Pertahanan Udara Nasional. Lebih jauh lagi, Halim juga dipergunakan untuk melayani penerbangan dengan “high level of security” seperti penerbangan VIP kepala negara dan wakilnya dan atau tamu negara setingkat.
Pangkalan Udara Halim juga diperuntukkan bagi penerbangan dengan kualifikasi “Top Secret Mission”, seperti misi penyelamatan “Pembajakan pesawat WOYLA” di Bangkok beberapa waktu yang lalu. Di luar itu, Halim juga telah “direcoki” karena telah telanjur saat berstatus “International Airport Sementara”, sebelum selesainya Soekarno-Hatta, menjadi pangkalan dari aneka pesawat carter dan “general aviation” yang jumlahnya cukup banyak. Dengan kondisi yang seperti ini, jelas Halim sudah sangat kerepotan dalam melayani aktivitas sehari-hari, yang intinya adalah kegiatan Angkatan Udara sebagai penjaga kedaulatan negara di udara.
Adalah sangat naif bila kemudian masih membebankan lagi Halim dengan “tumpahan” traffic dari SHIA, yang sejatinya timbul sebagai akibat dari “salah urus” sendiri bandara internasional tersebut. Halim telah dipaksa menerima hukuman yang disebabkan dari kesalahan unjuk kerja orang lain. Sungguh tragis.
Kelebihan kapasitas dari pertumbuhan penumpang di SHIA hampir sebesar tiga kali lipat kini sudah terjadi. Agak sia-sia untuk hanya sekadar mencari siapa yang berbuat salah, lalu bagaimana mencarikan solusinya. Solusi jangka pendek yang paling ampuh sekarang adalah dengan cara mengurangi dulu jumlah penerbangan yang telah berkembang saat ini.
Berikutnya, harus dilakukan penertiban pelaksanaan operasi penerbangan di SHIA, agar sekaligus dapat terdata dengan baik seberapa banyak kelebihan yang terjadi hingga saat ini. Paralel dengan itu usahakan untuk dapat segera membangun runwayketiga di SHIA, sekaligus membenahi SDM dan peralatan air traffic control serta peralatan navigasi.
Halim, bila diinginkan untuk menampung kelebihan traffic di SHIA, seharusnya dipersiapkan terlebih dahulu beberapa sarana penunjang agar tidak kemudian mengganggu aktivitas yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Halim memerlukan taxi way dan apron yang memadai agar dapat mengakomodasi penerbangan komersial yang akan dilimpahkan. Arena parkir mobil dan motor sangat diperlukan untuk ditambah bila tidak menginginkan situasi menjadi semrawut. Langkah strategis berikutnya adalah harus segera menentukan perencanaan pembangunan international airport baru selain SHIA.
Tuntutan pasar angkutan udara saat ini tengah dan akan berkembang terus. Dengan situasi dan kondisi yang seperti itu, dikhawatirkan yang akan memetik keuntungan adalah pihak dari negara lain. Contoh sederhana, dengan tidak nyamannya SHIA, lebihlebih sebagai pelabuhan transit, maka banyak sekali orang yang sudah lebih memilih Changi di Singapura sebagai tempat transitnya walau tujuan terbangnya adalah antarkota di dalam negeri. Bila didiamkan dan berkembang terus seperti ini, dapat dibayangkan kemudian apa yang akan terjadi.
Pasar angkutan udara di Indonesia telah tumbuh dengan sangat pesat dalam 10 tahun belakangan ini. Sekali lagi janganlah sampai terjadi, kekurangan SDM penerbangan dan minimnya infrastruktur membuat masyarakat luas tidak sempat menikmatinya. Tidak ada pilihan lain kiranya, kerja keras yang disertai dengan tekad untuk maju adalah satu-satunya pilihan yang tersedia saat ini.
CHAPPY HAKIM
Chairman CSE Aviation
Banyak yang tidak menyadari bahwa tindakan ini sebenarnya adalah sebuah bukti dari kegagalan total dalam mengelola airport. Di banyak negara di dunia, bila pertumbuhan penumpang meningkat maka seiring dengan itu dipastikan pula terjadi pemekaran dan modernisasi bandar udara. Dalam ilmu manajemen yang paling kuno sekalipun telah dikenal langkah yang bernama “planning” atau perencanaan.
Dalam konteks inilah, kemudian menjadi mudah terlihat bahwa pengelola Soekarno-Hatta International Airport (SHIA) menunjukkan bukti orisinal dari kualitas unjuk kerjanya. Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma tidak didesain untuk penerbangan komersial. Tidak ada jalan yang lebar dan luas menuju Halim, juga tidak tersedia lahan parkir yang dapat menampung sekian banyak kendaraan bermotor. Runway hanya satu buah dan tidak juga tersedia tempat parkir pesawat atau apron yang memadai untuk pesawat-pesawat berbadan lebar.
Pangkalan Udara Halim juga tidak memiliki taxi-way bagi keperluan pesawat meluncur dari apron ke runway dan atau sebaliknya. Di samping itu, sebenarnya Halim adalah merupakan “subsistem” dari sistem utama persenjataan Angkatan Udara Republik Indonesia yang menjadi basis tidak kurang dari tiga skuadron udara, batalion pasukan paskhas, skuadron teknik untuk perawatan pesawat, yang kesemuanya memerlukan keberadaan landasan pacu beserta segala perlengkapannya.
Singkat kata, Pangkalan Angkatan Udara Halim akan sangat terganggu dengan penambahan trafficdari SHIA. Pengalaman di waktu lalu menunjukkan banyak sekali program latihan dan operasi Angkatan Udara terpaksa tidak dapat dilaksanakan karena masuknya kegiatan penerbangan sipil komersial di Halim. Sementara itu di Halim terletak pula Markas Komando Pertahanan Udara Nasional, lengkap dengan Ruang Pusat Kendali Operasi Udara sebagai pengendali kegiatan Operasi Pertahanan Udara Nasional. Lebih jauh lagi, Halim juga dipergunakan untuk melayani penerbangan dengan “high level of security” seperti penerbangan VIP kepala negara dan wakilnya dan atau tamu negara setingkat.
Pangkalan Udara Halim juga diperuntukkan bagi penerbangan dengan kualifikasi “Top Secret Mission”, seperti misi penyelamatan “Pembajakan pesawat WOYLA” di Bangkok beberapa waktu yang lalu. Di luar itu, Halim juga telah “direcoki” karena telah telanjur saat berstatus “International Airport Sementara”, sebelum selesainya Soekarno-Hatta, menjadi pangkalan dari aneka pesawat carter dan “general aviation” yang jumlahnya cukup banyak. Dengan kondisi yang seperti ini, jelas Halim sudah sangat kerepotan dalam melayani aktivitas sehari-hari, yang intinya adalah kegiatan Angkatan Udara sebagai penjaga kedaulatan negara di udara.
Adalah sangat naif bila kemudian masih membebankan lagi Halim dengan “tumpahan” traffic dari SHIA, yang sejatinya timbul sebagai akibat dari “salah urus” sendiri bandara internasional tersebut. Halim telah dipaksa menerima hukuman yang disebabkan dari kesalahan unjuk kerja orang lain. Sungguh tragis.
Kelebihan kapasitas dari pertumbuhan penumpang di SHIA hampir sebesar tiga kali lipat kini sudah terjadi. Agak sia-sia untuk hanya sekadar mencari siapa yang berbuat salah, lalu bagaimana mencarikan solusinya. Solusi jangka pendek yang paling ampuh sekarang adalah dengan cara mengurangi dulu jumlah penerbangan yang telah berkembang saat ini.
Berikutnya, harus dilakukan penertiban pelaksanaan operasi penerbangan di SHIA, agar sekaligus dapat terdata dengan baik seberapa banyak kelebihan yang terjadi hingga saat ini. Paralel dengan itu usahakan untuk dapat segera membangun runwayketiga di SHIA, sekaligus membenahi SDM dan peralatan air traffic control serta peralatan navigasi.
Halim, bila diinginkan untuk menampung kelebihan traffic di SHIA, seharusnya dipersiapkan terlebih dahulu beberapa sarana penunjang agar tidak kemudian mengganggu aktivitas yang selama ini sudah berjalan dengan baik. Halim memerlukan taxi way dan apron yang memadai agar dapat mengakomodasi penerbangan komersial yang akan dilimpahkan. Arena parkir mobil dan motor sangat diperlukan untuk ditambah bila tidak menginginkan situasi menjadi semrawut. Langkah strategis berikutnya adalah harus segera menentukan perencanaan pembangunan international airport baru selain SHIA.
Tuntutan pasar angkutan udara saat ini tengah dan akan berkembang terus. Dengan situasi dan kondisi yang seperti itu, dikhawatirkan yang akan memetik keuntungan adalah pihak dari negara lain. Contoh sederhana, dengan tidak nyamannya SHIA, lebihlebih sebagai pelabuhan transit, maka banyak sekali orang yang sudah lebih memilih Changi di Singapura sebagai tempat transitnya walau tujuan terbangnya adalah antarkota di dalam negeri. Bila didiamkan dan berkembang terus seperti ini, dapat dibayangkan kemudian apa yang akan terjadi.
Pasar angkutan udara di Indonesia telah tumbuh dengan sangat pesat dalam 10 tahun belakangan ini. Sekali lagi janganlah sampai terjadi, kekurangan SDM penerbangan dan minimnya infrastruktur membuat masyarakat luas tidak sempat menikmatinya. Tidak ada pilihan lain kiranya, kerja keras yang disertai dengan tekad untuk maju adalah satu-satunya pilihan yang tersedia saat ini.
CHAPPY HAKIM
Chairman CSE Aviation
(nfl)