Jejaring korupsi
A
A
A
KETIKA Angelina Sondakh (Angie) diperlama masa hukumannya (10 tahun) dan juga Gayus H Tambunan ditolak permohonan kasasinya oleh Mahkamah Agung (MA) sehingga tetap akan berada di hotel prodeo selama 30 tahun, saya membayangkan akan begitu tegangnya para koruptor lain (baik yang sudah jadi terpidana, masih dalam status tersangka, maupun yang belum terungkap kejahatannya) sehingga barangkali mereka akan alami “sulit tidur”.
Jantung akan berdebar kencang, tensi darah mereka akan spontan naik. Keluarga pun akan mengalami keresahan psikologis (psychological unrest). Tepatnya, kali ini (dan diharapkan terus diberlakukan) MA membuat kejutan atau terobosan hukum yang menjadikan para koruptor dan keluarganya itu dibuat “sakit seketika”.
Betapa tidak. Jika sebelumnya MA melalui proses-proses sidang pengambilan putusan kasasinya yang tertutup selalu dianggap “bisa diatur”, kali ini ternyata berbeda. Atau, para koruptor itu tak bisa lagi menikmati harta hasil korupsinya setelah melalui menjalani hukuman singkat dalam penjara—di mana juga biasanya lebih banyak berada di luar melalui “kerja sama yang saling menguntungkan dengan pihak lembaga pemasyarakatan”. Putusan hukum yang mengejutkan dari MA itu memang haruslah diapresiasi.
Setidaknya kali ini MA menunjukkan komitmennya untuk menjalankan misi reformasi, memperberat hukuman sebagian koruptor. Itu pula tamparan serius bagi para hakim tipikor yang kerap terkesan tak serius memberantas korupsi dengan memvonis ringan para koruptor. Pada saat yang sama pula secara umum MA telah sedikit memperbaiki citra jajaran yudikatif yang akhir-akhir ini mengalami “kerusakan” akibat terkuaknya perilaku korup dari Ketua MK Akil Mochtar.
Jika MA konsisten putusan memperberat hukuman para koruptor, tentu memiliki efek positif terkait penciptaan efek jera. Pertama, para jaksa dan hakim di pengadilan korupsi (tipikor) tidak akan bermain-main tuntutan dan vonis yang akan diberikan kepada para koruptor. Apalagi kalau putusan di tingkat pertama itu dijadikan bagian dari standar kinerja hakim dalam pemberantasan korupsi, niscaya akan memengaruhi atmosfer prosesproses pemberantasan korupsi melalui lembaga peradilan.
Tepatnya, putusan MA itu akan jadi penyemat proses-proses pemberantasan korupsi di negeri ini. Kedua, vonis berat bagi para koruptor diharapkan akan mampu membongkar kotak pandora yang berisi jejaring atau aktor-aktor pelaku korupsi. Patut diduga bahwa yang jadi tersangka dan atau terpidana korupsi yang selama ini atau sampai sekarang ini masih merupakan bagian kecil dari pelaku kejahatan “kerah putih” itu. Masih ada sejumlah aktor lain yang masih “selamat” dari jeratan hukum, masih bebas-bebas saja di luar buih, padahal mereka pula yang turut menikmati uang buah dari kejahatan itu.
Bukankah kejahatan korupsi di negeri ini dilakukan secara berjamaah, sementara yang terjerat hanyalah sebagian kecil aktor-aktornya? Angie misalnya tentu bukan satu-satunya oknum politisi yang terlibat korupsi. Dengan Akil Mochtar (AM)? Ya, juga diduga bukan satu-satunya hakim MK yang memperkaya diri dari uang para pihak yang bersengketa di lembaga penjaga konstitusi itu.
Begitu pula dengan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dan Achmad Fathanah (AF). Masih ada rekan-rekan atau mitra mereka, baik politisi maupun pejabat birokrat, yang memperoleh keuntungan materi atau kebagian “harta rampasan” dari proyek impor daging sapi dan lain-lain. Tepatnya, tentu sangat tidak adil jika hanya aktor-aktor yang memperoleh hukuman berat itu yang menelan pil pahit nan menyiksa.
Apa yang mau dikatakan di sini ialah para koruptor yang memiliki nasib nahas dan berada di bui diharapkan membongkar semua pihak yang terlibat dalam jejaring korupsi itu. Tapi, tentu saja baru bisa terjadi apabila dipenuhi dua syarat utama: (1) pihak yang sudah tersangka dan atau terpidana mau “bernyanyi” sehingga publik mengetahui pihak-pihak yang menikmati kejahatan korupsi itu.
Pastilah orang seperti Angie, Andi Malarangeng, Akil Mochtar, Luthfi Hasan Ishaaq, dan lain-lain yang kini menghuni bui atau berurusan dengan pengadilan tipikor memiliki daftar nama-nama sebagai mitra penikmat korupsi. Para koruptor yang nahas itu, dengan demikian, sekaligus jadi whistleblowers. Tak perlu ragu membongkarnya kendati barangkali bersentuhan dengan jejaring pusat kekuasaan. Selanjutnya (2) pihak berwenang–– KPK, jajaran kejaksaan, dan kepolisian––harus mau atau secara proaktif menindak lanjuti nyanyian “aktor koruptor” malang itu.
Tanpa ada tindak lanjut dari pihak berwenang, pandora yang (sudah akan) dibuka itu tak akan berarti apa-apa, bahkan kemudian boleh jadi hanya akan menjadikan sang whistleblower akan kian “sakit” karena boleh jadi akan dianggap “ungkapan sakit hati semata tanpa bukti”. Tepatnya, penegak hukum terkait haruslah terlebih dahulu memiliki semangat berprestasi didasari oleh rasa adil dan sekaligus memiliki komitmen untuk menghancurkan jejaring korupsi.
Tanpa jiwa dedikasi tugas pemberantasan korupsi seperti itu, para penegak hukum akan terus menerus menjalankan tugas seperti biasa (business as usual), sekaligus mempertontonkan diri sebagai penegak hukum yang tak beradilan dalam pemberantasan korupsi. Tentu saja situasi seperti itu tak kondusif untuk penciptaan negara ini secara bertahap bebas dari praktik korupsi.
Pada tingkat tertentu, para penegak hukum bahkan boleh jadi akan terus menerapkan pilih kasih dalam pemberantasan kejahatan korupsi dan atau pada saat yang sama akan memanfaatkan kesempatan untuk “menggarap” pihak-pihak yang masuk dalam jejaring korupsi seperti (jika terjadi) akan dibeberkan oleh aktor nahas koruptor yang sudah masuk perangkap itu seperti Angie dan kawan-kawannya itu untuk “memperoleh bagian harta haram” mereka. Kemungkinan seperti itu akan terjadi karena para penikmat koruptor umumnya akan lebih baik “berbagi nikmat haram” ketimbang harus menghuni hotel prodeo.
LAODE IDA
Wakil Ketua DPD RI
Jantung akan berdebar kencang, tensi darah mereka akan spontan naik. Keluarga pun akan mengalami keresahan psikologis (psychological unrest). Tepatnya, kali ini (dan diharapkan terus diberlakukan) MA membuat kejutan atau terobosan hukum yang menjadikan para koruptor dan keluarganya itu dibuat “sakit seketika”.
Betapa tidak. Jika sebelumnya MA melalui proses-proses sidang pengambilan putusan kasasinya yang tertutup selalu dianggap “bisa diatur”, kali ini ternyata berbeda. Atau, para koruptor itu tak bisa lagi menikmati harta hasil korupsinya setelah melalui menjalani hukuman singkat dalam penjara—di mana juga biasanya lebih banyak berada di luar melalui “kerja sama yang saling menguntungkan dengan pihak lembaga pemasyarakatan”. Putusan hukum yang mengejutkan dari MA itu memang haruslah diapresiasi.
Setidaknya kali ini MA menunjukkan komitmennya untuk menjalankan misi reformasi, memperberat hukuman sebagian koruptor. Itu pula tamparan serius bagi para hakim tipikor yang kerap terkesan tak serius memberantas korupsi dengan memvonis ringan para koruptor. Pada saat yang sama pula secara umum MA telah sedikit memperbaiki citra jajaran yudikatif yang akhir-akhir ini mengalami “kerusakan” akibat terkuaknya perilaku korup dari Ketua MK Akil Mochtar.
Jika MA konsisten putusan memperberat hukuman para koruptor, tentu memiliki efek positif terkait penciptaan efek jera. Pertama, para jaksa dan hakim di pengadilan korupsi (tipikor) tidak akan bermain-main tuntutan dan vonis yang akan diberikan kepada para koruptor. Apalagi kalau putusan di tingkat pertama itu dijadikan bagian dari standar kinerja hakim dalam pemberantasan korupsi, niscaya akan memengaruhi atmosfer prosesproses pemberantasan korupsi melalui lembaga peradilan.
Tepatnya, putusan MA itu akan jadi penyemat proses-proses pemberantasan korupsi di negeri ini. Kedua, vonis berat bagi para koruptor diharapkan akan mampu membongkar kotak pandora yang berisi jejaring atau aktor-aktor pelaku korupsi. Patut diduga bahwa yang jadi tersangka dan atau terpidana korupsi yang selama ini atau sampai sekarang ini masih merupakan bagian kecil dari pelaku kejahatan “kerah putih” itu. Masih ada sejumlah aktor lain yang masih “selamat” dari jeratan hukum, masih bebas-bebas saja di luar buih, padahal mereka pula yang turut menikmati uang buah dari kejahatan itu.
Bukankah kejahatan korupsi di negeri ini dilakukan secara berjamaah, sementara yang terjerat hanyalah sebagian kecil aktor-aktornya? Angie misalnya tentu bukan satu-satunya oknum politisi yang terlibat korupsi. Dengan Akil Mochtar (AM)? Ya, juga diduga bukan satu-satunya hakim MK yang memperkaya diri dari uang para pihak yang bersengketa di lembaga penjaga konstitusi itu.
Begitu pula dengan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dan Achmad Fathanah (AF). Masih ada rekan-rekan atau mitra mereka, baik politisi maupun pejabat birokrat, yang memperoleh keuntungan materi atau kebagian “harta rampasan” dari proyek impor daging sapi dan lain-lain. Tepatnya, tentu sangat tidak adil jika hanya aktor-aktor yang memperoleh hukuman berat itu yang menelan pil pahit nan menyiksa.
Apa yang mau dikatakan di sini ialah para koruptor yang memiliki nasib nahas dan berada di bui diharapkan membongkar semua pihak yang terlibat dalam jejaring korupsi itu. Tapi, tentu saja baru bisa terjadi apabila dipenuhi dua syarat utama: (1) pihak yang sudah tersangka dan atau terpidana mau “bernyanyi” sehingga publik mengetahui pihak-pihak yang menikmati kejahatan korupsi itu.
Pastilah orang seperti Angie, Andi Malarangeng, Akil Mochtar, Luthfi Hasan Ishaaq, dan lain-lain yang kini menghuni bui atau berurusan dengan pengadilan tipikor memiliki daftar nama-nama sebagai mitra penikmat korupsi. Para koruptor yang nahas itu, dengan demikian, sekaligus jadi whistleblowers. Tak perlu ragu membongkarnya kendati barangkali bersentuhan dengan jejaring pusat kekuasaan. Selanjutnya (2) pihak berwenang–– KPK, jajaran kejaksaan, dan kepolisian––harus mau atau secara proaktif menindak lanjuti nyanyian “aktor koruptor” malang itu.
Tanpa ada tindak lanjut dari pihak berwenang, pandora yang (sudah akan) dibuka itu tak akan berarti apa-apa, bahkan kemudian boleh jadi hanya akan menjadikan sang whistleblower akan kian “sakit” karena boleh jadi akan dianggap “ungkapan sakit hati semata tanpa bukti”. Tepatnya, penegak hukum terkait haruslah terlebih dahulu memiliki semangat berprestasi didasari oleh rasa adil dan sekaligus memiliki komitmen untuk menghancurkan jejaring korupsi.
Tanpa jiwa dedikasi tugas pemberantasan korupsi seperti itu, para penegak hukum akan terus menerus menjalankan tugas seperti biasa (business as usual), sekaligus mempertontonkan diri sebagai penegak hukum yang tak beradilan dalam pemberantasan korupsi. Tentu saja situasi seperti itu tak kondusif untuk penciptaan negara ini secara bertahap bebas dari praktik korupsi.
Pada tingkat tertentu, para penegak hukum bahkan boleh jadi akan terus menerapkan pilih kasih dalam pemberantasan kejahatan korupsi dan atau pada saat yang sama akan memanfaatkan kesempatan untuk “menggarap” pihak-pihak yang masuk dalam jejaring korupsi seperti (jika terjadi) akan dibeberkan oleh aktor nahas koruptor yang sudah masuk perangkap itu seperti Angie dan kawan-kawannya itu untuk “memperoleh bagian harta haram” mereka. Kemungkinan seperti itu akan terjadi karena para penikmat koruptor umumnya akan lebih baik “berbagi nikmat haram” ketimbang harus menghuni hotel prodeo.
LAODE IDA
Wakil Ketua DPD RI
(nfl)