Pemilih tanpa NIK

Selasa, 19 November 2013 - 06:43 WIB
Pemilih tanpa NIK
Pemilih tanpa NIK
A A A
ANDAI tidak ada kegiatan pemutakhiran data pemilih, perihal penduduk yang tidak memiliki nomor induk kependudukan (NIK) karena tidak tercatat pada administrasi kependudukan, boleh jadi tidak akan ramai di ruang publik dan media massa.

Namun karena temuan itulah, KPU justru kemudian mendapatkan sorotan negatif. Padahal, lembaga yang berwenang memberikan NIK bukanlah KPU, tapi pemerintah. NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik dan khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. Dengan demikian, setiap orang yang memiliki NIK pasti tercatat pada sistem administrasi kependudukan pada dinas kependudukan dan catatan sipil (Disdukcapil) kabupaten/ kota setempat yang secara nasional tersentral pada Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan.

Namun, faktanya tidak semua penduduk Indonesia tercatat pada sistem administrasi kependudukan. Hal itu mengemuka setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan pemutakhiran data pemilih untuk Pemilu 2014. Penetapan daftar pemilih tetap (DPT) oleh KPU tanggal 4 November 2013 menyisakan masalah terkait masih adanya pemilih dengan NIK invalid. Pemilih ber-NIK invalid, yaitu pemilih yang sama sekali tak memiliki NIK atau memiliki NIK tapi rumus angkanya tidak standar.

NIK invalid bukan data fiktif
Apa syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat memiliki hak pilih? Pada Pasal 19 Undang-Undang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD disebutkan, warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Lantas, apa hubungannya data pemilih dengan NIK? Sepenting apakah NIK untuk kepentingan pemilu hingga berbagai pihak berkomentar, yang di antaranya tak menyamankan telinga penyelenggara pemilu? Jawabannya dapat ditemukan pada Pasal 33 ayat (2) UU yang sama.

Disebutkan bahwa daftar pemilih paling sedikit memuat nomor induk kependudukan, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, dan alamat. Pada ayat sebelumnya disebutkan, KPU kabupaten/ kota menggunakan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. Masalahnya, tidak semua ”calon” pemilih ter-cover pada DP4. Berdasarkan hasil pemutakhiran data pemilih, sebagian data pemilih ditemukan pula di lapangan tanpa tercatat sebelumnya di luar DP4.

Pemutakhiran data pemilih dilakukan panitia pemungutan suara (PPS) dengan panitia pendaftaran pemilih (pantarlih) yang pada umumnya adalah ketua RT/RW atau staf desa/ kelurahan. Mereka menyisir tiap rumah warga di lingkungannya untuk memverifikasi, sekaligus mendata warga masyarakat yang memenuhi syarat sebagai pemilih. Tiap rumah yang penghuninya telah diverifikasi kemudian ditempeli stiker sebagai tanda bukti terdaftar sebagai pemilih. Hasilnya, di antara warga yang memenuhi syarat sebagai pemilih, sebagian di antaranya ternyata ber-NIK invalid.

Pemilih ber-NIK invalid bukanlah data fiktif, bukan pula produk manipulasi, terlebih dikreasi dengan sengaja untuk kepentingan kelompok tertentu. KPU tidaklah sembarangan dalam mendata pemilih. Terlebih, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014 dengan tegas menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak dua belas juta rupiah.

Sekalipun NIK menjadi salah satu elemen yang harus dipenuhi seorang pemilih, KPU bersikap tetap memasukkan pemilih tanpa NIK pada DPT yang ditetapkan pada 4 November 2013. Itu tak lepas dari keyakinan atas temuan pantarlih di lapangan bahwa pemilih tanpa NIK secara faktual ada dan secara substansial memiliki syarat sebagai pemilih. Mereka tersebar di seluruh pelosok negeri ini, di antaranya ditemukan di rumah tahanan (rutan), lembaga pemasyarakatan (lapas), rumah susun, panti jompo, asrama mahasiswa, dan pesantren.

Sebagai contoh, di lembaga pemasyarakatan saja seperti di Cipinang, jumlah pemilih terdaftar 9.340 orang. Di Pondok Bambu, lapas wanita berjumlah 1.208 orang. Kepala Lapas Narkoba Baleendah, Kabupaten Bandung, memberikan daftar nama sebanyak 1.200 orang tanpa disertai NIK. Jika diakumulasikan dari seluruh rutan atau lapas yang tersebar di kabupaten/ kota diIndonesia, jumlah pemilih tanpa NIK tentu cukup signifikan. Didorong oleh spirit menyelamatkan hak konstitusi dalam Pemilu 2014, KPU memperlakukan pemilih tanpa NIK sebagai sebagian dari DPT.

Terlebih, Bawaslu memberikan rekomendasi kepada KPU untuk melengkapi dan memperbaiki NIK invalid pada DPT. Dan, pemerintah, khususnya Kemendagri, semoga mendukung penuh upaya perbaikan NIK invalid. Ini menjadi energi positif bagi KPU untuk kembali bekerja keras memperbaiki DPT Pemilu 2014. Karena sejak awal KPU tentu berkomitmen untuk terus menyempurnakan DPT.

Kesempatan perbaikan ini tentunya diharapkan mendapat partisipasi publik dan support signifikan dari berbagai elemen strategis seperti partai politik dan media massa. Dengan demikian, DPT Pemilu 2014 tampil lebih baik dari pada pemilu-pemilu sebelumnya.

FERRY KURNIA RIZKIYANSYAH
Anggota KPU RI, mantan Ketua KPU Provinsi Jawa Barat
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7198 seconds (0.1#10.140)