Dilema investasi asing
A
A
A
DALAM dua minggu terakhir ini kita mendengar berita tentang rencana pemerintah untuk melakukan revisi daftar negatif investasi (DNI), artinya sejumlah sektor yang biasanya tertutup untuk investasi asing akan dibuka seluruhnya atau sebagian.
Daftar ini akan dituangkan dalam bentuk peraturan presiden yang merupakan turunan dari Undang- Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007. Daftar ini memuat setidaknya dua kriteria yaitu daftar industri yang tertutup sama sekali untuk penanaman modal asing dan daftar industri yang terbuka dengan sejumlah syarat-syarat tertentu.
Merujuk dasar pertimbangan yang disebut dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010, tujuan utama dari daftar tersebut adalah mengundang penanaman modal dan mewujudkan komitmen pada liberalisasi pasar ASEAN. Ada satu hal menarik untuk didiskusikan di sini yakni tentang apa dampak yang perlu diantisipasi dari kebijakan tersebut.
Meskipun pemerintah menganggap revisi DNI sekadar sebagai upaya meningkatkan realisasi investasi, pihak lain termasuk asing justru melihat kebijakan tersebut sebagai komitmen yang lebih besar pada liberalisasi ekonomi. Istilah liberalisasi ekonomi memang dihindari karena menurut ekonom Prasetyantoko, dalam sejarah kebijakan ekonomi Indonesia, istilah liberalisasi akan menuai reaksi negatif dari masyarakat.
Istilah yang lebih disukai adalah deregulasi. Itu sebabnya wujud kebijakannya antara lain seperti DNI. Apa pun istilahnya, DNI membuka peluang bagi pemodal asing untuk masuk ke dalam sektor-sektor usaha yang selama ini dimonopoli pengusaha lokal atau pemerintah. Satu sisi, harapan pemerintah adalah sektor-sektor tersebut berkembang akibat suntikan dana segar karena ada kemitraan baru dengan jaringan bisnis yang mengglobal.
Pertanyaannya, jika memang peluang tadi mendatangkan lebih banyak untung daripada kerugian, apa efek positif jangka panjang dari keterbukaan sektor-sektor tertentu tadi bagi keseluruhan perekonomian Indonesia? Teorinya, belajar dari pengalaman negara-negara lain, sektor-sektor yang dibuka ke pasar global harusnya adalah sektor yang memperkuat perekonomian domestik dengan lebih luas.
Sampai saat ini sektor-sektor yang dikuasai asing justru sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak atau berdampak luas pada masyarakat, termasuk generasi yang belum lahir. Menurut data, ada sekitar 70% permodalan pertambangan migas yang dikuasai asing. Khusus untuk tembaga dan emas, kepemilikan asing mencapai 85%. Di sektor perkebunan misalnya perkebunan sawit, dari 8,9 juta hektare kebun, 40% dikuasai modal asing.
Sementara di sektor telekomunikasi, kepemilikan asing berkisar 35% hingga 66,5%. Untuk sektor perbankan, total pangsa pasar yang dikuasai bank asing tercatat terus meningkat hingga 34% pada 2012. Ironisnya, kenaikan pangsa pasar asing itu diikuti penurunan drastis pangsa pasar bank swasta domestik. KATA DATA mencatat sejak pasca krisis finansial 1998, sudah lebih dari 20 bank swasta nasional yang berpindah tangan ke bank asing.
Sektor lain yang sangat diincar asing adalah industri farmasi, rumah sakit, dan sektor-sektor perhubungan. Pengecualiannya di pasar modal, di mana investor-investor asing adalah pemain utama, tetapi tahun ini jumlah investor dalam negeri telah mengimbangi keberadaan investor asing. Menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), investor asing di pasar saham pada 2009 mencapai 67%. Jumlah ini semakin berkurang hingga 51% pada Agustus 2013.
Betul, para pekerja di sektorsektor yang terbuka tadi memang cenderung punya upah relatif lebih tinggi daripada pekerja di sektor lain walaupun ini tidak sepenuhnya benar. Hanya orang-orang yang diangkat sebagai pegawai permanen, khususnya yang berketerampilan khusus saja, yang menikmati efek keterbukaan ekonomi di sektor itu. Sektor-sektor lain, khususnya yang di sektor riil, tidak menikmati dampak positif dari kebijakan deregulasi tadi.
Data dominasi asing dalam sejumlah sektor tadi sebetulnya menunjukkan kebijakan liberalisasi bagian yang tak terpisahkan dari model perekonomian Indonesia, bahkan lebih serius lagi: ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap asing adalah kenyataan yang sulit dipungkiri. Problem besarnya adalah pemerintah tidak punya dana yang memadai untuk membiayai pembangunan.
Pemerintah pernah menyampaikan sendiri bahwa izin untuk membuka beberapa sektor usaha sangat tinggi sehingga hanya bisa bila menyedot dana dari luar negeri. Pernyataan itu mencerminkan kenyataan bahwa Indonesia tidak punya kecukupan dana untuk membangun. Bank Indonesia akhir Oktober 2013 mengatakan bahwa cadangan devisa kita USD97 miliar, naik dari USD95,7 miliar pada September 2013. Cadangan itu setara dengan 5,5 bulan impor.
Cadangan itu diperoleh dari keuntungan ekspor migas, namun di sektor migas ini juga kita mengalami defisit karena konsumsi bahan bakar yang tinggi sehingga terjadi defisit neraca berjalan sebesar USD657,2 juta pada September 2013. Secara keseluruhan, tak kurang dari 60% anggaran belanja negara dihabiskan untuk membayar belanja pegawai.
Pemerintah juga memutuskan untuk tidak lagi menambah utang luar negeri. Artinya, ekspansi ekonomi Indonesia bergantung pada kekuatan sektor swasta. Di sinilah kelihatan kerentanan ekonomi Indonesia karena sektor swasta di Indonesia sangat bergantung pada pembinaan dan fasilitasi dari negara. Sedihnya, tetap saja belum ada cukup pebisnis yang bisa menyaingi konglomerasi global yang kaki tangannya sudah masuk ke negara-negara Asia.
Karut-marut korupsi menghambat juga perkembangan industri yang tahan banting dan punya daya saing karena perkembangan industri bersandar pada ”kekuatan” jejaring politik dari para pengusaha. Tak heran jika pengusaha mikro, kecil, dan menengah banyak yang mengeluh kesulitan berkembang. Contoh riil lain adalah asosiasi pengusaha dan kamar dagang di Indonesia.
Di Indonesia, seperti dikemukakan ekonom Faisal Basri, para pengusaha yang duduk di organisasi pengusaha tak jarang bukan pengusaha tulen, tetapi sekadar calo. Lebih parah lagi, mereka calo yang memburu rente dari proyek-proyek pemerintah yang didanai anggaran belanja negara.
Sementara kamar dagang di Indonesia tidaklah seperti kamar dagang di negara lain di mana para pakar berkumpul dan menyusun penelitianpenelitian yang terpadu dengan upaya penetrasi pasar global atau proteksi pasar domestik dalam kondisi-kondisi tertentu. Di negeri ini kamar dagang tak ubahnya wadah silaturahmi. Tak heran ada saja orangorang asing yang merasa terkecoh ketika bekerja sama dengan kamar dagang kita karena jalur membangun kemitraan di sana sulit diandalkan.
Artinya, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi seperti DNI, kita justru perlu mengantisipasi kerepotan pengembangan usaha di sektorsektor riil. Pertama, perbaikan pengolahan sektor ekstraktif. Deregulasi justru berisiko membuat perusahaan asing giat mengeruk sumber daya alam dengan tamak karena mengejar waktu.
Mengingat sistem bagi hasil yang ada tidak adil dan belum ada kemajuan dalam investasi pemerintah untuk alih teknologi, keuntungan dari deregulasi tadi akan lebih banyak masuk ke kantong asing. Kedua, bidang usaha yang dibuka akses kepemilikan modal asingnya sampai 100% seperti pengelolaan bandara, pelabuhan, dan jasa kebandarudaraan perlu diantisipasi bahwa mimpi usaha-usaha kecil dan menengah untuk punya kemudahan akses pasar ke luar negeri atau bahkan ke provinsi lain akan terkendala negosiasi dengan pihak-pihak asing.
Sektor yang sebenarnya berpotensi menyerap daya beli masyarakat seperti telekomunikasi, keterbukaan investasi, berdampak pada penyerapan potensi pasar dari perusahaan lokal yang sejenis. Ketiga, sektor-sektor yang dibuka secara terbatas seperti pendidikan berisiko menyerap tenaga-tenaga ahli Indonesia untuk lebih tertarik bekerja di lembaga pendidikan asing dan bukan mengembangkan lembaga pendidikan domestik.
Padahal risikonya adalah makin lebarnya kesenjangan peluang pendidikan bagi mereka yang tidak sanggup membayar biaya pendidikan tinggi. Singkat kata, niat pemerintah yang kabarnya bermaksud meningkatkan lapangan kerja, atau meningkatkan layanan masyarakat, justru memperumit upaya menunjang Indonesia sebagai tuan rumah yang berwibawa di negeri sendiri.
Tentunya tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) karena seharusnya semua instansi dan kementerian di bawah koordinasi menteri koordinator bidang ekonomi, keuangan dan industri memanggul tanggung jawab ini bersama-sama dalam skenario strategi jangka panjang.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
Daftar ini akan dituangkan dalam bentuk peraturan presiden yang merupakan turunan dari Undang- Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007. Daftar ini memuat setidaknya dua kriteria yaitu daftar industri yang tertutup sama sekali untuk penanaman modal asing dan daftar industri yang terbuka dengan sejumlah syarat-syarat tertentu.
Merujuk dasar pertimbangan yang disebut dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010, tujuan utama dari daftar tersebut adalah mengundang penanaman modal dan mewujudkan komitmen pada liberalisasi pasar ASEAN. Ada satu hal menarik untuk didiskusikan di sini yakni tentang apa dampak yang perlu diantisipasi dari kebijakan tersebut.
Meskipun pemerintah menganggap revisi DNI sekadar sebagai upaya meningkatkan realisasi investasi, pihak lain termasuk asing justru melihat kebijakan tersebut sebagai komitmen yang lebih besar pada liberalisasi ekonomi. Istilah liberalisasi ekonomi memang dihindari karena menurut ekonom Prasetyantoko, dalam sejarah kebijakan ekonomi Indonesia, istilah liberalisasi akan menuai reaksi negatif dari masyarakat.
Istilah yang lebih disukai adalah deregulasi. Itu sebabnya wujud kebijakannya antara lain seperti DNI. Apa pun istilahnya, DNI membuka peluang bagi pemodal asing untuk masuk ke dalam sektor-sektor usaha yang selama ini dimonopoli pengusaha lokal atau pemerintah. Satu sisi, harapan pemerintah adalah sektor-sektor tersebut berkembang akibat suntikan dana segar karena ada kemitraan baru dengan jaringan bisnis yang mengglobal.
Pertanyaannya, jika memang peluang tadi mendatangkan lebih banyak untung daripada kerugian, apa efek positif jangka panjang dari keterbukaan sektor-sektor tertentu tadi bagi keseluruhan perekonomian Indonesia? Teorinya, belajar dari pengalaman negara-negara lain, sektor-sektor yang dibuka ke pasar global harusnya adalah sektor yang memperkuat perekonomian domestik dengan lebih luas.
Sampai saat ini sektor-sektor yang dikuasai asing justru sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak atau berdampak luas pada masyarakat, termasuk generasi yang belum lahir. Menurut data, ada sekitar 70% permodalan pertambangan migas yang dikuasai asing. Khusus untuk tembaga dan emas, kepemilikan asing mencapai 85%. Di sektor perkebunan misalnya perkebunan sawit, dari 8,9 juta hektare kebun, 40% dikuasai modal asing.
Sementara di sektor telekomunikasi, kepemilikan asing berkisar 35% hingga 66,5%. Untuk sektor perbankan, total pangsa pasar yang dikuasai bank asing tercatat terus meningkat hingga 34% pada 2012. Ironisnya, kenaikan pangsa pasar asing itu diikuti penurunan drastis pangsa pasar bank swasta domestik. KATA DATA mencatat sejak pasca krisis finansial 1998, sudah lebih dari 20 bank swasta nasional yang berpindah tangan ke bank asing.
Sektor lain yang sangat diincar asing adalah industri farmasi, rumah sakit, dan sektor-sektor perhubungan. Pengecualiannya di pasar modal, di mana investor-investor asing adalah pemain utama, tetapi tahun ini jumlah investor dalam negeri telah mengimbangi keberadaan investor asing. Menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), investor asing di pasar saham pada 2009 mencapai 67%. Jumlah ini semakin berkurang hingga 51% pada Agustus 2013.
Betul, para pekerja di sektorsektor yang terbuka tadi memang cenderung punya upah relatif lebih tinggi daripada pekerja di sektor lain walaupun ini tidak sepenuhnya benar. Hanya orang-orang yang diangkat sebagai pegawai permanen, khususnya yang berketerampilan khusus saja, yang menikmati efek keterbukaan ekonomi di sektor itu. Sektor-sektor lain, khususnya yang di sektor riil, tidak menikmati dampak positif dari kebijakan deregulasi tadi.
Data dominasi asing dalam sejumlah sektor tadi sebetulnya menunjukkan kebijakan liberalisasi bagian yang tak terpisahkan dari model perekonomian Indonesia, bahkan lebih serius lagi: ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap asing adalah kenyataan yang sulit dipungkiri. Problem besarnya adalah pemerintah tidak punya dana yang memadai untuk membiayai pembangunan.
Pemerintah pernah menyampaikan sendiri bahwa izin untuk membuka beberapa sektor usaha sangat tinggi sehingga hanya bisa bila menyedot dana dari luar negeri. Pernyataan itu mencerminkan kenyataan bahwa Indonesia tidak punya kecukupan dana untuk membangun. Bank Indonesia akhir Oktober 2013 mengatakan bahwa cadangan devisa kita USD97 miliar, naik dari USD95,7 miliar pada September 2013. Cadangan itu setara dengan 5,5 bulan impor.
Cadangan itu diperoleh dari keuntungan ekspor migas, namun di sektor migas ini juga kita mengalami defisit karena konsumsi bahan bakar yang tinggi sehingga terjadi defisit neraca berjalan sebesar USD657,2 juta pada September 2013. Secara keseluruhan, tak kurang dari 60% anggaran belanja negara dihabiskan untuk membayar belanja pegawai.
Pemerintah juga memutuskan untuk tidak lagi menambah utang luar negeri. Artinya, ekspansi ekonomi Indonesia bergantung pada kekuatan sektor swasta. Di sinilah kelihatan kerentanan ekonomi Indonesia karena sektor swasta di Indonesia sangat bergantung pada pembinaan dan fasilitasi dari negara. Sedihnya, tetap saja belum ada cukup pebisnis yang bisa menyaingi konglomerasi global yang kaki tangannya sudah masuk ke negara-negara Asia.
Karut-marut korupsi menghambat juga perkembangan industri yang tahan banting dan punya daya saing karena perkembangan industri bersandar pada ”kekuatan” jejaring politik dari para pengusaha. Tak heran jika pengusaha mikro, kecil, dan menengah banyak yang mengeluh kesulitan berkembang. Contoh riil lain adalah asosiasi pengusaha dan kamar dagang di Indonesia.
Di Indonesia, seperti dikemukakan ekonom Faisal Basri, para pengusaha yang duduk di organisasi pengusaha tak jarang bukan pengusaha tulen, tetapi sekadar calo. Lebih parah lagi, mereka calo yang memburu rente dari proyek-proyek pemerintah yang didanai anggaran belanja negara.
Sementara kamar dagang di Indonesia tidaklah seperti kamar dagang di negara lain di mana para pakar berkumpul dan menyusun penelitianpenelitian yang terpadu dengan upaya penetrasi pasar global atau proteksi pasar domestik dalam kondisi-kondisi tertentu. Di negeri ini kamar dagang tak ubahnya wadah silaturahmi. Tak heran ada saja orangorang asing yang merasa terkecoh ketika bekerja sama dengan kamar dagang kita karena jalur membangun kemitraan di sana sulit diandalkan.
Artinya, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi seperti DNI, kita justru perlu mengantisipasi kerepotan pengembangan usaha di sektorsektor riil. Pertama, perbaikan pengolahan sektor ekstraktif. Deregulasi justru berisiko membuat perusahaan asing giat mengeruk sumber daya alam dengan tamak karena mengejar waktu.
Mengingat sistem bagi hasil yang ada tidak adil dan belum ada kemajuan dalam investasi pemerintah untuk alih teknologi, keuntungan dari deregulasi tadi akan lebih banyak masuk ke kantong asing. Kedua, bidang usaha yang dibuka akses kepemilikan modal asingnya sampai 100% seperti pengelolaan bandara, pelabuhan, dan jasa kebandarudaraan perlu diantisipasi bahwa mimpi usaha-usaha kecil dan menengah untuk punya kemudahan akses pasar ke luar negeri atau bahkan ke provinsi lain akan terkendala negosiasi dengan pihak-pihak asing.
Sektor yang sebenarnya berpotensi menyerap daya beli masyarakat seperti telekomunikasi, keterbukaan investasi, berdampak pada penyerapan potensi pasar dari perusahaan lokal yang sejenis. Ketiga, sektor-sektor yang dibuka secara terbatas seperti pendidikan berisiko menyerap tenaga-tenaga ahli Indonesia untuk lebih tertarik bekerja di lembaga pendidikan asing dan bukan mengembangkan lembaga pendidikan domestik.
Padahal risikonya adalah makin lebarnya kesenjangan peluang pendidikan bagi mereka yang tidak sanggup membayar biaya pendidikan tinggi. Singkat kata, niat pemerintah yang kabarnya bermaksud meningkatkan lapangan kerja, atau meningkatkan layanan masyarakat, justru memperumit upaya menunjang Indonesia sebagai tuan rumah yang berwibawa di negeri sendiri.
Tentunya tanggung jawab ini tidak bisa hanya dibebankan pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) karena seharusnya semua instansi dan kementerian di bawah koordinasi menteri koordinator bidang ekonomi, keuangan dan industri memanggul tanggung jawab ini bersama-sama dalam skenario strategi jangka panjang.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)