Problem struktural pembangunan kesehatan Indonesia
A
A
A
“SEPERTI kapal akan tenggelam; itulah negeri kita; bencana datang di mana-mana; membawa sengsara, membawa air mata. Seperti kapal dalam harapan; berlayar tanpa arah; dihempas badai dan gelombang ; tak pernah sampai tujuan……”
Syair penggalan lagu almarhum Franky Sahilatua yang berjudul Kembali ke Pancasila di atas, seolah ingin menggambarkan realitas kekinian Indonesia.
Pernyataan tersebut tentu bukan tanpa alasan, melihat berbagai indikator keberhasilan pembangunan di Indonesia serta carut-marutnya kondisi sosial politik dan ekonomi bangsa. Terlebih lagi ketika kita memperhatikan indeks pembangunan manusia Indonesia. Penggalan syair tersebut juga pas sebagai sarana berkaca dalam memperingati Hari Kesehatan Nasional yang jatuh hari ini.
Salah satu indikator yang penting kita perhatikan adalah indeks pembangunan manusia atau dikenal dengan Human Development Index (HDI) yang memuat indikator usia harapan hidup, akses terhadap pendidikandan standar hidup yang layak. HDI Indonesia pada tahun 2012 adalah 0,629 dengan posisi peringkat ke-121 dari 187 negara bersama Kiribati dan Afrika Selatan. HDI Indonesia di bawah nilai 0,64, yaitu nilai HDI rata-rata kelompok negara dengan indeks pembangunan manusia medium dan di bawah nilai 0,683 yaitu nilai rata-rata negara di Asia Timur dan Pasifik.
(UNDP, 2012) Kondisi di atas salah satunya karena disparitas antar wilayah di Indonesia yang sangat besar. Belum meratanya pembangunan di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan tingkatan kesejahteraan pun berbeda di setiap daerah. Dalam konteks pembangunan kesehatan tidak meratanya distribusi dokter di seluruh wilayah Indonesia, dapat dijadikan salah satu contoh. Saat ini jumlah dokter anggota IDI sebanyak 111.574 orang dengan jumlah anggota terbanyak di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 20.942 orang.
(Pusdalin PB IDI, 2013) Kenyataan ketidakmerataan dokter di atas, menyebabkan sebagian masyarakat atau bahkan pejabat negara berpandangan negatif terhadap dokter, dengan berkata “dokter hanya maunya memilih tempat yang enak”. Pandangan tersebut tentu tidak selalu benar sebab sampai sekarang masih banyak dokter yang tetap tulus bertugas di daerah terpencil, namun tidak diberitakan. Lagi pula, kenapa dibiarkan terjadi kesenjangan pembangunan antar wilayah di negeri ini.
Ada wilayah enak dan tidak enak, ada yang makmur dan ada pula tidak makmur, dan sebagainya. Selain itu, salah satu indikator keberpihakan pemerintah terhadap kesehatan rakyatnya adalah anggaran kesehatan yang optimal. Fitra, 2012 melansir data bahwa sejak tahun 2005–2013, rata-rata anggaran kesehatan hanya dialokasikan sebesar 2%, jauh dari amanat Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang mengamanatkan anggaran kesehatan 5% dari APBN. Kondisi ini sangat memengaruhi pelayanan kesehatan di Indonesia dan upaya menuju masyarakat sehat menemui jalan berliku dan panjang.
Paradigma pembangunan kesehatan
Paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. Bagi seorang pemimpin, paradigma yang digunakannya dalam memimpin akan memengaruhi secara langsung segenap keputusannya.
Di bidang kesehatan, apa yang menjadi paradigma pemimpin tersebut akan tercermin dalam program pembangunan kesehatan yang dicanangkannya. Pertama, paradigma biomedis. Di awal kemerdekaan, situasi derajat kesehatan rakyat Indonesia relatif rendah. Kondisi objektif ini menyebabkan terbangunnya paradigma biomedis yang mengedepankan aspek kuratif dalam pembangunan kesehatan.
Hal mana ditandai dengan gencarnya pembangunan pelayanan kedokteran, pembangunan rumah sakit, pendistribusian obat-obatan dengan membuka peluang seluas-luasnya bagi industri farmasi, baik nasional maupun asing untuk berkiprah.
Namun, ketika paradigma biomedis dalam pembangunan kesehatan terus dipakai, berbagai distorsi pun terjadi: Meningkatnya jumlah SDM kesehatan tidak dibarengi dengan distribusi yang proporsional; Meningkatnya jumlah sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, posyandu) tidak didukung dengan sistem pelayanan yang terstruktur; Terbukanya peluang bagi industri farmasi tidak menjadikan obat generik dan obat-obat esensial sebagai primadona pengobatan.
Akumulasinya adalah terjadinya anarkisme dalam pelayanan kesehatan di Indonesia: tenaga kesehatan terkonsentrasi di daerah yang menguntungkan bagi profesinya; rumah sakit dijadikan sumber PAD; dan obat-obatan berubah menjadi komoditi komersial. Kedua, paradigma sehat. Keprihatinan atas terjadinya berbagai distorsi dalam pembangunan kesehatan dengan paradigma biomedis ini, menyebabkan pemimpin Indonesia pada periode Orde Baru melakukan koreksi atas paradigma yang digunakan dalam pembangunan kesehatan.
Puncaknya adalah dicanangkannya “Paradigma Sehat” dengan capaian “Indonesia Sehat 2010” sebagai salah satu kualitas yang ingin dicapai para pemimpin Indonesia saat itu. Komitmen yang sangat mulia dengan menjadikan “Paradigma Sehat” dalam pembangunan kesehatan di Indonesia, sayangnya tidak didukung oleh infrastruktur dan kesamaan persepsi dari seluruh stake holder yang berkepentingan dalam pembangunan kesehatan. Paradigma Sehat memang dijadikan acuan dalam Sistem Kesehatan Nasional, namun Paradigma Biomedis yang menekankan aspek kuratif, termasuk dalam pembiayaan kesehatan tetap tidak ditinggalkan.
Hal lain yang memperparah kondisi ini adalah terbukanya pasar pelayanan kesehatan bagi pihak asing untuk masuk ke Indonesia melalui pintu asuransi kesehatan komersial, transfer of knowlegde and technology, dan kerja sama manajemen rumah sakit. Ketiga, paradigma sehat berdaulat. Karena itu, saat ini dan ke depan, Indonesia harus memiliki paradigma pembangunan kesehatan yang mumpuni untuk mengatasi berbagai problematika kesehatan yang telah terjadi secara struktural dan sistemik.
Nilainilai baik pada paradigma biomedis (ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan yang proporsional) harus dioptimalkan. Nilai-nilai baik pada paradigma sehat (menjadikan aspek kesehatan sebagai mainstream pembangunan nasional, serta pelaksanaan sistem pelayanan kesehatan yang terstruktur yang ujung tombaknya adalah dokter keluarga) harus dikedepankan.
Indonesia butuh paradigma pembangunan kesehatan yang mendukung terwujudnya kedaulatan kesehatan bagi rakyat Indonesia. Pembangunan kesehatan dengan Paradigma Sehat Berdaulat adalah pembangunan kesehatan yang memungkinkan seluruh sumber daya kesehatan di Indonesia bekerja optimal untuk menjamin terwujudnya hak-hak kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menuju masyarakat sehat berdaulat
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”.
Merujuk pasal tersebut, pembangunan kesehatan diarahkan langsung kepada masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek untuk hidup sehat. Dalam mewujudkan masyarakat sehat dan berdaulat sebagai tujuan pembangunan kesehatan, tidak lepas dari peran aktor kebijakan dan lingkungan kebijakan. Aktor kebijakan memiliki peran yang sangat penting dalam membuat suatu tatanan menuju tujuan yang dicita-citakan. Dalam menjalankan perannya, aktor kebijakan dipengaruhi oleh nilai-nilai politik, organisasi, pribadi, kebijakan, dan ideologis.
Tepat atau tidaknya kebijakan yang dibuat sesuai dengan tujuan, bergantung pada sejauh mana para pelaku kebijakan menempatkan dirinya pada posisi berpihak kepada masyarakat luas atau hanya kelompok tertentu. Aktor kebijakan merupakan pemimpin itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa upaya mewujudkan masyarakat sehat dan berdaulat tidak lepas dari peran pemimpin dan kepemimpinannya agar sesuai koridor yang lebih berpihak pada kepentingan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa terkecuali.
ZAENAL ABIDIN
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
Syair penggalan lagu almarhum Franky Sahilatua yang berjudul Kembali ke Pancasila di atas, seolah ingin menggambarkan realitas kekinian Indonesia.
Pernyataan tersebut tentu bukan tanpa alasan, melihat berbagai indikator keberhasilan pembangunan di Indonesia serta carut-marutnya kondisi sosial politik dan ekonomi bangsa. Terlebih lagi ketika kita memperhatikan indeks pembangunan manusia Indonesia. Penggalan syair tersebut juga pas sebagai sarana berkaca dalam memperingati Hari Kesehatan Nasional yang jatuh hari ini.
Salah satu indikator yang penting kita perhatikan adalah indeks pembangunan manusia atau dikenal dengan Human Development Index (HDI) yang memuat indikator usia harapan hidup, akses terhadap pendidikandan standar hidup yang layak. HDI Indonesia pada tahun 2012 adalah 0,629 dengan posisi peringkat ke-121 dari 187 negara bersama Kiribati dan Afrika Selatan. HDI Indonesia di bawah nilai 0,64, yaitu nilai HDI rata-rata kelompok negara dengan indeks pembangunan manusia medium dan di bawah nilai 0,683 yaitu nilai rata-rata negara di Asia Timur dan Pasifik.
(UNDP, 2012) Kondisi di atas salah satunya karena disparitas antar wilayah di Indonesia yang sangat besar. Belum meratanya pembangunan di seluruh wilayah Indonesia menyebabkan tingkatan kesejahteraan pun berbeda di setiap daerah. Dalam konteks pembangunan kesehatan tidak meratanya distribusi dokter di seluruh wilayah Indonesia, dapat dijadikan salah satu contoh. Saat ini jumlah dokter anggota IDI sebanyak 111.574 orang dengan jumlah anggota terbanyak di Provinsi DKI Jakarta sebanyak 20.942 orang.
(Pusdalin PB IDI, 2013) Kenyataan ketidakmerataan dokter di atas, menyebabkan sebagian masyarakat atau bahkan pejabat negara berpandangan negatif terhadap dokter, dengan berkata “dokter hanya maunya memilih tempat yang enak”. Pandangan tersebut tentu tidak selalu benar sebab sampai sekarang masih banyak dokter yang tetap tulus bertugas di daerah terpencil, namun tidak diberitakan. Lagi pula, kenapa dibiarkan terjadi kesenjangan pembangunan antar wilayah di negeri ini.
Ada wilayah enak dan tidak enak, ada yang makmur dan ada pula tidak makmur, dan sebagainya. Selain itu, salah satu indikator keberpihakan pemerintah terhadap kesehatan rakyatnya adalah anggaran kesehatan yang optimal. Fitra, 2012 melansir data bahwa sejak tahun 2005–2013, rata-rata anggaran kesehatan hanya dialokasikan sebesar 2%, jauh dari amanat Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan yang mengamanatkan anggaran kesehatan 5% dari APBN. Kondisi ini sangat memengaruhi pelayanan kesehatan di Indonesia dan upaya menuju masyarakat sehat menemui jalan berliku dan panjang.
Paradigma pembangunan kesehatan
Paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. Bagi seorang pemimpin, paradigma yang digunakannya dalam memimpin akan memengaruhi secara langsung segenap keputusannya.
Di bidang kesehatan, apa yang menjadi paradigma pemimpin tersebut akan tercermin dalam program pembangunan kesehatan yang dicanangkannya. Pertama, paradigma biomedis. Di awal kemerdekaan, situasi derajat kesehatan rakyat Indonesia relatif rendah. Kondisi objektif ini menyebabkan terbangunnya paradigma biomedis yang mengedepankan aspek kuratif dalam pembangunan kesehatan.
Hal mana ditandai dengan gencarnya pembangunan pelayanan kedokteran, pembangunan rumah sakit, pendistribusian obat-obatan dengan membuka peluang seluas-luasnya bagi industri farmasi, baik nasional maupun asing untuk berkiprah.
Namun, ketika paradigma biomedis dalam pembangunan kesehatan terus dipakai, berbagai distorsi pun terjadi: Meningkatnya jumlah SDM kesehatan tidak dibarengi dengan distribusi yang proporsional; Meningkatnya jumlah sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit, puskesmas, posyandu) tidak didukung dengan sistem pelayanan yang terstruktur; Terbukanya peluang bagi industri farmasi tidak menjadikan obat generik dan obat-obat esensial sebagai primadona pengobatan.
Akumulasinya adalah terjadinya anarkisme dalam pelayanan kesehatan di Indonesia: tenaga kesehatan terkonsentrasi di daerah yang menguntungkan bagi profesinya; rumah sakit dijadikan sumber PAD; dan obat-obatan berubah menjadi komoditi komersial. Kedua, paradigma sehat. Keprihatinan atas terjadinya berbagai distorsi dalam pembangunan kesehatan dengan paradigma biomedis ini, menyebabkan pemimpin Indonesia pada periode Orde Baru melakukan koreksi atas paradigma yang digunakan dalam pembangunan kesehatan.
Puncaknya adalah dicanangkannya “Paradigma Sehat” dengan capaian “Indonesia Sehat 2010” sebagai salah satu kualitas yang ingin dicapai para pemimpin Indonesia saat itu. Komitmen yang sangat mulia dengan menjadikan “Paradigma Sehat” dalam pembangunan kesehatan di Indonesia, sayangnya tidak didukung oleh infrastruktur dan kesamaan persepsi dari seluruh stake holder yang berkepentingan dalam pembangunan kesehatan. Paradigma Sehat memang dijadikan acuan dalam Sistem Kesehatan Nasional, namun Paradigma Biomedis yang menekankan aspek kuratif, termasuk dalam pembiayaan kesehatan tetap tidak ditinggalkan.
Hal lain yang memperparah kondisi ini adalah terbukanya pasar pelayanan kesehatan bagi pihak asing untuk masuk ke Indonesia melalui pintu asuransi kesehatan komersial, transfer of knowlegde and technology, dan kerja sama manajemen rumah sakit. Ketiga, paradigma sehat berdaulat. Karena itu, saat ini dan ke depan, Indonesia harus memiliki paradigma pembangunan kesehatan yang mumpuni untuk mengatasi berbagai problematika kesehatan yang telah terjadi secara struktural dan sistemik.
Nilainilai baik pada paradigma biomedis (ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan yang proporsional) harus dioptimalkan. Nilai-nilai baik pada paradigma sehat (menjadikan aspek kesehatan sebagai mainstream pembangunan nasional, serta pelaksanaan sistem pelayanan kesehatan yang terstruktur yang ujung tombaknya adalah dokter keluarga) harus dikedepankan.
Indonesia butuh paradigma pembangunan kesehatan yang mendukung terwujudnya kedaulatan kesehatan bagi rakyat Indonesia. Pembangunan kesehatan dengan Paradigma Sehat Berdaulat adalah pembangunan kesehatan yang memungkinkan seluruh sumber daya kesehatan di Indonesia bekerja optimal untuk menjamin terwujudnya hak-hak kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menuju masyarakat sehat berdaulat
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan “Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis”.
Merujuk pasal tersebut, pembangunan kesehatan diarahkan langsung kepada masyarakat sebagai subyek sekaligus obyek untuk hidup sehat. Dalam mewujudkan masyarakat sehat dan berdaulat sebagai tujuan pembangunan kesehatan, tidak lepas dari peran aktor kebijakan dan lingkungan kebijakan. Aktor kebijakan memiliki peran yang sangat penting dalam membuat suatu tatanan menuju tujuan yang dicita-citakan. Dalam menjalankan perannya, aktor kebijakan dipengaruhi oleh nilai-nilai politik, organisasi, pribadi, kebijakan, dan ideologis.
Tepat atau tidaknya kebijakan yang dibuat sesuai dengan tujuan, bergantung pada sejauh mana para pelaku kebijakan menempatkan dirinya pada posisi berpihak kepada masyarakat luas atau hanya kelompok tertentu. Aktor kebijakan merupakan pemimpin itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa upaya mewujudkan masyarakat sehat dan berdaulat tidak lepas dari peran pemimpin dan kepemimpinannya agar sesuai koridor yang lebih berpihak pada kepentingan kesejahteraan bagi masyarakat tanpa terkecuali.
ZAENAL ABIDIN
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
(nfl)