Urgensi Densus Antikorupsi

Rabu, 30 Oktober 2013 - 07:41 WIB
Urgensi Densus Antikorupsi
Urgensi Densus Antikorupsi
A A A
SEJAK digulirkan pertama kali, ide pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Antikorupsi Mabes Polri telah mendapat tanggapan beragam dari kalangan Polri, pengamat kepolisian, politisi, praktisi dan pakar hukum, aktivis LSM, bahkan pejabat KPK.

Sebagian mendukung ide yang saya sampaikan dalam fit and proper test calon Kapolri Komjen Sutarman tanggal 17 Oktober. Komjen Sutarman dan beberapa petinggi Polri juga mendukungnya, bahkan Jubir KPK Johan Budi menyatakan logikanya Densus Antikorupsi akan mengungkap semakin banyak kasus korupsi (Republika, 21 Oktober 2013).

Dukungan tersebut merupakan modal luar biasa karena saya juga menggagas ide serupa untuk diterapkan di Kejaksaan RI meski dengan nama berbeda. Sebagian yang lain mengkritiknya dengan menyatakan pembentukan densus tersebut akan melemahkan KPK dan berbagai tudingan miring lainnya.

Perdebatan pro-kontra itu biasa. Dulu sebelum KPK dibentuk, perdebatannya juga panjang sejak proses pembentukan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/ 1998 yang kemudian melahirkan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Tudingan miring juga disampaikan kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), termasuk ketidakpatuhan banyak penyelenggara negara dalam menyampaikan laporan kekayaannya. KPKPN yang berubah menjadi Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) itu kemudian menyasar banyak pejabat, termasuk para politisi, birokrasi, polisi, jaksa, pimpinan perguruan tinggi, pengusaha, dan sebagainya.

Ini membuktikan kecurigaan terhadap ide pembentukan Densus Antikorupsi dan menuduh adanya upaya pelemahan KPK, atau menciptakan lembaga baru yang dapat bernegosiasi, adalah ahistoris dan tidak berdasar sama sekali. Siapa pun tidak dapat mencegah lembaga pemberantasan korupsi untuk menindaknya jika bersalah, meski yang mendirikan lembaga tersebut adalah rekan-rekannya sesama politisi.

Bahkan, pejabat Polri dan Kejaksaan RI pun tidak luput meskipun penyidik di KPK juga polisi dan jaksa, yang pangkatnya lebih rendah dan lebih junior. Sementara pejabat yang jujur, bersih, dan tidak menyalahgunakan kewenangannya tidak perlu takut.

Sekarang era transparansi. Informasi mudah menyebar ke seluruh dunia lewat media massa dan media sosial. Orang lebih bebas menyampaikan keluhan dan aspirasinya. Di sisi lain, proses hukum menghendaki pembuktian kesalahan seseorang dengan sedikitnya dua alat bukti. Mereka pun harus diadili, dan pengadilannya terbuka, bisa ditonton siapa saja. Kini Orde Baru sudah lewat, di mana orang bisa ditahan tanpa pernah diadili.

Karena itu, kecil sekali kemungkinan mereka yang bersih dapat direkayasa untuk menjadi tersangka korupsi. Namun, masalahnya adalah KPK mempunyai keterbatasan. Jumlah penyidik sangat sedikit. Laporan yang masuk ribuan kasus. Tahun 2012 saja, dari 6.344 laporan pengaduan masyarakat, hanya 706 yang ditindaklanjuti ke bagian penindakan.

Hampir 50%-nya malah tidak diteruskan sama sekali, bahkan tidak diarsipkan atau dibuang. Padahal, KPK juga menindak berdasarkan investigasinya sendiri, pengembangan kasus, atau penyelidikan kasus-kasus sistemik, seperti Century, Hambalang, SKK Migas, perpajakan, pertambangan, dan sumber daya alam strategis lainnya.

Keterbatasan KPK juga terlihat dari target tahun 2014 yang hanya akan melakukan penyelidikan 80 kasus, penyidikan 75 perkara, sementara 70 kasus ditargetkan dalam koordinasi, serta 140 kasus masuk dalam supervisi. Alhasil, KPK lebih banyak agresif dalam kasus Operasi Tangkap Tangan karena buktinya jelas dan tidak perlu pengusutan kompleks untuk pembuktian kesalahan pelaku.

Sementara kasuskasus kerah putih, terutama yang melakukan pencucian uang ke berbagai negara, dapat disebut belum tertangani, termasuk aliran dana talangan Bank Century ke bank dan lembaga keuangan di luar negeri. Yang lebih sulit adalah pencegahan dan pemberantasan korupsi di daerah.

Dana transfer ke daerah terus meningkat, dan seiring dengan upaya pembentukan daerah otonom baru, jumlah, dan persentase kenaikannya akan meningkat pula. Pada Nota Keuangan Tahun 2014 disebutkan bahwa alokasi anggaran transfer ke daerah meningkat dari Rp292,4 triliun atau 5,9% dari pendapatan domestik bruto (PDB) pada tahun 2008 menjadi Rp529,4 triliun atau 5,7% dari PDB pada tahun 2013.

Belanja ke daerah tahun ini setara dengan 30,7% dari belanja negara. Akan tetapi, peningkatan belanja ke daerah itu tidak selalu membawa kesejahteraan. Provinsi- provinsi yang kaya sumber daya alam justru memiliki persentase kemiskinan melebihi rata-rata nasional. Provinsi-provinsi itu juga mendapat dana transfer ke daerah yang sangat besar, baik dana alokasi umum maupun dana otonomi khusus.

Potensi korupsi di daerah menjadi makin besar karena menurut data Kemendagri, sebanyak 57 kepala daerah melakukan politik dinasti. Banyaknya kasus korupsi yang tersebar di seluruh institusi dan di seluruh Indonesia, menunjukkan KPK tidak akan mampu menuntaskannya.

Nilai kerugian negara terhadap kasus-kasus tersebut jauh dari perkiraan kasus Hambalang yang mencapai Rp400 miliar lebih. Tetapi karena kasus-kasus itu sangat banyak, sangat boleh jadi total kerugian negara melampaui kasus-kasus besar di tingkat nasional.

Nantinya, densus antikorupsi tersebut harus mandiri dan bebas dari intervensi siapa pun, termasuk presiden, DPR dan kapolri sendiri. Lembaga tersebut ditempatkan di bawah kapolri agar lebih cekatan dan efektif. Penyidiknya diseleksi sangat ketat, dan mereka yang pernah menjadi penyidik KPK dan terbukti bersih diprioritaskan untuk menjadi unsur pimpinan dalam densus.

Densus juga dapat membuat struktur yang khusus menangani korupsi sektor perpajakan, pertambangan migas, emas, dan kekayaan sumber daya alam lainnya, perbankan, transaksi finansial di bursa saham dan valas, illegal logging, illegal fishing dan illegal mining, pengelolaan APBN dan APBD, dan sebagainya. Untuk itu, densus perlu diberi kewenangan luar biasa. Konsekuensinya, tunjangan dan honorarium mereka pun disetarakan dengan aparat KPK.

Namun, densus tidak dapat diberi kewenangan koordinasi dan supervisi lembaga lain. Hal itu karena KPK tetap merupakan pemimpin lembaga-lembaga pemberantasan korupsi. KPK adalah leading sector sesuai kewenangannya dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK. Sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 6, 7 dan 8, KPK bertugas dan berwenang untuk melakukan koordinasi dan supervisi instansi pemberantasan tindak pidana korupsi.

Bahkan, pasal 9 memberikan kewenangan KPK untuk melakukan pengambilalihan penyidikan dan penuntutan dari kepolisian dan kejaksaan. Misalnya karena proses penanganan kasus berlarut-larut, penanganan untuk melindungi pelaku, atau karena penanganan itu justru mengandung tindak pidana korupsi.

Maka sangat aneh jika ada yang menolak gagasan densus ini, karena menuding akan terjadi perang penyadapan atau saling sandera seperti kasus di masa lalu. Hukum Indonesia telah menetapkan KPK adalah koordinator dan supervisor bagi Polri dan Kejaksaan RI, termasuk jika nantinya dibentuk Densus Antikorupsi Mabes Polri dan lembaga serupa di Kejaksaan RI.

Jadi, sepanjang KPK tetap bersih, pembentukan lembaga densus ini akan mampu mencegah dan memberantas korupsi secara lebih masif, terstruktur, dan sistematis.

AHMAD YANI, SH, MH
Wakil Ketua FPPP/Anggota Komisi III DPR RI
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7481 seconds (0.1#10.140)