Demo buruh

Rabu, 30 Oktober 2013 - 06:56 WIB
Demo buruh
Demo buruh
A A A
SETIAP menjelang pergantian tahun atau beberapa bulan menyambut tahun baru, masyarakat selalu disuguhi dengan tuntutan buruh tentang kenaikan upah minimum baik kabupaten/kota atau provinsi.

Para buruh turun ke jalan mendesak pemerintah untuk menyetujui kenaikan upah, bukan menuntut penurunan upah karena kebutuhan hidup layak (KHL) juga dianggap naik. Tuntutan para buruh sebenarnya wajar karena memang setiap tahun akan terjadi inflasi yang membuat kebutuhan hidup masyarakat semakin naik. Di sisi lain, perusahaan mengeluhkan tuntutan para buruh tersebut karena kenaikan upah akan menaikkan biaya produksi mereka.

Misalnya ada kenaikan, para pengusaha mempunyai hitung-hitungan sendiri dan tentu berbeda dengan para buruh. Artinya memang pada menjelang pergantian tahun, antara buruh dan pengusaha selalu sulit menemukan titik temu tentang upah minimum. Di sini, peran pemerintah untuk memediasi agar menemukan titik temu besaran upah minimum.

Perselisihan antara buruh dan pengusaha tentang upah minimum akan sulit didapat jika tidak saling mengenal. Akibatnya hubungan buruh-pengusaha yang semestinya mesra justru yang terjadi hubungan konflik, terutama soal pengupahan. Solusi idealnya memang duduk bareng untuk membicarakan berapa besaran upah minimum.

Namun, hasil pertemuan sering menimbulkan “luka” bagi salah satu pihak. Contohnya pada 2013 ini ketika penentuan upah minimum di Provinsi DKI sebesar Rp2,2 juta, membuat kecewa para pengusaha karena dianggap terlalu besar, namun membuat buruh semringah karena kenaikan yang mencapai sekitar 44% atau dari sekitar Rp1,53 menjadi Rp2,2 juta.

Ritual para buruh untuk menuntut kenaikan upah minimum tiap tahun adalah turun ke jalan atau melakukan demonstrasi. Sebagian besar masyarakat mengeluhkan aksi turun ke jalan ini, karena ribuan buruh seperti menutup akses jalan-jalan protokol sehingga menimbulkan kemacetan yang luar biasa. Bahkan, para buruh pernah menutup akses jalan tol yang mengganggu kegiatan masyarakat lain.

Akibatnya yang muncul bukan empati kepada para buruh, namun justru antipati kepada aksi yang dilakukan buruh. Aksi ini sepertinya sudah menjadi agenda tahunan hingga mereka memiliki seragam khusus untuk melakukan aksi dengan penutup kepala dan baju yang seragam.

Pertanyaannya, kenapa aksi turun ke jalan justru menjadi rutinitas bagi para buruh? Jawaban sederhananya adalah tidak ada titik temu ataupun hubungan yang mesra antara buruh dan pengusaha. Meski diyakini, tidak semua perusahaan yang mempunyai hubungan tidak mesra dengan para buruhnya. Namun, ritual turun ke jalan para buruh untuk menuntut kenaikan upah minimum menunjukkan adanya kegagalan komunikasi organisasi.

Pengusaha gagal memberikan pengertian kepada para buruh begitu juga para buruh gagal memberikan pengertian kepada pengusaha. Semestinya jika ini sering terjadi, pengusaha dan para buruh bisa duduk bersama untuk menyelesaikan besaran upah minimum. Perusahaan harus jujur tentang kondisinya kepada para buruh, sedangkan para buruh juga harus realistis dalam menuntut kenaikan.

Memang itu sulit diwujudkan karena memang pada tataran idealis ataupun teoretis, namun itu harus ditempuh jika memang itu persoalan yang muncul setiap tahunnya. Apa pun, aksi turun ke jalan para buruh berdampak tidak baik bagi semua pihak.

Masyarakat lain merasa dirugikan karena terganggu aktivitasnya, para pengusaha juga dirugikan karena roda produksi harus terhenti, para buruh juga akan dicap sebagai tukang demo bukan seorang pekerja, pemerintah juga akan dinilai gagal melakukan mediasi dan yang lebih parah, pihak di luar bangsa ini akan menilai doing businessdi negeri ini kurang baik.

Akibatnya, para investor akan berpikir ulang untuk menanamkan uangnya di Indonesia. Apalagi pada 2015 akan dimulai AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang membuat para pengusaha di negeri ini akan lebih mudah hengkang ke negara lain, akibatnya kondisi ekonomi negeri ini yang menjadi taruhannya.

Para buruh sebaiknya merenungkan kembali tentang aksi-aksinya di jalanan sedangkan para pengusaha juga harus lebih proaktif untuk mengomunikasikan persoalan ini.
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0096 seconds (0.1#10.140)