Pancasila dan martabat Mahkamah Konstitusi
A
A
A
MAHKAMAH Konstitusi (MK) sedang sakit. Ada ”bisul” di dalam tubuhnya. Pada satu sisi, kita bersedih, dan bertanya-tanya mengapa bisul hinggap di tubuh MK yang selama ini tampak tegar, anggun dan berwibawa?
Namun pada sisi lain, kita bersyukur, bisul sudah terdeteksi, segera dioperasi untuk memisahkan, mengangkat dan membuang dari tubuhnya agar MK kembali sehat. Kalau saya menggunakan kiasan dan meminjam kosakata dunia kesehatan untuk mencanda MK, bukan berarti saya mengklaim ahli kesehatan. Tidak. Dalam keterbatasan ilmu kesehatan, saya justru ingin memahami apa yang tengah terjadi dan menimpa MK secara sederhana. Kebetulan, ada beberapa peristiwa sedang bersanding dengan sakitnya MK itu.
Pertama, istri saya baru saja dioperasi karena ada bisul di punggungnya. Sebelumnya dianggap hal biasa karena tidak menimbulkan rasa sakit. Setelah konsultasi ke dokter disarankan segera dioperasi, agar tidak membesar dan tidak bermasalah. Kami turuti nasihat dokter, dan kini berangsur pulih menuju sehat kembali. Kami sekeluarga yakin, ini ujian agar kami semua lebih dekat dengan Sang Pencipta. Kedua, saat artikel ini ditulis, sahabat saya Prof Dr dr Sutaryo SpA(K) mengalami hal serupa. Ada benjolan di lehernya. Dirasakan dan diketahui ketika sedang bertugas di India beberapa hari lalu. Disarankan dokter agar segera dioperasi.
Direncanakan di salah satu RS di Singapura. Kami, keluarga besar Pusat Studi Pancasila UGM sedih, dan berdoa demi kelancaran pengobatan dan demi kesembuhan beliau. Ketiga, tanggal 18 Oktober 2013 Gede Prama menulis artikel tentang Jejaring Kesembuhan. Beliau memberi pencerahan dengan amat lembut, santun dan menyentuh kalbu. Antara lain dikatakan bahwa ” … menerima hidup apa adanya adalah menyirami bibitnya dengan air, terhubung sempurna dengan saat ini itu bunga kesembuhan”.
Saya yakin, tiga peristiwa di atas hadir bukan kebetulan, melainkan ada kehendak Sang Pencipta agar dibaca dengan sungguh-sungguh, dari hal-hal yang bersifat fisik dan kasatmata sampai dengan makna yang terkandung di balik peristiwa itu. Melalui perenungan, kontemplasi, dan upaya merefleksikan peristiwa diatas, rasanya kita harus semakin bijaksana menyikapi berbagai keadaan yang menimpa diri kita, keluarga kita sampai bangsa dan negara.
Utamanya terhadap MK yang kini sedang sakit, dapat dijelaskan dan diberikan solusi pengobatan yang tidak jauh berbeda maknanya dari sakitnya istri atau sahabat. Pertama , tidak seorang pun warga negara maupun penyelenggara negara berharap negara Indonesia sakit. Justru sebaliknya, ketika gejala sakit menampak, segera ada langkah-langkah preventif menanggulanginya. Penangkapan Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dipandang sebagai salah satu langkah preventif itu.
Agar pemilihan kepala daerah (pilkada) terselenggara sehat, fair, tanpa kecurangan, maka MK diberi wewenang mengontrol hasil-hasilnya ketika ada pihak menggugatnya. Putusan MK atas sengketa pilkada itu bersifat final. Asumsi dasarnya, MK senantiasa berada dalam kebugaran, sehat walafiat. Ternyata MK sakit, ada bisul, ketua MK terjangkiti penyakit, tertangkap tangan menerima suap. Terlepas dari putusan-putusan final yang telah dijatuhkan, bisul dalam tubuh MK wajib dioperasi.
Kedua, MK telah menyerahkan pengoperasian bisul MK ke KPK. Sembari menunggu hasil kerja KPK, MK pun melakukan pembenahan diri dengan membentuk Majelis Kehormatan untuk menangani hal-hal terkait dengan kode etik hakim konstitusi. Walaupun minus ketua MK, semua kegiatan MK tetap berjalan dalam semangat tinggi, tidak merugikan para pihak pencari keadilan. Sikap percaya diri untuk berbenah merupakan modal kuat untuk terwujudnya kesembuhan MK. Pantas diapresiasi.
Ketiga, baru saja Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) penyelamatan MK. Kontroversial. Isinya bukan sekadar mengoperasi bisul MK, tetapi lebih luas, menyangkut pula soal pengawasan dan kriteria hakim konstitusi. Dapatkah diyakinkan bahwa perppu itu merupakan jejaring kesembuhan bagi MK untuk saat ini dan yang akan datang? Ada kekhawatiran perppu itu laksana intervensi kimiawi melalui pengobatan modern. Kata Gede Prama, seperti menyirami daun kering, air yang disiramkan tentu saja membantu.
Tapi ia sangat sementara sekaligus sangat di permukaan. Kita tunggu keberlanjutan Perppu tersebut. Keempat, bisul di tubuh MK hendaknya dipahami bukan sekadar penyakit fisik melainkan juga penyakit mental-spiritual. Oleh karena itu, penyembuhan berdasarkan otak-atik akal tidak cukup, apalagi mencoba pengobatan ala Barat yang rasional, konstitutif, tetapi tanpa muatan nilai-nilai luhur yang bersumber pada Pancasila.
Pancasila adalah rohnya Staats fundamendal norm, lebih tinggi tingkatnya dibandingkan pasal-pasal konstitusi, sementara MK merupakan lembaga pengawal keberadaan dan penjabaran konstitusi dalam bernegara. Oleh karena itu, penyelamatan MK perlu dilakukan secara tuntas dengan mencermati amendemen UUD 1945 yang menjadi pintu lahirnya MK, jangan-jangan tidak sesuai dengan Pancasila. Dalam semangat nasionalisme, para pakar selayaknya berkontribusi dalam pencermatan terhadap eksistensi, struktur dan komposisi hakim MK terkait amandemen UUD 1945. Sebagai lembaga negara, MK kini sedang diuji, sementara bagi Akil Mochtar sedang dilaknati.
Saya yakin MK lulus ujian, dan ke depan menjadi lebih dewasa dan lebih bermartabat. Pelajaran penting bagi bangsa secara keseluruhan bahwa kembali ke Pancasila dalam penyelenggaraan negara merupakan keniscayaan, dan upaya ke sana merupakan penyiraman bibit-bibit kenegaraan dengan air suci perwitasari agar siapa pun menjadi hakim konstitusi senantiasa terhubung sempurna dengan Pancasila. Wallahu’alam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
Namun pada sisi lain, kita bersyukur, bisul sudah terdeteksi, segera dioperasi untuk memisahkan, mengangkat dan membuang dari tubuhnya agar MK kembali sehat. Kalau saya menggunakan kiasan dan meminjam kosakata dunia kesehatan untuk mencanda MK, bukan berarti saya mengklaim ahli kesehatan. Tidak. Dalam keterbatasan ilmu kesehatan, saya justru ingin memahami apa yang tengah terjadi dan menimpa MK secara sederhana. Kebetulan, ada beberapa peristiwa sedang bersanding dengan sakitnya MK itu.
Pertama, istri saya baru saja dioperasi karena ada bisul di punggungnya. Sebelumnya dianggap hal biasa karena tidak menimbulkan rasa sakit. Setelah konsultasi ke dokter disarankan segera dioperasi, agar tidak membesar dan tidak bermasalah. Kami turuti nasihat dokter, dan kini berangsur pulih menuju sehat kembali. Kami sekeluarga yakin, ini ujian agar kami semua lebih dekat dengan Sang Pencipta. Kedua, saat artikel ini ditulis, sahabat saya Prof Dr dr Sutaryo SpA(K) mengalami hal serupa. Ada benjolan di lehernya. Dirasakan dan diketahui ketika sedang bertugas di India beberapa hari lalu. Disarankan dokter agar segera dioperasi.
Direncanakan di salah satu RS di Singapura. Kami, keluarga besar Pusat Studi Pancasila UGM sedih, dan berdoa demi kelancaran pengobatan dan demi kesembuhan beliau. Ketiga, tanggal 18 Oktober 2013 Gede Prama menulis artikel tentang Jejaring Kesembuhan. Beliau memberi pencerahan dengan amat lembut, santun dan menyentuh kalbu. Antara lain dikatakan bahwa ” … menerima hidup apa adanya adalah menyirami bibitnya dengan air, terhubung sempurna dengan saat ini itu bunga kesembuhan”.
Saya yakin, tiga peristiwa di atas hadir bukan kebetulan, melainkan ada kehendak Sang Pencipta agar dibaca dengan sungguh-sungguh, dari hal-hal yang bersifat fisik dan kasatmata sampai dengan makna yang terkandung di balik peristiwa itu. Melalui perenungan, kontemplasi, dan upaya merefleksikan peristiwa diatas, rasanya kita harus semakin bijaksana menyikapi berbagai keadaan yang menimpa diri kita, keluarga kita sampai bangsa dan negara.
Utamanya terhadap MK yang kini sedang sakit, dapat dijelaskan dan diberikan solusi pengobatan yang tidak jauh berbeda maknanya dari sakitnya istri atau sahabat. Pertama , tidak seorang pun warga negara maupun penyelenggara negara berharap negara Indonesia sakit. Justru sebaliknya, ketika gejala sakit menampak, segera ada langkah-langkah preventif menanggulanginya. Penangkapan Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dipandang sebagai salah satu langkah preventif itu.
Agar pemilihan kepala daerah (pilkada) terselenggara sehat, fair, tanpa kecurangan, maka MK diberi wewenang mengontrol hasil-hasilnya ketika ada pihak menggugatnya. Putusan MK atas sengketa pilkada itu bersifat final. Asumsi dasarnya, MK senantiasa berada dalam kebugaran, sehat walafiat. Ternyata MK sakit, ada bisul, ketua MK terjangkiti penyakit, tertangkap tangan menerima suap. Terlepas dari putusan-putusan final yang telah dijatuhkan, bisul dalam tubuh MK wajib dioperasi.
Kedua, MK telah menyerahkan pengoperasian bisul MK ke KPK. Sembari menunggu hasil kerja KPK, MK pun melakukan pembenahan diri dengan membentuk Majelis Kehormatan untuk menangani hal-hal terkait dengan kode etik hakim konstitusi. Walaupun minus ketua MK, semua kegiatan MK tetap berjalan dalam semangat tinggi, tidak merugikan para pihak pencari keadilan. Sikap percaya diri untuk berbenah merupakan modal kuat untuk terwujudnya kesembuhan MK. Pantas diapresiasi.
Ketiga, baru saja Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) penyelamatan MK. Kontroversial. Isinya bukan sekadar mengoperasi bisul MK, tetapi lebih luas, menyangkut pula soal pengawasan dan kriteria hakim konstitusi. Dapatkah diyakinkan bahwa perppu itu merupakan jejaring kesembuhan bagi MK untuk saat ini dan yang akan datang? Ada kekhawatiran perppu itu laksana intervensi kimiawi melalui pengobatan modern. Kata Gede Prama, seperti menyirami daun kering, air yang disiramkan tentu saja membantu.
Tapi ia sangat sementara sekaligus sangat di permukaan. Kita tunggu keberlanjutan Perppu tersebut. Keempat, bisul di tubuh MK hendaknya dipahami bukan sekadar penyakit fisik melainkan juga penyakit mental-spiritual. Oleh karena itu, penyembuhan berdasarkan otak-atik akal tidak cukup, apalagi mencoba pengobatan ala Barat yang rasional, konstitutif, tetapi tanpa muatan nilai-nilai luhur yang bersumber pada Pancasila.
Pancasila adalah rohnya Staats fundamendal norm, lebih tinggi tingkatnya dibandingkan pasal-pasal konstitusi, sementara MK merupakan lembaga pengawal keberadaan dan penjabaran konstitusi dalam bernegara. Oleh karena itu, penyelamatan MK perlu dilakukan secara tuntas dengan mencermati amendemen UUD 1945 yang menjadi pintu lahirnya MK, jangan-jangan tidak sesuai dengan Pancasila. Dalam semangat nasionalisme, para pakar selayaknya berkontribusi dalam pencermatan terhadap eksistensi, struktur dan komposisi hakim MK terkait amandemen UUD 1945. Sebagai lembaga negara, MK kini sedang diuji, sementara bagi Akil Mochtar sedang dilaknati.
Saya yakin MK lulus ujian, dan ke depan menjadi lebih dewasa dan lebih bermartabat. Pelajaran penting bagi bangsa secara keseluruhan bahwa kembali ke Pancasila dalam penyelenggaraan negara merupakan keniscayaan, dan upaya ke sana merupakan penyiraman bibit-bibit kenegaraan dengan air suci perwitasari agar siapa pun menjadi hakim konstitusi senantiasa terhubung sempurna dengan Pancasila. Wallahu’alam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
(nfl)