Hegemoni dinasti politik
A
A
A
PASCA penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar (AM) pada selasa (3 Oktober 2013), bukan hanya MK yang menjadi sorotan publik.
Selain menangkap AM, KPK menangkap Tubagus Chaery Wardana alias Wawan yang terkait dengan Pilkada Lebak. Wawan adalah adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, yang juga menjadi suami Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diani. Sorotan publik tertuju kepada MK dan Banten. Pihak yang disorot adalah posisi politik Atut dan keluarganya yang mendominasi peta politik di Banten. Kekuasaan dinasti Atut menguasai empat wilayah kota/ kabupaten di Banten, yaitu wali kota Tangerang Selatan (adik ipar), wali kota Serang (adik tiri), wakil bupati Serang (adik kandung), wakil bupati Pandeglang (ibu tiri).
Daerah yang tidak dikuasai dinasti Atut adalah bupati Tangerang, wali kota Tangerang, dan bupati Lebak. Inilah babak baru perlawanan masyarakat Banten terhadap rezim Atut. Rezim Atut menjadi musuh bersama dari berbagai masyarakat sipil di Banten. Sejalan dengan sorotan terhadap rezim Atut, istilah dinasti politik menjadi marak digunakan oleh berbagai kalangan untuk menjelaskan dominasi keluarga Atut dalam persebaran kekuasaan di wilayah Banten. Atut berhasil memenangkan Pilkada Banten 2006 dan 2011. Sebelumnya dia wakil gubernur.
Tidak bisa dimungkiri jika kekuasaan Ratu Atut karena nama besar dan pengaruh ayahnya, Tubagus Chasan Sochib. Dua kredit penting harus kita sematkan kepada KPK, yaitu bisa membongkar korupsi dan suap di MK, sekaligus membuka borok dan bobroknya rezim Atut yang mengendalikan roda ekonomi politik. Ironisnya, gebrakan KPK yang disambut meriah oleh masyarakat sipil di Banten adalah kado pahit bagi Hari Ulang Tahun ke-13 Banten. Gebrakan KPK menangkap Wawan dan mencekal Atut dianggap sebagai pintu masuk untuk membuka tabir sesungguhnya praktik politik yang hegemonis.
Seumur Banten menjadi provinsi, nyaris kekuasaan Atut dan dinastinya tak tersentuh. Masyarakat sipil di Banten juga tak bisa bergerak kritis mengawal kepemimpinan Atut beserta dinastinya. Cengkeraman kekuasaannya begitu kuat dan mengakar dalam postur politik di level elite daerah. Secara sosial juga, pengaruh Atut juga mampu mengonstruksikan pengaruhnya kepada masyarakat hingga lapisan bawah. Pengaruh Atut diterima dalam kesadaran sosial masyarakat yang semu. Buktinya, masyarakat Banten nyaris menerima kepemimpinan Atut tanpa reserve. Dia berhasil memenangkan Pilkada Banten
Dua makna penting
Gebrakan KPK menangkap Wawan bisa dipahami dalam dua makna penting. Pertama, ini membangkitkan kembali memori kita pada konsepsi dinasti politik yang berada dalam struktur sosial politik masyarakat. Dinasti politik yang dipraktikkan oleh Atut dan keluarganya membawa kita pada kasus-kasus menyebarnya dinasti politik di berbagai negara. Sejarah sosial-politik menunjukkan dengan gamblang bahwa hegemoni dinasti politik dalam berbagai kasus selalu berakhir dengan kisah pahit, buruk, dan memilukan.
Kita bisa melihatnya pada kekuasaan Soeharto di Indonesia, kekuasaan Muammar Khadafi di Libya, Husni Mubarak di Mesir, Ben Ali di Tunisia. Beberapa kasus tersebut semuanya berakhir dengan cerita yang buruk dalam sejarah kekuasaannya. Akhir cerita mereka juga ditandai dengan bangkitnya gerakan perlawanan dari rakyat untuk mendongkrak kekuasaannya yang tiran. Tanpa sadar bahwa rezim Atut sedang berada dalam spiral sejarah rezim politik seperti mereka.
Sadar atau tidak, kekuasaan Atut diyakini tidak bisa bertahan lama. Atut hanya menghitung hari untuk mempertahankan kekuasaannya di Banten. KPK sudah melakukan langkah progresif dengan mencekal Atut dan menangkap Wawan. Sebuah gerakan yang nyaris mustahil dilakukan kelompok masyarakat sipil di Banten. Makna kedua yang harus kita baca dalam gebrakan KPK, yaitu munculnya sebuah momentum dan kesadaran kolektif bagi masyarakat Banten khususnya gerakan masyarakat sipil untuk mengonsolidasikan gerakannya dalam mengakhiri hegemoni kekuasaanAtut.
Pemantiknya sudah dilakukan KPK. Agenda berikutnya adalah merapikan barisan di kalangan simpul-simpul masyarakat sipil Banten untuk mendekonstruksi kekuasaan Atut. Ini saatnya membangkitkan kembali kontrol sosial di kalangan masyarakat Banten yang selama ini tidak berdaya menghadapi kepongahan kekuasaan Atut. Pascapenangkapan Wawan, beberapa aktivis LSM di Banten melakukan cukur gundul dan sujud syukur di alun-alun Serang sebagai simbol dukungan terhadap KPK membongkar borok-borok politik rezim Atut. Euforia ini tidak salah dalam merespons tindakan KPK.
Tetapi yang menjadi mendesak adalah melakukan rekonsolidasi dengan elemen-elemen masyarakat sipil di Banten seperti gerakan mahasiswa, akademisi, pers, tokoh masyarakat untuk mendesain wajah sosial politik Banten pasca-Atut agar lebih demokratis, berkeadilan, dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Banten. Gerakan rekonsolidasi ini diperlukan sebagai upaya mengawal tindakan hukum yang dilakukan KPK.
Dekonstruksi struktur sosial-politik
Dinasti politik memang menjadi salah satu isu penting dalam studi politik maupun sosiologi politik. Dinasti politik tidak sekadar terkait dominasi kekuasaan oleh seorang aktor politik yang mewariskan dan mereproduksi kekuasaannya kepada keluarganya, tetapi juga terkait bagaimana konstruksi sosial masyarakat didesain dalam sebuah relasi sosial yang berkeadilan dan lebih humanis.
Dalam hal ini, dinasti politik tidak hanya dipahami dalam perspektif politik, tetapi juga menjadi masalah sosiologis dalam realitas masyarakat. Kekuasaan hanyalah sebagai pintu masuk bagaimana alat-alat kekuasaan ekonomi politik dikuasai oleh keluarga aktor tersebut. Justru yang menjadi masalah akut adalah kekuasaan tersebut tidak mampu membawa perubahan sosial ekonomi kepada masyarakat banyak. Kekuasaan hanyalah menjadi tameng bagi keluarganya untuk menguasai hajat hidup orang banyak dan dilakukan hanya untuk memakmurkan kekuasaan ekonomi politik lingkaran keluarganya.
Dinasti Atut memberikan cerminpentingbagaimanaproyekproyek ekonomi di Banten dikuasai Wawan yang menjadi operator kekuasaan Atut di lapangan. Monopoli kekuasaan yang dijalankan Atut membawa dampak sosial yang parah yaitu terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi di Banten. Kue pembangunan tidak bisa disebar kepada masyarakat Banten karena dikuasai oleh keluarganya.
Akses masyarakat dalam kontestasi politik tersumbat karena semua keluarga Atut (suami, ibu tiri, adik kandung, adik ipar,anak) terlibat dominan dalam berbagai kontestasi politik. Inilah wajah ketimpangan ekonomi politik Banten sebagai produk dari kapitalisasi dinasti politik Atut. Dinasti Atut adalah contoh menarik dalam realitas sosial politik Indonesia pasca-Orde Baru.
Di tengah upaya seluruh bangsa menata ulang postur sosial-politik yang lebih demokratis dan berkeadilan, Indonesia dihadapkan dengan masifnya kekuasaan keluarga Atut. Ini adalah tantangan demokrasi yang bisa mengancam kontinuitas demokratisasi di Indonesia. Selain dinasti Atut, kita juga dihadapkan kembali munculnya dinasti keluarga yang mendominasi kepemimpinan lokal di berbagai daerah.
Kekuasaan lokal terus berputar dari suami, istri, anak, adik ipar, dan sebagainya. Lagi-lagi, wajah sosial politik Indonesia harus menghadapi tantangan besar dalam merawat demokratisasi yang telah kita rintis pascaruntuhnya kekuasaan Orde Baru.
Dinasti politik Atut sejatinya bukan hanya menjadi kepentingan kolektif warga Banten, melainkan juga menjadi agenda bangsa dalam mendekonstruksi gejala-gejala kekuasaan yang hegemonis dan tiran dalam menguasai berbagai sumber daya lokal. Dalam spektrum yang lebih luas, kasus dinasti Atut adalah masalah serius bagi keberlanjutan demokratisasi di Indonesia dan tidak kalah pentingnya juga menjadi masalah dalam distribusi keadilan pembangunan sosial ekonomi di daerah.
RAKHMAT HIDAYAT
Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Kandidat PhD Université Lumière Lyon 2 France
Selain menangkap AM, KPK menangkap Tubagus Chaery Wardana alias Wawan yang terkait dengan Pilkada Lebak. Wawan adalah adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, yang juga menjadi suami Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diani. Sorotan publik tertuju kepada MK dan Banten. Pihak yang disorot adalah posisi politik Atut dan keluarganya yang mendominasi peta politik di Banten. Kekuasaan dinasti Atut menguasai empat wilayah kota/ kabupaten di Banten, yaitu wali kota Tangerang Selatan (adik ipar), wali kota Serang (adik tiri), wakil bupati Serang (adik kandung), wakil bupati Pandeglang (ibu tiri).
Daerah yang tidak dikuasai dinasti Atut adalah bupati Tangerang, wali kota Tangerang, dan bupati Lebak. Inilah babak baru perlawanan masyarakat Banten terhadap rezim Atut. Rezim Atut menjadi musuh bersama dari berbagai masyarakat sipil di Banten. Sejalan dengan sorotan terhadap rezim Atut, istilah dinasti politik menjadi marak digunakan oleh berbagai kalangan untuk menjelaskan dominasi keluarga Atut dalam persebaran kekuasaan di wilayah Banten. Atut berhasil memenangkan Pilkada Banten 2006 dan 2011. Sebelumnya dia wakil gubernur.
Tidak bisa dimungkiri jika kekuasaan Ratu Atut karena nama besar dan pengaruh ayahnya, Tubagus Chasan Sochib. Dua kredit penting harus kita sematkan kepada KPK, yaitu bisa membongkar korupsi dan suap di MK, sekaligus membuka borok dan bobroknya rezim Atut yang mengendalikan roda ekonomi politik. Ironisnya, gebrakan KPK yang disambut meriah oleh masyarakat sipil di Banten adalah kado pahit bagi Hari Ulang Tahun ke-13 Banten. Gebrakan KPK menangkap Wawan dan mencekal Atut dianggap sebagai pintu masuk untuk membuka tabir sesungguhnya praktik politik yang hegemonis.
Seumur Banten menjadi provinsi, nyaris kekuasaan Atut dan dinastinya tak tersentuh. Masyarakat sipil di Banten juga tak bisa bergerak kritis mengawal kepemimpinan Atut beserta dinastinya. Cengkeraman kekuasaannya begitu kuat dan mengakar dalam postur politik di level elite daerah. Secara sosial juga, pengaruh Atut juga mampu mengonstruksikan pengaruhnya kepada masyarakat hingga lapisan bawah. Pengaruh Atut diterima dalam kesadaran sosial masyarakat yang semu. Buktinya, masyarakat Banten nyaris menerima kepemimpinan Atut tanpa reserve. Dia berhasil memenangkan Pilkada Banten
Dua makna penting
Gebrakan KPK menangkap Wawan bisa dipahami dalam dua makna penting. Pertama, ini membangkitkan kembali memori kita pada konsepsi dinasti politik yang berada dalam struktur sosial politik masyarakat. Dinasti politik yang dipraktikkan oleh Atut dan keluarganya membawa kita pada kasus-kasus menyebarnya dinasti politik di berbagai negara. Sejarah sosial-politik menunjukkan dengan gamblang bahwa hegemoni dinasti politik dalam berbagai kasus selalu berakhir dengan kisah pahit, buruk, dan memilukan.
Kita bisa melihatnya pada kekuasaan Soeharto di Indonesia, kekuasaan Muammar Khadafi di Libya, Husni Mubarak di Mesir, Ben Ali di Tunisia. Beberapa kasus tersebut semuanya berakhir dengan cerita yang buruk dalam sejarah kekuasaannya. Akhir cerita mereka juga ditandai dengan bangkitnya gerakan perlawanan dari rakyat untuk mendongkrak kekuasaannya yang tiran. Tanpa sadar bahwa rezim Atut sedang berada dalam spiral sejarah rezim politik seperti mereka.
Sadar atau tidak, kekuasaan Atut diyakini tidak bisa bertahan lama. Atut hanya menghitung hari untuk mempertahankan kekuasaannya di Banten. KPK sudah melakukan langkah progresif dengan mencekal Atut dan menangkap Wawan. Sebuah gerakan yang nyaris mustahil dilakukan kelompok masyarakat sipil di Banten. Makna kedua yang harus kita baca dalam gebrakan KPK, yaitu munculnya sebuah momentum dan kesadaran kolektif bagi masyarakat Banten khususnya gerakan masyarakat sipil untuk mengonsolidasikan gerakannya dalam mengakhiri hegemoni kekuasaanAtut.
Pemantiknya sudah dilakukan KPK. Agenda berikutnya adalah merapikan barisan di kalangan simpul-simpul masyarakat sipil Banten untuk mendekonstruksi kekuasaan Atut. Ini saatnya membangkitkan kembali kontrol sosial di kalangan masyarakat Banten yang selama ini tidak berdaya menghadapi kepongahan kekuasaan Atut. Pascapenangkapan Wawan, beberapa aktivis LSM di Banten melakukan cukur gundul dan sujud syukur di alun-alun Serang sebagai simbol dukungan terhadap KPK membongkar borok-borok politik rezim Atut. Euforia ini tidak salah dalam merespons tindakan KPK.
Tetapi yang menjadi mendesak adalah melakukan rekonsolidasi dengan elemen-elemen masyarakat sipil di Banten seperti gerakan mahasiswa, akademisi, pers, tokoh masyarakat untuk mendesain wajah sosial politik Banten pasca-Atut agar lebih demokratis, berkeadilan, dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat Banten. Gerakan rekonsolidasi ini diperlukan sebagai upaya mengawal tindakan hukum yang dilakukan KPK.
Dekonstruksi struktur sosial-politik
Dinasti politik memang menjadi salah satu isu penting dalam studi politik maupun sosiologi politik. Dinasti politik tidak sekadar terkait dominasi kekuasaan oleh seorang aktor politik yang mewariskan dan mereproduksi kekuasaannya kepada keluarganya, tetapi juga terkait bagaimana konstruksi sosial masyarakat didesain dalam sebuah relasi sosial yang berkeadilan dan lebih humanis.
Dalam hal ini, dinasti politik tidak hanya dipahami dalam perspektif politik, tetapi juga menjadi masalah sosiologis dalam realitas masyarakat. Kekuasaan hanyalah sebagai pintu masuk bagaimana alat-alat kekuasaan ekonomi politik dikuasai oleh keluarga aktor tersebut. Justru yang menjadi masalah akut adalah kekuasaan tersebut tidak mampu membawa perubahan sosial ekonomi kepada masyarakat banyak. Kekuasaan hanyalah menjadi tameng bagi keluarganya untuk menguasai hajat hidup orang banyak dan dilakukan hanya untuk memakmurkan kekuasaan ekonomi politik lingkaran keluarganya.
Dinasti Atut memberikan cerminpentingbagaimanaproyekproyek ekonomi di Banten dikuasai Wawan yang menjadi operator kekuasaan Atut di lapangan. Monopoli kekuasaan yang dijalankan Atut membawa dampak sosial yang parah yaitu terjadinya ketidakadilan sosial-ekonomi di Banten. Kue pembangunan tidak bisa disebar kepada masyarakat Banten karena dikuasai oleh keluarganya.
Akses masyarakat dalam kontestasi politik tersumbat karena semua keluarga Atut (suami, ibu tiri, adik kandung, adik ipar,anak) terlibat dominan dalam berbagai kontestasi politik. Inilah wajah ketimpangan ekonomi politik Banten sebagai produk dari kapitalisasi dinasti politik Atut. Dinasti Atut adalah contoh menarik dalam realitas sosial politik Indonesia pasca-Orde Baru.
Di tengah upaya seluruh bangsa menata ulang postur sosial-politik yang lebih demokratis dan berkeadilan, Indonesia dihadapkan dengan masifnya kekuasaan keluarga Atut. Ini adalah tantangan demokrasi yang bisa mengancam kontinuitas demokratisasi di Indonesia. Selain dinasti Atut, kita juga dihadapkan kembali munculnya dinasti keluarga yang mendominasi kepemimpinan lokal di berbagai daerah.
Kekuasaan lokal terus berputar dari suami, istri, anak, adik ipar, dan sebagainya. Lagi-lagi, wajah sosial politik Indonesia harus menghadapi tantangan besar dalam merawat demokratisasi yang telah kita rintis pascaruntuhnya kekuasaan Orde Baru.
Dinasti politik Atut sejatinya bukan hanya menjadi kepentingan kolektif warga Banten, melainkan juga menjadi agenda bangsa dalam mendekonstruksi gejala-gejala kekuasaan yang hegemonis dan tiran dalam menguasai berbagai sumber daya lokal. Dalam spektrum yang lebih luas, kasus dinasti Atut adalah masalah serius bagi keberlanjutan demokratisasi di Indonesia dan tidak kalah pentingnya juga menjadi masalah dalam distribusi keadilan pembangunan sosial ekonomi di daerah.
RAKHMAT HIDAYAT
Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Kandidat PhD Université Lumière Lyon 2 France
(nfl)