Paradoks MA-MK pasca-Akil
A
A
A
KETIKA Mahkamah Agung (MA) mulai mencoba membangun harapan baru, Mahkamah Konstitusi (MK) justru nyaris membunuh harapan baru itu. Begitulah muatan pertunjukan di pentas hukum Indonesia pada pekan pertama Oktober 2013.
Pemeran utama MA-MK mempertontonkan dua sisi wajah hukum yang kontradiktif. Semua elemen masyarakat sedang bersukacita menyikapi sikap dan keputusan kasasi MA yang memperberat hukuman terhadap terdakwa koruptor dan pencucian uang. Keputusan kasasi terbaru MA rata-rata memperberat hukuman terhadap terdakwa koruptor hingga tiga kali lipat. Dalam putusan kasasinya, MA menambah hukuman Tommy Hindratno, pegawai Direktorat Jenderal Pajak, dari tiga (3) tahun enam(6) bulan menjadi 10 tahun penjara.
Sedangkan hukuman pidana kepada terdakwa Zen Umar, direktur utama PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, ditambah menjadi 15 tahun penjara dari sebelumnya lima (5) tahun penjara. Dalam konteks menjawab tuntutan rasa keadilan masyarakat yang telah lama mengemuka di ruang publik, keputusan kasasi MA terbaru ini tidak saja sangat progresif, tetapi juga amat signifikan. Tak hanya memuaskan dahaga publik, MA pun memberi pesan yang amat jelas dan tegas. Tidak ada lagi toleransi, pun pemanjaan, terhadap terdakwa koruptor.
Sebelum lahir putusan kasasi MA itu, masyarakat merasakan ketidakadilan praktik hukum oleh pengadilan tipikor terhadap para terdakwa koruptor dan pencucian uang. Masyarakat menilai, tuntutan dan vonis pengadilan tipikor terhadap koruptor terlalu ringan alias tidak setara dengan kejahatan yang mereka lakukan terhadap negara dan rakyat. Selain vonis yang ringan, harta benda hasil korupsi juga tidak disita. Hampir setiap hari fenomena ini menjadi pergunjingan masyarakat.
Masyarakat bahkan yakin setelah menjalani masa hukumannya di penjara, terpidana koruptor akan tetap kaya raya berkat harta simpanan hasil korupsi. Itulah bentuk toleransi dan pemanjaan terhadap para terpidana koruptor. Karena itu, ketika putusan kasasi MA memperberat hukuman sejumlah terdakwa koruptor dan pencucian uang hingga tiga kali lipat dari vonis pengadilan di bawahnya masyarakat melihat muncul lagi harapan baru untuk mewujudkan keadilan di negara ini.
Putusan MA itu mendapat sambutan positif dari berbagai elemen masyarakat. Namun, puluhan jam setelah publikasi putusan kasasi MA itu, republik ini harus menangis lagi sebab MK jebol oleh uang suap. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Ketua MK Akil Mochtar bersama sejumlah orang lainnya. Dalam operasi tangkap tangan (OTT) itu didapatkan pula barang bukti uang suap sekitar Rp3 miliar. OTT KPK terhadap ketua MK dan sejumlah orang lainnya merupakan tamparan keras bagi semangat penegakan hukum di negara ini.
Kasus yang melibatkan ketua MK ini bisa membunuh optimisme rakyat yang ingin melihat terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum. MK sebagai penjaga tegaknya konstitusi pun sudah jebol oleh uang suap. Apa yang terjadi pada MK benar-benar memprihatinkan. Dalam konteks korupsi di Indonesia, kasus ini menggenapi pandangan bahwa korupsi di negara ini terjadi di seluruh lini institusi negara.
Publik akan berpandangan bahwa tidak salah jika pengamat lokal maupun asing menilai Indonesia sebagai salah satu negara dengan praktik korupsi paling marak di dunia. Karena itu, tidak mengherankan jika OTT KPK terhadap ketua MK segera menjadi pemberitaan di berbagai belahan dunia. Republik ini terus-menerus dipermalukan oleh orangorang yang diberi amanah untuk menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan.
Hikmah
Setelah melakukan pertemuan dengan para pimpinan lembaga negara, akhir pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) resmi memberhentikan sementara Akil Mochtar dari jabatan ketua MK. “Dengan kewenangan yang saya miliki, saya memberhentikan sementara ketua MK saudara Akil Mochtar,” demikian pernyataan Presiden dalam jumpa pers. Presiden kemudian menunjuk Komisi Yudisial (KY) untuk kembali mengawasi hakim konstitusi. Usulan ini akan dituangkan dalam perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) yang akan diajukan ke DPR.
Respons Presiden memang pada tempatnya. Tetapi, khalayak paham bahwa respons yang demikian tidak mampu menghilangkan noda, pun sama sekali belum menyelesaikan persoalan. Masalah utamanya adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK dan komunitas hakim. Diyakini bahwa memulihkan kredibilitas MK dan komunitas hakim menjadi pekerjaan teramat berat.
ukan baru kali ini oknum hakim terjaring aparat penegak hukum akibat ulah tak terpuji. Dengan kasus suap yang melibatkan ketua MK, lengkap sudah perbuatan tercela oknum hakim. Dari oknum hakim level terbawah hingga oknum hakim agung dan ketua MK terjaring operasi penegakan hukum. Sudah sepatutnya untuk mencemaskan perubahan ekstrem persepsi publik mengenai masa depan penegakan hukum di negara ini.
Kalau hakim konstitusi pun sudah goyah menghadapi uang suap, benteng keadilan mana lagi yang masih bisa diandalkan pencari keadilan di negara ini? Pesimisme seperti ini sebenarnya telah berkembang di ruang publik sejak sejumlah oknum dari institusi penegak hukum, termasuk oknum hakim, terjaring kasus suap atau korupsi. Tidak mudah untuk mengubah pesimisme itu menjadi optimisme sebab tidak ada yang tahu kapan negara ini bisa mereduksi perilaku korup para oknum birokrat, termasuk pejabat penegak hukum.
Kini situasinya terbilang pelik untuk dipahami. Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah; antara memercayai harapan baru yang coba dibangun MA dengan kemampuan penyelenggara negara memulihkan kredibilitas MK plus komunitas hakim. Muncul keprihatinan karena harapan baru yang dibangun MA praktis tenggelam oleh tingginya gelombang pemberitaan kasus suap ketua MK.
Yakinlah bahwa siapa pun yang terpilih menjadi ketua MK yang baru dengan mekanisme pemilihan yang independen dan transparan sekali pun, kredibilitas MK tidak otomatis pulih. Kini masyarakat hanya ingin menuntut dan melihat bukti tentang praktik hakikat keadilan dan hukum yang ditegakan sebagaimana seharusnya. Dalam konteks ini berhentilah berwacana dan bicaralah seperlunya.
MA misalnya telah memberi satu bukti dengan memperberat hukuman bagi terdakwa koruptor lewat putusan kasasinya. Masih ada beberapa kasus yang juga sedang berproses di MA. Publik berharap MA konsisten. Namun, melipatgandakan sanksi hukum bagi terdakwa koruptor itu ternyata belum cukup. Pertanyaan publik selanjutnya yang belum terjawab hingga kini adalah bagaimana mekanisme hukum akan memperlakukan kekayaan para koruptor yang dikumpulkan dari hasil korupsi?
Kalau seorang pencuri ketahuan dan terbukti mencuri, dia wajib mengembalikannya kepada pemilik barang. Begitulah cara masyarakat kebanyakan memahami persoalan. Artinya, kalau seorang terdakwa terbukti melakukan korupsi, semua yang dikorupsi harus dikembalikan kepada negara dan rakyat. Artinya, pengadilan tipikor harus merampas apa pun milik koruptor yang diperoleh melalui tindak pidana korupsi.
Jelas bahwa ada hikmah dari putusan kasasi MA terhadap terdakwa koruptor maupun langkah KPK menyergap ketua MK. Dua peristiwa ini terapi kejut yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi penguasa yang berperilaku korup dan keranjingan memburu uang suap. Terlepas dari itu semua harapan kita, kendati kredibilitas MK saat ini memang sudah di bawah titik nol, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jangan ikut-ikutan mendelegitimasi lembaga tersebut.
Sebaliknya, pemerintah bersama semua lembaga tinggi negara harus segera bekerja keras memulihkan kredibilitas MK di mata rakyat. Fungsi MK untuk membuat keputusan-keputusan yang legitimate harus ditegakan. Menegakan kembali fungsi MK sangat jelas urgensinya. Selain mengantisipasi kemungkinan munculnya sengketa baru dari rangkaian pilkada maupun pilgub, MK pun harus mengantisipasi progres dari proses hukum megaskandal Bank Century.
Akhir-akhir ini penyelidikan dan penyidikan kasus Bank Century mencatat sejumlah kemajuan, utamanya dari pengakuan Robert Tantular. Munculnya fakta baru plus kesaksian pihak-pihak terkait bisa mendorong DPR menggunakan hak menyatakan pendapat (HMP) terkait peran dan tanggung jawab mantan Gubernur BI Boediono yang kini menjabat wakil presiden. Jelas bahwa MK harus dalam kondisi solid dan independen ketika DPR harus memilih HMP.
Karena itu, MK tidak boleh dikooptasi oleh pemerintah atau Presiden SBY. Terlalu besar risikonya jika muncul kesan MK sudah disusupi sosok-sosok titipan Presiden. Maka itu, dalam proses rekrutmen ketua MK pengganti Akil Mochtar, Presiden sebaiknya menahan diri untuk tidak melakukan intervensi terlalu jauh. Apa yang terjadi pada ketua MK saat ini mengingatkan orang pada nasib mantan Ketua KPK Antasari Azhar.
Antasari menjadi ketua KPK yang bermasalah dengan hukum ketika dia berniat membongkar kejahatan pengadaan IT yang terjadi dalam Pemilu 2009. Kini, lewat kasus suap yang melibatkan Akil Mochtar, MK dilumpuhkan saat penyidikan skandal Bank Century yang diduga melibatkan penguasa mencatat kemajuan signifikan.
Wacana perppu penyelamatan MK pun kemungkinan besar bagian dari skenario untuk mengantisipasi HMP DPR atas kasus Bank Century.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
Pemeran utama MA-MK mempertontonkan dua sisi wajah hukum yang kontradiktif. Semua elemen masyarakat sedang bersukacita menyikapi sikap dan keputusan kasasi MA yang memperberat hukuman terhadap terdakwa koruptor dan pencucian uang. Keputusan kasasi terbaru MA rata-rata memperberat hukuman terhadap terdakwa koruptor hingga tiga kali lipat. Dalam putusan kasasinya, MA menambah hukuman Tommy Hindratno, pegawai Direktorat Jenderal Pajak, dari tiga (3) tahun enam(6) bulan menjadi 10 tahun penjara.
Sedangkan hukuman pidana kepada terdakwa Zen Umar, direktur utama PT Terang Kita atau PT Tranka Kabel, ditambah menjadi 15 tahun penjara dari sebelumnya lima (5) tahun penjara. Dalam konteks menjawab tuntutan rasa keadilan masyarakat yang telah lama mengemuka di ruang publik, keputusan kasasi MA terbaru ini tidak saja sangat progresif, tetapi juga amat signifikan. Tak hanya memuaskan dahaga publik, MA pun memberi pesan yang amat jelas dan tegas. Tidak ada lagi toleransi, pun pemanjaan, terhadap terdakwa koruptor.
Sebelum lahir putusan kasasi MA itu, masyarakat merasakan ketidakadilan praktik hukum oleh pengadilan tipikor terhadap para terdakwa koruptor dan pencucian uang. Masyarakat menilai, tuntutan dan vonis pengadilan tipikor terhadap koruptor terlalu ringan alias tidak setara dengan kejahatan yang mereka lakukan terhadap negara dan rakyat. Selain vonis yang ringan, harta benda hasil korupsi juga tidak disita. Hampir setiap hari fenomena ini menjadi pergunjingan masyarakat.
Masyarakat bahkan yakin setelah menjalani masa hukumannya di penjara, terpidana koruptor akan tetap kaya raya berkat harta simpanan hasil korupsi. Itulah bentuk toleransi dan pemanjaan terhadap para terpidana koruptor. Karena itu, ketika putusan kasasi MA memperberat hukuman sejumlah terdakwa koruptor dan pencucian uang hingga tiga kali lipat dari vonis pengadilan di bawahnya masyarakat melihat muncul lagi harapan baru untuk mewujudkan keadilan di negara ini.
Putusan MA itu mendapat sambutan positif dari berbagai elemen masyarakat. Namun, puluhan jam setelah publikasi putusan kasasi MA itu, republik ini harus menangis lagi sebab MK jebol oleh uang suap. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Ketua MK Akil Mochtar bersama sejumlah orang lainnya. Dalam operasi tangkap tangan (OTT) itu didapatkan pula barang bukti uang suap sekitar Rp3 miliar. OTT KPK terhadap ketua MK dan sejumlah orang lainnya merupakan tamparan keras bagi semangat penegakan hukum di negara ini.
Kasus yang melibatkan ketua MK ini bisa membunuh optimisme rakyat yang ingin melihat terwujudnya Indonesia sebagai negara hukum. MK sebagai penjaga tegaknya konstitusi pun sudah jebol oleh uang suap. Apa yang terjadi pada MK benar-benar memprihatinkan. Dalam konteks korupsi di Indonesia, kasus ini menggenapi pandangan bahwa korupsi di negara ini terjadi di seluruh lini institusi negara.
Publik akan berpandangan bahwa tidak salah jika pengamat lokal maupun asing menilai Indonesia sebagai salah satu negara dengan praktik korupsi paling marak di dunia. Karena itu, tidak mengherankan jika OTT KPK terhadap ketua MK segera menjadi pemberitaan di berbagai belahan dunia. Republik ini terus-menerus dipermalukan oleh orangorang yang diberi amanah untuk menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan.
Hikmah
Setelah melakukan pertemuan dengan para pimpinan lembaga negara, akhir pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) resmi memberhentikan sementara Akil Mochtar dari jabatan ketua MK. “Dengan kewenangan yang saya miliki, saya memberhentikan sementara ketua MK saudara Akil Mochtar,” demikian pernyataan Presiden dalam jumpa pers. Presiden kemudian menunjuk Komisi Yudisial (KY) untuk kembali mengawasi hakim konstitusi. Usulan ini akan dituangkan dalam perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) yang akan diajukan ke DPR.
Respons Presiden memang pada tempatnya. Tetapi, khalayak paham bahwa respons yang demikian tidak mampu menghilangkan noda, pun sama sekali belum menyelesaikan persoalan. Masalah utamanya adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik terhadap MK dan komunitas hakim. Diyakini bahwa memulihkan kredibilitas MK dan komunitas hakim menjadi pekerjaan teramat berat.
ukan baru kali ini oknum hakim terjaring aparat penegak hukum akibat ulah tak terpuji. Dengan kasus suap yang melibatkan ketua MK, lengkap sudah perbuatan tercela oknum hakim. Dari oknum hakim level terbawah hingga oknum hakim agung dan ketua MK terjaring operasi penegakan hukum. Sudah sepatutnya untuk mencemaskan perubahan ekstrem persepsi publik mengenai masa depan penegakan hukum di negara ini.
Kalau hakim konstitusi pun sudah goyah menghadapi uang suap, benteng keadilan mana lagi yang masih bisa diandalkan pencari keadilan di negara ini? Pesimisme seperti ini sebenarnya telah berkembang di ruang publik sejak sejumlah oknum dari institusi penegak hukum, termasuk oknum hakim, terjaring kasus suap atau korupsi. Tidak mudah untuk mengubah pesimisme itu menjadi optimisme sebab tidak ada yang tahu kapan negara ini bisa mereduksi perilaku korup para oknum birokrat, termasuk pejabat penegak hukum.
Kini situasinya terbilang pelik untuk dipahami. Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah; antara memercayai harapan baru yang coba dibangun MA dengan kemampuan penyelenggara negara memulihkan kredibilitas MK plus komunitas hakim. Muncul keprihatinan karena harapan baru yang dibangun MA praktis tenggelam oleh tingginya gelombang pemberitaan kasus suap ketua MK.
Yakinlah bahwa siapa pun yang terpilih menjadi ketua MK yang baru dengan mekanisme pemilihan yang independen dan transparan sekali pun, kredibilitas MK tidak otomatis pulih. Kini masyarakat hanya ingin menuntut dan melihat bukti tentang praktik hakikat keadilan dan hukum yang ditegakan sebagaimana seharusnya. Dalam konteks ini berhentilah berwacana dan bicaralah seperlunya.
MA misalnya telah memberi satu bukti dengan memperberat hukuman bagi terdakwa koruptor lewat putusan kasasinya. Masih ada beberapa kasus yang juga sedang berproses di MA. Publik berharap MA konsisten. Namun, melipatgandakan sanksi hukum bagi terdakwa koruptor itu ternyata belum cukup. Pertanyaan publik selanjutnya yang belum terjawab hingga kini adalah bagaimana mekanisme hukum akan memperlakukan kekayaan para koruptor yang dikumpulkan dari hasil korupsi?
Kalau seorang pencuri ketahuan dan terbukti mencuri, dia wajib mengembalikannya kepada pemilik barang. Begitulah cara masyarakat kebanyakan memahami persoalan. Artinya, kalau seorang terdakwa terbukti melakukan korupsi, semua yang dikorupsi harus dikembalikan kepada negara dan rakyat. Artinya, pengadilan tipikor harus merampas apa pun milik koruptor yang diperoleh melalui tindak pidana korupsi.
Jelas bahwa ada hikmah dari putusan kasasi MA terhadap terdakwa koruptor maupun langkah KPK menyergap ketua MK. Dua peristiwa ini terapi kejut yang diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi penguasa yang berperilaku korup dan keranjingan memburu uang suap. Terlepas dari itu semua harapan kita, kendati kredibilitas MK saat ini memang sudah di bawah titik nol, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jangan ikut-ikutan mendelegitimasi lembaga tersebut.
Sebaliknya, pemerintah bersama semua lembaga tinggi negara harus segera bekerja keras memulihkan kredibilitas MK di mata rakyat. Fungsi MK untuk membuat keputusan-keputusan yang legitimate harus ditegakan. Menegakan kembali fungsi MK sangat jelas urgensinya. Selain mengantisipasi kemungkinan munculnya sengketa baru dari rangkaian pilkada maupun pilgub, MK pun harus mengantisipasi progres dari proses hukum megaskandal Bank Century.
Akhir-akhir ini penyelidikan dan penyidikan kasus Bank Century mencatat sejumlah kemajuan, utamanya dari pengakuan Robert Tantular. Munculnya fakta baru plus kesaksian pihak-pihak terkait bisa mendorong DPR menggunakan hak menyatakan pendapat (HMP) terkait peran dan tanggung jawab mantan Gubernur BI Boediono yang kini menjabat wakil presiden. Jelas bahwa MK harus dalam kondisi solid dan independen ketika DPR harus memilih HMP.
Karena itu, MK tidak boleh dikooptasi oleh pemerintah atau Presiden SBY. Terlalu besar risikonya jika muncul kesan MK sudah disusupi sosok-sosok titipan Presiden. Maka itu, dalam proses rekrutmen ketua MK pengganti Akil Mochtar, Presiden sebaiknya menahan diri untuk tidak melakukan intervensi terlalu jauh. Apa yang terjadi pada ketua MK saat ini mengingatkan orang pada nasib mantan Ketua KPK Antasari Azhar.
Antasari menjadi ketua KPK yang bermasalah dengan hukum ketika dia berniat membongkar kejahatan pengadaan IT yang terjadi dalam Pemilu 2009. Kini, lewat kasus suap yang melibatkan Akil Mochtar, MK dilumpuhkan saat penyidikan skandal Bank Century yang diduga melibatkan penguasa mencatat kemajuan signifikan.
Wacana perppu penyelamatan MK pun kemungkinan besar bagian dari skenario untuk mengantisipasi HMP DPR atas kasus Bank Century.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
(nfl)