Benarkah Dinasti Atut masih kuat?

Rabu, 09 Oktober 2013 - 07:00 WIB
Benarkah Dinasti Atut...
Benarkah Dinasti Atut masih kuat?
A A A
Sindonews.com - Pengamat politik Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta) Banten Gandung Ismanto mengistilahkan dengan tertangkapnya TCW (Tubagus Chaeri Wardana) oleh KPK, karena melakukan suap pada Ketua MK, bagi keluarga besar Ratu Atut Chosiyah adalah tsunami politik pasca meninggalnya Tubagus Chasan Chohib.

“Tidak ada guncangan se-dahsyat ini sebelumnya, sehingga membuat dinasti ini menjadi goyah,” kata Gandung Ismanto, di Untirta, Selasa, 8 Oktober 2013.

Namun, kata Gandung Ismanto, dirinya tidak yakin adanya peristiwa ini (penangkapan TCW) akan membuat dinasti ini runtuh. Karena pilar mereka terlembaga pada dua dimensi, yaitu aspek struktur politik dimana memiliki Partai Golkar dengan struktur dan jaringan yang kuat, dan kedua memiliki legitimasi tradisional pada kelompok jawara dan ulama.

“Sepanjang ulama dan jawara tidak banyak berubah menyikapi persoalan ini, saya tidak yakin Banten akan berubah (kekuasaan Atut runtuh). Persoalannya loyalitas ulama dan jawara itu belum banyak berubah,” kata dia.

Gandung Ismanto mengatakan, walaupun tokoh Tubagus Chaeri Wardana yang diangap sebagai tokoh sentral di dinasti tersebut ditahan, tetapi sistem yang dimiliki dinasti ini untuk menjaga jaringan ulama dan jawara terpelihara.

“Paling tidak sejak Pemilu 2009 lalu, tidak hanya membangun basis di Partai Golkar. Tetapi sudah berkembang ke banyak partai,” ujar dia.

Kalau bicara soal Dinasti Tubagus Chasan Chohib, kata Gandung, tidak bisa hanya melihat Golkar saja. Karena kroni-kroninya, kata Gandung, sudah banyak tersebar di banyak partai.

“Meski mereka berlatar belakang partai berbeda, kalau mereka terpilih pasti mengusung satu kepentingan. Inilah kuatnya jejaring kekuasaan dinasti politik Atut,” ujar dia.

Masyarakat kelas menengah di Banten, saat ini tidak siap menyikapi momentum perubahan ini. Sehingga mereka tidak sempat mengkonsolidasi diri. Tokoh-tokoh pendiri Banten sampai hari ini juga belum terdengar suaranya.

“Baru kemarin, Pak UU Mangkusasmita. Tetapi tidak disambut baik oleh tokoh-tokoh yang lain. Termasuk di kalangan ulama-ulama yang menjadi silent majority,” katanya.

Dalam situasi normal, 2014 mendatang akan menjadi fase penguatan hegemoni dinasti Atut. Karena kata Gandung, jika di 2009 lalu mereka baru berhasil mendudukkan saudara-saudara se-darah sampai pada level anak istri ke dua, kalau di 2014 mendatang, nanti anak dari istri ke empat dan ke lima sudah mencalonkan diri di berbagai partai politik.

Jadi kekuatannya akan lebih menggurita. Mereka sudah masuk ke partai-partai politik. jika Ibu Atut mundur atau non aktif karena kasus hukum ini, selama mereka masih mampu bertahan pada 2014 mendatang, dan kelas menengah tidak mampu memanfaatkan momentum ini untuk mencegah keluarga-keluarga ini menjadi pejabat di pemilu nanti, maka mereka akan survive kembali dan akan menyerang balik kepada kelompok-kelompok yang saat ini kritis.

Saat disinggung bagaimana masyarakat bisa memotong kekuatan dinasti? Gandung mengatakan, kelompok-kelompok anti dinasti yang hegemoni ini harus bisa memanfaatkan momentum besar ini untuk melakukan perubahan.

“Yang harus dilakukan adalah konsolidasi kekuatan, konsolidasi politik. Banyak elemen yang selama ini tidak terkonsolidasi, karena mereka tidak punya figur kepemimpinan yang kuat untuk memfasilitasi berbagai elemen yang menolak kehadiran dinasti ini dalam satu gerakan dan nafas dengan energi yang sama,” katanya.

Problem yang di hadapi masyarakat Banten pada umumnya berbeda dengan dulu, ketika Provinsi Banten baru berdiri. Ada tokoh-tokoh yang mampu menjadi katalisator kemudian menyatukan energi ini.

“Praktis masyarakat Banten membutuhkan ini. Turunnya kembali sejumlah tokoh-tokoh pendiri Banten, itu bisa menjadi sinyal bahwa momentum ini akan terus berbuah manis. Tap kalau tidak, perubahan ini akan prematur, yang kemudian akan layu sebelum berkembang, karena sama sekali tidak terkonsolidasi,” terangnya.

Apakah ini juga masuk dalam pertarungan antara dua kekuasaan antara Mulyadi Jaya Baya dan Atut ? “Saya kira sejarah lokal kontemporer kita, dimulai dengan kontestasi antar dinasti. Jadi betapapun pada arah tertentu mereka bisa berkoalisi. Seperti misalnya pada Pemilukada 2011 lalu, Jayabaya secara tidak langsung mendukung Atut sebagai Gubernur Banten. Tetapi sesungguhnya mereka membangun basis dinastinya masing-masing,” katanya.

Kalau ekspansi kekuasaan yang dilakukan oleh Atut, dirasakan memang menggangu eksistensi dinasti lain. Seperti yang dilakukan dinasti Atut pada Pilkada 2008 lalu di Pandeglang.

Ketika Dimyati Natakusuma diputus mata rantai kekuasaannya, bukan cuma di birokrasi. Tetapi juga pada jaringan ulama, sehingga Dimyati terkucil di daerahnya sendiri.

Bahkan percobaan Dimyati untuk survive di Pemilukada tahun 2011 lalu yang memajukan istrinya Irna Narulita yang dipasangkan dengan Wahidin Halim pun gagal total.

Sehinga praktis dinasti Dimyati ini belum sempat menguat sudah kembali dipotong. “Begitu juga upaya di Lebak. Jadi sesungguhnya yang terjadi adalah pertarungan dua dinasti, atau bahkan lebih untuk membangun hegemoninya,” kata dia.

Berbeda dengan dinasti di Cilegon misalnya, tidak ada persaingan diantara Dinasti Atut dan Aat Syafaat (mantan Wali Kota Cilegon yang ditahan KPK dalam kasus korupsi Pelabuhan Ciwandan).

Karena, kekuasaan Aat berangkat dari partai yang sama. “Sehingga sepanjang partainya berbeda, maka intervensi bahkan hingga aneksasi terus terjadi. Termasuk di Kabupaten Tangerang, tidak dilakukan ekspansi kekuasaan, karena masih Partai Golkar. Jadi sesama "bis kota" tidak boleh saling mendahului,” kata Gandung.

Gandung mengisahkan, Atut pernah berkata, semakin banyaknya keluarga yang memimpin daerah akan dapat memudahkan koordinasi dalam melakukan pembangunan, hal itu kata Gandung, tidak benar.

“Kalau alasan itu tepat, harusnya Banten menjadi lebih baik. Harusnya koordinasi pembangunan di antara mereka jauh menjadi lebih berkualitas, dan masyarakat Banten akan mendapatkan keuntungan dari itu,” kata dia.

Tapi faktanya terbalik. Bahwa hubungan antara gubernur sebagai kepala daerah, dan bupati atau wali kota yang notabene adalah saudara kandung dan saudara se-partai tidak banyak berubah.

Bahkan komunikasi politik menjadi buruk, dan koordinasi pembangunan pun buruk. “Musrembang yang dilakukan tiap tahun tidak terukur hasilnya. Hasilnya tidak memiliki impact sebenarnya. Harusnya, pimpinan daerah yang berasal dari keluarga yang sama, semua urusan publik selesai di meja makan denga rapat yang singkat. Faktanya tidak. Terbukti dari koordinasi pembangunan dan pemerintahan dari hari ke hari justru makin buruk. Dalil politiknya, tidak ada orang yang berkuasa ingin membagi kekuasaanya yang pada akhirnya dilepas,” terang dia.

Klik di sini untuk berita ombudsman sarankan Atut cuti jadi gubernur.
(stb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6542 seconds (0.1#10.140)