Menjaga Martabat Mahkamah Konstitusi

Selasa, 21 Juli 2020 - 06:42 WIB
loading...
Menjaga Martabat Mahkamah Konstitusi
Sudjito Atmoredjo
A A A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM


MAHKAMAH Konstitusi (MK) merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka. MK bertugas untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Putusan MK dalam mengadili suatu perkara bersifat final dan mengikat. Nyatalah bahwa peran MK amat penting, yakni menegakkan konstitusi dan prinsip-prinsip negara hukum. Segala peran dimaksud dilakukan sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya yang ditentukan dalam UUD NRI 1945. MK merupakan lembaga negara terhormat. Nama baik, keluhuran, dan bermartabatnya perlu dijaga. Oleh siapa? Oleh semua pihak. Secara internal, oleh seluruh insan di MK, dan secara eskternal oleh siapa pun yang berurusan dengan MK. Pernyataan sekaligus pesan moral-kebangsaan ini sengaja disampaikan agar perilaku-perilaku buruk oknum-oknum tertentu dalam persidangan di MK tidak terulang lagi.

Telah viral di media bahwa ada drama gugatan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, yang diajukan Ki Gendeng Pamungkas. Inti gugatannya bahwa adanya persyaratkan calon presiden diajukan partai politik, dinilainya inkonstitusional. Hal demikian akan berkonsekuensi presiden tersandera kepentingan partai politik.

Lepas dari substansi yang digugat, ternyata ada kejadian kontroversial menarik disimak. Pada dua persidangan awal, tim kuasa hukum ngotot bahwa penggugat masih hidup. Namun, pada sidang ketiga (13/7/20), mereka mengakui (secara samar) bahwa Ki Gendeng Pamungkas sudah meninggal. Pengakuan berlanjut dengan pencabutan perkaranya. Katanya, pencabutan seizin keluarga klien.

“Kenapa bukan izin langsung dari prinsipal?” tanya hakim. Atas pertanyaan ini, tim kuasa hukum kelabakan menjawabnya. Melalui perdebatan, akhirnya muncul pengakuan bahwa kliennya sudah meninggal. Konsekuensinya, sejak kematian itu, kuasa hukum sudah kehilangan pemberian kuasa.

Patut diapresiasi, hakim-hakim MK mampu bersikap bijak, cerdas, dan cermat, dalam memeriksa setiap perkara. Terhadap perilaku tak elok dan tak masuk akal tersebut, ditegurlah tim kuasa hukum. Diingatkannya agar mereka jujur, tidak menutup-nutupi informasi apa pun dalam persidangan. Integritas advokat sebagai profesi mulia mesti dijaga. Sebagai pengingat bagi semua pihak bahwa moralitas-kebangsaan itu amat penting dalam kehidupan berkonstitusi. Akan menjadi sia-sia, membuang waktu, tenaga, dan energi, bila dalam urusan-urusan konstitusionalitas masih ada perilaku hampa moralitas-kebangsaan merusak dan mengganggu kondisivitas persidangan di MK.

Tidak bisa dimungkiri bahwa di tengah hiruk-pikuk demokrasi terjadi kecenderungan dominasi proses peradilan oleh aktivitas politik dan bisnis. Hampir semua orang tak berdaya melawan dominasi tersebut. Orientasinya cenderung pada perolehan kekuasaan sebesar-besarnya, selama-lamanya, dan materi sebanyak-banyaknya. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka, seakan impian belaka.

Pada kondisi negara demikian itu, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai lambang kehadiran moralitas-kebangsaan dalam hukum, terdengar sebagai teriakan di padang pasir. Sekeras apa pun diteriakan, nyaris hilang ditelan angin lalu.
Metafora kehidupan bernegara sebagaimana digambarkan di atas secara implisit menjadi sinyal bagi MK agar senantiasa tegar dan tegas dalam menjaga marwah konstitusi. Kiranya tidak cukup bila bicara tentang konstitusionalitas suatu perkara hanya menekankan pada struktur rasionalnya saja, tanpa menukik pada kedalaman hati-nurani. Artinya, tuntutan ditegakkannya konstitusi atas masalah-masalah yang digugat di MK mesti didasarkan pada aspek moralitas-kebangsaan dan aspek yuridis-konstitusional sebagai satu kesatuan utuh. Baik persyaratan, proses, maupun hasil akhir (putusan MK), mesti dapat dipertanggungjawabkan pada dua aspek tersebut.

Apabila MK bisa disebut sebagai penjaga kesucian, kemanfaatan, dan fungsionalitas konstitusi bagi setiap warga negara, maka segala penyakit moralitas-kebangsaan perlu dicegah masuk ke tubuh MK. Konkretnya, beberapa kebiasaan buruk terus berlangsung sebagaimana terlukiskan dalam slogan-slogan: Boleh berbohong demi kemenangan. Maju tak gentar membela yang bayar. Fokus pada prosedur tetapi lalai pada substansi. Semuanya itu merupakan gambaran (cermin) masih maraknya penyakit-penyakit moralitas-kebangsaan. Itulah beberapa jenis penyakit yang mesti diwaspadai MK.

Keberadaan hakim-hakim MK yang berhati nurani bening, berlogika tajam, dan berwawasan luas, perlu terus dipertahankan. Lebih dari itu, dukungan (kontribusi moral) insan-insan lain di tubuh MK juga amat diharapkan. Seluruhnya demi terjaganya martabat MK. Di tangan merekalah,segala penyakit moralitas-kebangsaan yang menyelinap pada berbagai kasus, dapat dideteksi, kemudian dikikis habis.

Penegakan konstitusi dan penjagaan martabat MK sesungguhnya merupakan dua sisi dari sekeping mata uang. Akitivitas apa pun bentuknya, tidak boleh lepas dari nilai-nilai dan cita-cita bernegara yang ingin diwujudkan melalui MK. Penegakan konstitusi tentu bukan sekadar penegakan pasal per pasal dalam konstitusi, melainkan menukikkan dan mengujinya terhadap sistem nilai yang menjadi roh konstitusi. Sistem nilai dimaksud adalah nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, siapa pun berurusan dengan masalah konstitusionalitas suatu perkara, maka sedari awal hingga terbit putusan MK perlu paham dan memiliki persepsi sama tentang cakupan makna konstitusionalitas tersebut, yakni keterpaduan antara roh (Pancasila) dengan jasad (pasal-pasal) konstitusi.

Kembali pada kasus gugatan Ki Gendeng Pamungkas, kiranya semua pihak perlu menaruh perhatian saksama terhadap masalah perilaku tim kuasa hukum. Perilaku orang-orang yang menegakkan konstitusi, baik tim kuasa hukum maupun hakim-hakim MK, sangat menentukan kualitas proses ataupun hasil akhir persidangan suatu perkara.

Kiranya penting diingat kembali pesan moral Penjelasan UUD 1945 bahwa dalam berkonstitusi diperlukan semangat. Semangat macam apa? Semangat kekeluargaan, semangat bernegara hukum secara substantif, semangat berkonstitusi atas dasar moral-kebangsaan. Bila semangat demikian bisa terus dijaga, maka tegaknya konstitusi dan terjaganya martabat MK pasti menjadi kenyataan. Wallahu’alam.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2238 seconds (0.1#10.140)