Gugatan Jaksa Dipecat Karena Korupsi Ditolak Mahkamah Konstitusi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima gugatan permohonan uji materiil Pasal 13 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan yang diajukan jaksa yang dipecat akibat dugaan korupsi, Jack Lourens Vallentino Kastanya.
Dalam berkas permohonan sebelumnya, Jack Lourens Vallentino Kastanya mencatumkan dirinya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara. Jack menyebutkan, Pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dijadikan dasar sebagai rujukan Jaksa Agung menerbitkan atau menetapkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-003/A/JA/01/2013 tertanggal 14 Januari 2013 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai PNS terhadap Jack.
Pemberhentian tersebut menyebabkan Jack kehilangan pekerjaan selaku Jaksa dan PNS serta berpotensi tidak mendapatkan pekerjaan kembali. Dengan pemberlakuan norma Pasal 13 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan, Jack sebagai pemohon prinsipal merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya. Menurut Jack, pemberlakuan norma a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.( )
Jack mengungkapkan, sebelumnya dia telah dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat sesuai dengan Surat Keputusan Wakil Jaksa Agung Nomor KEP-189/B/WJA/10/2011 tertanggal 25 Oktober 2011 tentang Hukuman Disiplin Tingkat Berat berupa Pemberhentian dari 5 Jabatan Struktural sehubungan adanya laporan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jack.
Menurut Jack sebagai pemohon, sebaiknya dia cukup dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian tidak hormat, sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (4) huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Ketua MK Anwar Usman menyatakan, berdasarkan fakta-fakta yang telah terungkap dalam persidangan dan ketentuan hukum yang berlaku, maka MK berkesimpulan permohonan Lourens Vallentino Kastanya sebagai pemohon kabur. Anwar membeberkan, MK telah menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi pada Rabu (17/6/2020) dan memutuskan menolak permohonan Jack.
"Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan dalam persidangan pleno yang terbuka untuk umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (22/7/2020).( )
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan, andai pun benar petitum yang dimaksud oleh pemohon dalam permohonannya adalah meminta agar norma Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan dimaknai 'Jaksa yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil', maka penting bagi Mahkamah mempertimbangkan tiga.
Pertama, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (vide Penjelasan UU Kejaksaan).
Kedua, faktanya dalam menjalankan tugas, pemohon sebagai seorang jaksa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ternate nomor 04 dan seterusnya teryanggal 8 Agustus 2012 (vide bukti P 9) yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Padahal Jaksa sebagai bagian dari ASN seharusnya memberi teladan bukan hanya etik tetapi juga secara hukum," tegas hakim konstitusi Enny.
Ketiga, tutur dia, terkait dengan ASN yang diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Paragraf [3.12] angka 7 huruf b Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 87/PUU XVI/2018 tertanggal 25 April 2019. Dengan demikian, menurut Mahkamah, tidak ada persoalan konstitusionalitas norma dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan a quo.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menguraikan petitum permohonan dengan jelas, sehingga permohonan Pemohon tersebut menjadi kabur," ucapnya.
Dalam berkas permohonan sebelumnya, Jack Lourens Vallentino Kastanya mencatumkan dirinya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Tinggi Maluku Utara. Jack menyebutkan, Pasal 13 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dijadikan dasar sebagai rujukan Jaksa Agung menerbitkan atau menetapkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-003/A/JA/01/2013 tertanggal 14 Januari 2013 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai PNS terhadap Jack.
Pemberhentian tersebut menyebabkan Jack kehilangan pekerjaan selaku Jaksa dan PNS serta berpotensi tidak mendapatkan pekerjaan kembali. Dengan pemberlakuan norma Pasal 13 ayat (1) huruf a UU Kejaksaan, Jack sebagai pemohon prinsipal merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya. Menurut Jack, pemberlakuan norma a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.( )
Jack mengungkapkan, sebelumnya dia telah dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat sesuai dengan Surat Keputusan Wakil Jaksa Agung Nomor KEP-189/B/WJA/10/2011 tertanggal 25 Oktober 2011 tentang Hukuman Disiplin Tingkat Berat berupa Pemberhentian dari 5 Jabatan Struktural sehubungan adanya laporan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jack.
Menurut Jack sebagai pemohon, sebaiknya dia cukup dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat berupa pemberhentian tidak hormat, sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (4) huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS.
Ketua MK Anwar Usman menyatakan, berdasarkan fakta-fakta yang telah terungkap dalam persidangan dan ketentuan hukum yang berlaku, maka MK berkesimpulan permohonan Lourens Vallentino Kastanya sebagai pemohon kabur. Anwar membeberkan, MK telah menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dihadiri oleh sembilan hakim konstitusi pada Rabu (17/6/2020) dan memutuskan menolak permohonan Jack.
"Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan dalam persidangan pleno yang terbuka untuk umum di Gedung MK, Jakarta, Rabu (22/7/2020).( )
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan, andai pun benar petitum yang dimaksud oleh pemohon dalam permohonannya adalah meminta agar norma Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan dimaknai 'Jaksa yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil', maka penting bagi Mahkamah mempertimbangkan tiga.
Pertama, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (vide Penjelasan UU Kejaksaan).
Kedua, faktanya dalam menjalankan tugas, pemohon sebagai seorang jaksa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Ternate nomor 04 dan seterusnya teryanggal 8 Agustus 2012 (vide bukti P 9) yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Padahal Jaksa sebagai bagian dari ASN seharusnya memberi teladan bukan hanya etik tetapi juga secara hukum," tegas hakim konstitusi Enny.
Ketiga, tutur dia, terkait dengan ASN yang diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Paragraf [3.12] angka 7 huruf b Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 87/PUU XVI/2018 tertanggal 25 April 2019. Dengan demikian, menurut Mahkamah, tidak ada persoalan konstitusionalitas norma dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Kejaksaan a quo.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menguraikan petitum permohonan dengan jelas, sehingga permohonan Pemohon tersebut menjadi kabur," ucapnya.
(abd)