Mengintip perang suku bunga deposito

Senin, 07 Oktober 2013 - 11:26 WIB
Mengintip perang suku...
Mengintip perang suku bunga deposito
A A A
BANK Indonesia (BI) telah menaikkan kembali BI Rate 25 basis poin (bps) (0,25%) dari 7% menjadi 7,25% pada 12 September 2013. Rapat Dewan Gubernur juga menaikkan suku bunga lending facility 25 bps (0,25%) dari 7% menjadi 7,25% dan suku bunga deposit facility 25 bps (0,25%) dari 5,25% menjadi 5,5%.

Langkah itu bertujuan untuk mengendalikan inflasi, stabilitas nila tukar dan penyesuaian defisit transaksi berjalan secara berkelanjutan. Sebelumnya, BI Rate naik 50 bps (0,50%) dari 6,5% menjadi 7%, suku bunga lending facility naik 25 bps (0,25%) dari 6,75% menjadi 7% dan suku bunga deposit facilitynaik 50 bps (0,50%) dari 4,75% menjadi 5,25% pada 29 Agustus 2013. Kenaikan BI Rate itu bertujuan pula untuk menarik investor agar tak memindahkan dana ke luar negeri.

Padahal sesungguhnya sudah cukup BI Rate pada level 7% untuk sementara ini. Kenaikan BI Rateitu menunjukkan BI makin berpihak pada pasar (market friendly). Apakah BI Rate cukup pada level 7,25%? Pasar akan selalu menuntut lebih dan lebih. Mengapa? Karena pasar selalu loba (greedy) ingin memperoleh margin setinggi-tingginya. Pasar keuangan global merasa lega mengetahui hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) AS pada 17-18 September 2013.

The Fed menunda pemangkasan kucuran dana ke pasar keuangan dan siap melanjutkan pembelian surat berharga USD85 miliar setiap bulan. Sebelumnya, pasar menduga The Fed akan memangkas stimulus keuangan itu USD10-15 miliar. Kabar itu membuat pasar keuangan dan perbankan bergairah serta menghambat arus dana panas kembali ke pasar keuangan AS. Sayangnya, sentimen positif terhadap nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG ) itu hanya berlangsung sekejap.

Namun, itu tidak berarti BI Rate akan menurun segera. Karena melejitnya inflasi juga disulut oleh faktor dalam negeri seperti defisit transaksi berjalan dan minimnya infrastruktur sehingga bisa mengganggu pasokan barang-barang kebutuhan pokok. Untunglah, neraca perdagangan mengalami surplus USD132,4 juta per Agustus 2013 karena nilai impor menipis yang disebabkan libur Lebaran.

Dampak dan alternatif solusi
Apa dampak kenaikan BI Rate setinggi itu bagi perbankan nasional? Bagaimana mengatasinya? Pertama, kenaikan suku bunga simpanan. Seolah BI menutup mata bahwa kenaikan BI Rate setinggi itu akan makin memacu bank nasional untuk mengerek suku bunga simpanan terutama deposito. Pada medio September 2013, suku bunga deposito berkisar 4,25%- 6,25% untuk tenor satu bulan.

Tetapi tak lama lagi, bank nasional khususnya papan bawah alias bank kecil akan mendongkrak suku bunga deposito. Apa alasannya? Karena modal bank kecil lebih terbatas daripada bank besar. Modal bank tercermin pada kecukupan modal minimum (capital adequacy ratio/ CAR). Statistik Perbankan Indonesia (SPI), Juli 2013 yang terbit 19 September 2013 menunjukkan CAR Kelompok Bank Asing paling tinggi meskipun menurun sedikit dari 33,17% per Juni 2013 menjadi 32,69% per Juli 2013.

Hal ini wajar mengingat modal kelompok yang satu ini didukung sepenuhnya oleh induk perusahaannya. Posisi itu dibayangi CAR Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) Nondevisa yang menipis 21,80% menjadi 21,22%, Bank Campuran pun menurun dari 20,42% menjadi 20,29%, Bank Persero menurun dari 16,61% menjadi 16,41%, BUSN Devisa justru naik dari 16,21% menjadi 16,22% dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) menebal dari 15,62% menjadi 16,72% pada periode yang sama.

Kedua, perang suku bunga deposito. Hampir pasti akan lahir perang suku bunga deposito untuk memperebutkan dana pihak ketiga (DPK) dengan aneka hadiah misalnya mobil mewah. Siapa akan menjadi korban? Lagi-lagi bank kecil akan kurang mampu bersaing dalam memberikan iming-iming berupa mobil atau rumah mewah. Akibatnya, bank kecil akan menderita potensi likuiditas.

Ingat, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melarang pemberian uang tunai atau cash back. LPS telah menerbitkan Peraturan LPS Nomor 2/LPS/2010 tertanggal 25 November 2010 tentang Program Penjaminan Simpanan. LPS melarang bank memberikan cash back kepada nasabah penyimpan berkaitan dengan kegiatan penghimpunan dana. LPS telah melakukan program penjaminan kepada peserta penjaminan LPS.

Apa saja yang dijamin? Tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Kini LPS telah menaikkan suku bunga penjaminan 75 bps (0,75%) untuk rupiah dan 25 bps (0,25%) untuk valuta asing (valas) sehingga menjadi 7% untuk rupiah dan 1,5% untuk valas untuk bank umum. Suku bunga penjaminan untuk bank perkreditan rakyat (BPR) menjadi 9,50% untuk rupiah.

Untuk itu, wahai para nasabah bank nasional, hati-hatilah untuk tidak menerima cash back atau menerima suku bunga deposito yang melebihi suku bunga penjaminan LPS (LPS Rate). Ketiga, suku bunga kredit terdorong naik. Kenaikan suku bunga simpanan terutama deposito yang dianggap sebagai sumber dana mahal itu akan mendorong melesatnya biaya dana. Akibatnya, suku bunga kredit akan terkerek naik.

Hal ini agaknya yang tak begitu dipertimbangkan BI dalam menaikkan BI Rate setinggi itu. Ditambah lagi, BI Rate belum akan berhenti pada posisi 7,25%. Ketika suku bunga kredit mulai mendaki, maka target laba bank nasional yang tertera pada Rencana Bisnis Bank (RBB) belum tentu akan tercapai dengan gemilang. Lho? Karena pendapatan dari bunga kredit (interest income) tidak selancar ketika ekonomi berjalan manis.

Dengan bahasa lebih bening, bank nasional perlu mengubah RBB mengingat pelambatan ekonomi yang terus mengkristal. Kecuali bank nasional yang fokus pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) mengingat segmen ini boleh dikatakan sakti terhadap gonjangganjing ekonomi. Hal ini sudah dibuktikan pada krisis ekonomi 1997/1998. Tengok saja, Bank BRI tetap mematok pertumbuhan kredit antara 20-22% atau sekitar Rp417,6 triliun sampai Rp424,56 triliun pada akhir 2013.

Lantaran Bank BRI menyalurkan lebih daripada 80% kredit ke segmen UMKM (Harian Kontan, 16 September 2013). Maka, bank nasional bakal terus menyerbu UMKM mengingat memiliki potensi bisnis yang begitu luas dengan margin yang gurih sebagaimana telah penulis analisis pada KORAN SINDO pada 8 Mei 2013.

Keempat, menahan diri untuk tidak rakus. Untuk mempertahankan laba cukup tinggi, bank nasional perlu menahan diri untuk tidak berlaku rakus. Dengan bahasa lebih lugas, bank nasional tidak perlu memasang penghasilan bunga bersih (net interest margin/NIM) terlalu tinggi. Lihat saja, NIM merangkak naik dari 5,41% per Juli 2012 menjadi 5,46% per Juli 2013. Ini pun menebal dari 5,43% per Juni 2013.

Data ini bagai berseberangan dengan imbauan BI kepada bank nasional untuk selalu berupaya menipiskan NIM hingga 2-3% seperti bank-bank Malaysia, Filipina, dan Thailand. Saatnya bank nasional menahan diri untuk tidak mengambil margin terlalu tinggi. Kini nasabah pun sedang mega-megapsebagai akibat dari kenaikan bahan bakar minyak (BBM), inflasi dan angsuran kredit yang melejit.

Sebaliknya, gaji atau pendapatan nasabah belum tentu sudah ikut naik. Kelima, menjaga kelancaran transportasi. Pemerintah sebagai penjaga gawang sektor fiskal wajib mengendalikan inflasi. Tegasnya, pemerintah wajib menjaga kelancaran transportasi untuk memuluskan pasokan barang-barang kebutuhan pokok.

Pemerintah pun wajib menjamin kepastian hukum supaya investor tidak hengkang ke negeri jiran seperti Malaysia dan Vietnam. Berbekal aneka langkah strategis demikian, bank nasional tetap mampu mengunduh laba cukup tinggi. Inflasi pun diharapkan tak bergerak terlalu liar.

PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI & Pengurus Yayasan Bina Swadaya
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5008 seconds (0.1#10.140)