Sesat arah mobil murah
A
A
A
SATU lagi kebijakan pemerintah SBY yang lahir cepat: mobil murah. Kebijakan ini diklaim sebagai pengimbang kebutuhan masyarakat akan fasilitas transportasi yang murah, kebutuhan global akan mobil yang ramah lingkungan (alias LCGC, low cost green car), sambil berlomba meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menargetkan ekspor mobil murah ini ke negara-negara tetangga, bahkan ke benua lain.
Produsen mobil langsung meluncurkan produk perdana LCGC, bahkan ikut berpameran di Kemayoran Jakarta, antara lain Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Honda Brio Satya, Datsun GO, dan belakangan Suzuki Karimun Wagon R. Apakah betul kebijakan tersebut akan menguntungkan Indonesia? Pertama-tama mari kita cek apakah mobil murah ini ramah lingkungan. Sebenarnya tidak satu pun mobil itu yang berteknologi baru ramah lingkungan.
Mereka tetap menenggak bensin dari minyak bumi, bukan biofuel, elektrik, atau jenis hibrida. Ukuran cc mobil saja yang diperkecil. Polusinya sama, bahkan akan meningkat jika makin banyak mobil turun ke jalan. Ketergantungan Indonesia pada impor minyak bumi juga sama. Apakah akan menguntungkan dari segi ekonomi? Dalam jangka pendek, kepentingan Indonesia adalah memperbaiki neraca berjalan dan neraca perdagangan yang terus defisit.
Ada kabar bahwa pemerintah akan memastikan mobil murah ini tidak pakai BBM bersubsidi sehingga tidak memberatkan pemerintah. Lho, bukankah yang perlu dicermati adalah peningkatan impor BBM-nya karena itu yang melemahkan neraca perdagangan Indonesia dan membuat rupiah terpuruk? Budi Hikmat dari Bahana TCW (BI, 23/9/13) menghitung bahwa untuk tiap 1% kenaikan penjualan mobil (mobil apa pun yang masih doyan bensin), kenaikan defisit neraca minyak bumi akan naik 0,64%.
Tambahan lagi, mobil-mobil itu masih menggunakan 60% komponen dari luar negeri. Maklum, jumlah pabrik komponen di dalam negeri baru 70 buah. Artinya sampai pabrik-pabrik itu berdiri, kita masih akan rajin mengimpor. Di sisi lain, mobil murah ini bertentangan dengan diplomasi Indonesia yang selama ini berkomitmen untuk mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Kita masih ingat Presiden SBY pada bulan November 2007 mengumandangkan Rencana Aksi Nasional untuk mengatasi perubahan iklim. Di tahun 2009, Presiden SBY mengumumkan Indonesia dengan sukarela menerapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca 26% di tahun 2020, bahkan bisa berkurang 41% jika dibantu dana internasional. Di tahun 2010, Indonesia memperkenalkan roadmap sektoral untuk memandu perencanaan pengurangan emisi karbon.
Presiden SBY bahkan menjadi anggota dalam panel ahli pembangunan berkelanjutan di PBB di mana beliau mengulangi lagi komitmen untuk mengadopsi teknologi rendah karbon. Artinya, dalam jangka panjang, produksi mobil murah ala Indonesia justru tidak sinkron dengan tujuan Indonesia membangun kekuatan sebagai negara yang punya daya saing dalam pergaulan ekonomi masa depan.
Kita harus tahu bahwa ke depan, persaingan global mengarah lebih tajam pada ekonomi hijau dengan penggunaan sumber energi yang lebih efisien. Kita harus siap ditekan dunia Barat karena negara-negara Asia- Pasifik terhitung menggunakan 3 kali jumlah sumber daya untuk memproduksi satu unit pendapatan negara (PDB) sehingga kita pasti didesak untuk lebih efisien.
Untuk konteks Indonesia, program ini mengonfirmasi bahwa betul orientasi pemerintahan SBY adalah semata untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Bisa jadi inilah efek negatif dari tahun politik menjelang pemilu. Artinya produksi mobil murah ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan konsep green economy yang dikumandangkan selama ini.
Produksi ini malah bertentangan dengan ide awal dari pengurangan subsidi BBM yang bertujuan untuk mengurangi pemakaian bahan bakar fosil dan mendorong orang untuk menggunakan energi alternatif. Mobil murah ini bahkan tidak mengakomodasi gagasan pengalihan bahan bakar minyak ke gas seperti yang pernah dikampanyekan dulu atau biofuel tahun 2010–2011. Konsep green economy seharusnya jauh lebih luas daripada sekadar membangun mobil ramah lingkungan (ala Toyota-Prius yang berteknologi hibrida itu).
Green economy adalah pilihan politik dan ekonomi untuk memulai pembangunan berkelanjutan yang rendah karbon. Jikalau perluasan penggunaan mobil ramah lingkungan akan disebarkan, konsep perluasannya harus merupakan kesatuan sosial dengan masyarakat yang sadar akan lingkungan. Percuma seluruh penduduk kota memakai kendaraan hibrida bila jalanan tetap macet dan pengemudinya ugal-ugalan tidak sadar lingkungan.
Membangun masyarakat itu tidak dapat dilakukan dalam waktu semalam. Pemerintah akan berhadapan dengan pilihan: apakah memanfaatkan keuntungan yang sementara ini ada di pasar dan mengabaikan kemajuan upaya pembangunan yang ramah lingkungan atau menunda mengambil keuntungan sesaat karena mulai membangun infrastruktur ekonomi dan sosial yang ramah lingkungan?
Dukungan pemerintah untuk mobil murah tampaknya menunjukkan pilihan ada pada yang pertama. Pemerintah menyadari dengan dikuranginya subsidi bahan bakar premium, ada pasar baru kendaraan yang tercipta. Mereka yang mengisi pasar itu adalah kelompok kelas menengah yang tak mampu membeli oktan tinggi seperti pertamax dalam volume besar (untuk mobil ber-cc lebih besar), ditambah dengan pembeli baru dari kelompok pengendara sepeda motor yang memiliki pendapatan lebih.
Pasar itu terbentuk juga karena dari sisi demografi, kelas menengah Indonesia semakin gemuk dan secara teoretis ketika pendapatan per kapita kita tembus USD3.000, konsumsi untuk barang mewah seperti mobil akan meningkat. Dalam pendekatan pembangunan berkelanjutan, isu yang utama dalam transportasi adalah bagaimana mengontrol emisi yang ditimbulkan. Di Brasil, tidak ada industri green car, tetapi mereka mengharuskan bahan bakar fosil yang digunakan dicampur dengan etanol.
Komposisi etanol dalam bahan bakar fosil dalam sejarahnya adalah 22% hingga 25%. Mesin mobil di sana harus dimodifikasi secara khusus agar tidak berkarat ketika mengonsumsi bahan bakar campuran etanol. Kebijakan ini ditempuh untuk mengurangi ketergantungan dengan bahan bakar fosil. Etanol telah mengurangi 40% ketergantungan Brasil terhadap bensin dan ikut mendukung industri agroindustri yang menyuplai etanol dengan tenaga kerja formal yang berjumlah jutaan.
Kebijakan ini sudah dirintis sejak 1976. Oleh sebab itu, Brasil dikenal sebagai the world’s first sustainable biofuels economy dan pelopor industri biofuel dunia. Setidaknya ada tiga konsekuensi dari kebijakan mobil murah ini. Pertama, perjuangan meloloskan produk kelapa sawit yang merupakan sumber devisa nonmigas terbesar Indonesia akan terganggu, bahkan gugur karena di dalam negeri tidak ada perhatian pada pengembangan biofuel.
Nafsu pemerintah membuat biofuel hanya ada ketika harga minyak tinggi, tapi dilupakan ketika harga minyak turun. Kedua, perjuangan menghidupkan motivasi akademisi dan intelektual untuk menciptakan teknologi bebas emisi akan kerdil karena tetap tidak ada perhatian konkret untuk menghidupkan karya cipta anak bangsa.
Ketiga, biaya perbaikan lingkungan, baik secara sosial dalam bentuk kemacetan, polusi maupun keruwetan tata kelola penggunaan energi, akan semakin besar. Dimasamendatang, desakan untuk mengontrol emisi karbon akan terus ditekan, kalaupun tidak oleh negara, maka oleh masyarakat dan organisasi sipil.
Tekanan ini bisa berpotensi mendesak pemerintah untuk memasukkan biaya perbaikan lingkungan dalam pajak bahan bakar minyak seperti pajak 7% yang berlaku di Inggris atau HGV eco-tax di Prancis. Kita harus juga melihat bagaimana politik lingkungan di negara-negara tujuan ekspor mobil murah ini. Apakah mereka juga akan menerima mobil murah dari Indonesia yang tidak ramah lingkungan?
Artinya, konsumen mungkin membeli mobil murah pada saat ini, tetapi selanjutnya mobil itu tidak bisa dipakai karena bahan bakar yang semakin mahal karena pajak lingkungan. Keputusan menerima risiko-risiko tadi akan berakhir di tangan Presiden SBY. Seharusnya pemerintah memberikan jawaban dengan transportasi murah, sebagaimana digaungkan oleh roadmap green economy, bukan mobil murah. Solusi atas segala dilema harus dicari bersama dengan masyarakat dan tidak melemparkannya hanya kepada pemilik industri automotif.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
Produsen mobil langsung meluncurkan produk perdana LCGC, bahkan ikut berpameran di Kemayoran Jakarta, antara lain Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Honda Brio Satya, Datsun GO, dan belakangan Suzuki Karimun Wagon R. Apakah betul kebijakan tersebut akan menguntungkan Indonesia? Pertama-tama mari kita cek apakah mobil murah ini ramah lingkungan. Sebenarnya tidak satu pun mobil itu yang berteknologi baru ramah lingkungan.
Mereka tetap menenggak bensin dari minyak bumi, bukan biofuel, elektrik, atau jenis hibrida. Ukuran cc mobil saja yang diperkecil. Polusinya sama, bahkan akan meningkat jika makin banyak mobil turun ke jalan. Ketergantungan Indonesia pada impor minyak bumi juga sama. Apakah akan menguntungkan dari segi ekonomi? Dalam jangka pendek, kepentingan Indonesia adalah memperbaiki neraca berjalan dan neraca perdagangan yang terus defisit.
Ada kabar bahwa pemerintah akan memastikan mobil murah ini tidak pakai BBM bersubsidi sehingga tidak memberatkan pemerintah. Lho, bukankah yang perlu dicermati adalah peningkatan impor BBM-nya karena itu yang melemahkan neraca perdagangan Indonesia dan membuat rupiah terpuruk? Budi Hikmat dari Bahana TCW (BI, 23/9/13) menghitung bahwa untuk tiap 1% kenaikan penjualan mobil (mobil apa pun yang masih doyan bensin), kenaikan defisit neraca minyak bumi akan naik 0,64%.
Tambahan lagi, mobil-mobil itu masih menggunakan 60% komponen dari luar negeri. Maklum, jumlah pabrik komponen di dalam negeri baru 70 buah. Artinya sampai pabrik-pabrik itu berdiri, kita masih akan rajin mengimpor. Di sisi lain, mobil murah ini bertentangan dengan diplomasi Indonesia yang selama ini berkomitmen untuk mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Kita masih ingat Presiden SBY pada bulan November 2007 mengumandangkan Rencana Aksi Nasional untuk mengatasi perubahan iklim. Di tahun 2009, Presiden SBY mengumumkan Indonesia dengan sukarela menerapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca 26% di tahun 2020, bahkan bisa berkurang 41% jika dibantu dana internasional. Di tahun 2010, Indonesia memperkenalkan roadmap sektoral untuk memandu perencanaan pengurangan emisi karbon.
Presiden SBY bahkan menjadi anggota dalam panel ahli pembangunan berkelanjutan di PBB di mana beliau mengulangi lagi komitmen untuk mengadopsi teknologi rendah karbon. Artinya, dalam jangka panjang, produksi mobil murah ala Indonesia justru tidak sinkron dengan tujuan Indonesia membangun kekuatan sebagai negara yang punya daya saing dalam pergaulan ekonomi masa depan.
Kita harus tahu bahwa ke depan, persaingan global mengarah lebih tajam pada ekonomi hijau dengan penggunaan sumber energi yang lebih efisien. Kita harus siap ditekan dunia Barat karena negara-negara Asia- Pasifik terhitung menggunakan 3 kali jumlah sumber daya untuk memproduksi satu unit pendapatan negara (PDB) sehingga kita pasti didesak untuk lebih efisien.
Untuk konteks Indonesia, program ini mengonfirmasi bahwa betul orientasi pemerintahan SBY adalah semata untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek. Bisa jadi inilah efek negatif dari tahun politik menjelang pemilu. Artinya produksi mobil murah ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan konsep green economy yang dikumandangkan selama ini.
Produksi ini malah bertentangan dengan ide awal dari pengurangan subsidi BBM yang bertujuan untuk mengurangi pemakaian bahan bakar fosil dan mendorong orang untuk menggunakan energi alternatif. Mobil murah ini bahkan tidak mengakomodasi gagasan pengalihan bahan bakar minyak ke gas seperti yang pernah dikampanyekan dulu atau biofuel tahun 2010–2011. Konsep green economy seharusnya jauh lebih luas daripada sekadar membangun mobil ramah lingkungan (ala Toyota-Prius yang berteknologi hibrida itu).
Green economy adalah pilihan politik dan ekonomi untuk memulai pembangunan berkelanjutan yang rendah karbon. Jikalau perluasan penggunaan mobil ramah lingkungan akan disebarkan, konsep perluasannya harus merupakan kesatuan sosial dengan masyarakat yang sadar akan lingkungan. Percuma seluruh penduduk kota memakai kendaraan hibrida bila jalanan tetap macet dan pengemudinya ugal-ugalan tidak sadar lingkungan.
Membangun masyarakat itu tidak dapat dilakukan dalam waktu semalam. Pemerintah akan berhadapan dengan pilihan: apakah memanfaatkan keuntungan yang sementara ini ada di pasar dan mengabaikan kemajuan upaya pembangunan yang ramah lingkungan atau menunda mengambil keuntungan sesaat karena mulai membangun infrastruktur ekonomi dan sosial yang ramah lingkungan?
Dukungan pemerintah untuk mobil murah tampaknya menunjukkan pilihan ada pada yang pertama. Pemerintah menyadari dengan dikuranginya subsidi bahan bakar premium, ada pasar baru kendaraan yang tercipta. Mereka yang mengisi pasar itu adalah kelompok kelas menengah yang tak mampu membeli oktan tinggi seperti pertamax dalam volume besar (untuk mobil ber-cc lebih besar), ditambah dengan pembeli baru dari kelompok pengendara sepeda motor yang memiliki pendapatan lebih.
Pasar itu terbentuk juga karena dari sisi demografi, kelas menengah Indonesia semakin gemuk dan secara teoretis ketika pendapatan per kapita kita tembus USD3.000, konsumsi untuk barang mewah seperti mobil akan meningkat. Dalam pendekatan pembangunan berkelanjutan, isu yang utama dalam transportasi adalah bagaimana mengontrol emisi yang ditimbulkan. Di Brasil, tidak ada industri green car, tetapi mereka mengharuskan bahan bakar fosil yang digunakan dicampur dengan etanol.
Komposisi etanol dalam bahan bakar fosil dalam sejarahnya adalah 22% hingga 25%. Mesin mobil di sana harus dimodifikasi secara khusus agar tidak berkarat ketika mengonsumsi bahan bakar campuran etanol. Kebijakan ini ditempuh untuk mengurangi ketergantungan dengan bahan bakar fosil. Etanol telah mengurangi 40% ketergantungan Brasil terhadap bensin dan ikut mendukung industri agroindustri yang menyuplai etanol dengan tenaga kerja formal yang berjumlah jutaan.
Kebijakan ini sudah dirintis sejak 1976. Oleh sebab itu, Brasil dikenal sebagai the world’s first sustainable biofuels economy dan pelopor industri biofuel dunia. Setidaknya ada tiga konsekuensi dari kebijakan mobil murah ini. Pertama, perjuangan meloloskan produk kelapa sawit yang merupakan sumber devisa nonmigas terbesar Indonesia akan terganggu, bahkan gugur karena di dalam negeri tidak ada perhatian pada pengembangan biofuel.
Nafsu pemerintah membuat biofuel hanya ada ketika harga minyak tinggi, tapi dilupakan ketika harga minyak turun. Kedua, perjuangan menghidupkan motivasi akademisi dan intelektual untuk menciptakan teknologi bebas emisi akan kerdil karena tetap tidak ada perhatian konkret untuk menghidupkan karya cipta anak bangsa.
Ketiga, biaya perbaikan lingkungan, baik secara sosial dalam bentuk kemacetan, polusi maupun keruwetan tata kelola penggunaan energi, akan semakin besar. Dimasamendatang, desakan untuk mengontrol emisi karbon akan terus ditekan, kalaupun tidak oleh negara, maka oleh masyarakat dan organisasi sipil.
Tekanan ini bisa berpotensi mendesak pemerintah untuk memasukkan biaya perbaikan lingkungan dalam pajak bahan bakar minyak seperti pajak 7% yang berlaku di Inggris atau HGV eco-tax di Prancis. Kita harus juga melihat bagaimana politik lingkungan di negara-negara tujuan ekspor mobil murah ini. Apakah mereka juga akan menerima mobil murah dari Indonesia yang tidak ramah lingkungan?
Artinya, konsumen mungkin membeli mobil murah pada saat ini, tetapi selanjutnya mobil itu tidak bisa dipakai karena bahan bakar yang semakin mahal karena pajak lingkungan. Keputusan menerima risiko-risiko tadi akan berakhir di tangan Presiden SBY. Seharusnya pemerintah memberikan jawaban dengan transportasi murah, sebagaimana digaungkan oleh roadmap green economy, bukan mobil murah. Solusi atas segala dilema harus dicari bersama dengan masyarakat dan tidak melemparkannya hanya kepada pemilik industri automotif.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
(nfl)