High Tech, High Touch
A
A
A
KECELAKAAN maut di jalan Tol Jagorawi yang menewaskan enam orang dan sembilan luka-luka akibat sedan lepas kendali yang dikendarai Dul (13), mengingatkan saya akan sebuah buku yang berjudul High Tech, High Touch karya John Naisbitt.
Buku ini ingin menyampaikan pesan bahwa kemajuan dan kecanggihan teknologi mesti dikendalikan oleh sentuhan moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang juga tinggi. Namun, dalam kenyataannya sering ditemukan High Tech, Low Touch. Teknologi tinggi, mahal, namun tidak dikendalikan oleh komitmen kemanusiaan yang kuat. Kesadaran betapa kemajuan sains dan teknologi bisa membahayakan eksistensi manusia sangat menghentakkan Alfred Nobel (1883–1896) ketika dinamit hasil temuannya digunakan sebagai senjata perang.
Penyesalannya itu ditransformasikan dengan menyumbangkan kekayaannya sebagai modal mendirikan Yayasan Nobel untuk perdamaian. Dia tidak mau dirinya dikenang sebagai ilmuwan penemu teknologi senjata pembunuh. Begitu pun ketika terjadi peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki (1945), kutukan muncul dari segala penjuru. Telah terjadi penyalahgunaan high-tech yang menelan korban ratusan ribu manusia. Mari sejenak kita amati apa yang terjadi dengan kemajuan teknologi dan pengaruhnya pada budaya serta perilaku sosial.
Banyak orangtua dan guru yang merasa kecolongan oleh anak-anaknya yang asyik di depan komputer bermain internet, namun ternyata disalahgunakan untuk menonton gambar-gambar porno yang dapat merusak perkembangan otak. Orangtua yang dianggap generasi gaptek (gagap teknologi) tentu saja mengalami kesulitan untuk mengontrol anak-anaknya. Menurut survei, pengguna internet di Indonesia masuk kategori terbesar ketiga yang senang mengunduh situs porno setelah China dan India.
Kondisi di jalan raya lebih mengerikan lagi. Tiap jam terjadi kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Kendaraan motor produk teknologi canggih itu tanpa disadari telah menjadi alat pembunuh, di samping menambah kemacetan kota akibat lemahnya perencanaan dan pengaturan jalan. Jumlah sepeda motor membeludak, anak-anak yang belum berhak memiliki SIM dan emosinya masih labil berkeliaran di jalan raya.
Ini semua mempertegas peringatan John Naisbitt bahwa high-tech mestinya dibarengi high-touch. Teknologi tinggi tanpa sentuhan dan kendali komitmen kemanusiaan tinggi hanya akan melahirkan malapetaka.
Situasi ini yang sekarang tengah diributkan di Timur Tengah. Bom dan rudal produk teknologi tinggi tak ubahnya mainan mercon namun ongkos sosial-materialnya sangat tinggi. Tak terhitung lagi, berapa triliun uang menguap habis di medan perang. Berapa ribu nyawa melayang, anak cacat seumur hidup, aktivitas ekonomi dan birokrasi menjadi kacau. Belum lagi kalau dugaan senjata kimia pembunuh massal yang mematikan itu benar-benar digunakan. High tech, low touch, rakyat menjadi sengsara.
Dunia yang katanya semakin modern tidak semakin damai dan nyaman dihuni. Maka, logis bila akhir-akhir ini bermunculan survei tentang indeks kebahagiaan hidup. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil mengagetkan. Negara dan masyarakat yang secara ekonomi dan teknologi maju dan mapan, ternyata tingkat kebahagiaannya rendah.
Pemeriksaan di imigrasi airport internasional semakin ketat, takut kalau ada teroris menyusup naik pesawat terbang. Di Amerika Serikat (AS) orangtua selalu khawatir terhadap anak-anaknya sejak terjadi penembakan di sekolah oleh anak belasan tahun dengan senjata canggih.
Begitu pun di Eropa, masyarakat disusupi rasa khawatir dan waswas. Di Indonesia rasa khawatir dan waswas di kalangan orang tua juga semakin meningkat. Suasana jalan raya sangat tidak nyaman dan aman. Ancaman copet, jambret, narkoba dan pembunuhan menjadi bayangbayang menakutkan bagi orangtua.
Para pejabat tinggi sibuk dengan urusan negara dan politik yang tidak beres-beres, sementara anak-anaknya stres dengan ujian nasional dan lingkungan pergaulan yang menggelisahkan. Lalu apa solusi dan agenda besar orangtua dan pejabat pembuat kebijakan terhadap masalah ini? Esai ini mengajak kita semua untuk berpikir dan menyusun agenda aksi yang serius demi masa depan bangsa dan anak-cucu kita semua.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Buku ini ingin menyampaikan pesan bahwa kemajuan dan kecanggihan teknologi mesti dikendalikan oleh sentuhan moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang juga tinggi. Namun, dalam kenyataannya sering ditemukan High Tech, Low Touch. Teknologi tinggi, mahal, namun tidak dikendalikan oleh komitmen kemanusiaan yang kuat. Kesadaran betapa kemajuan sains dan teknologi bisa membahayakan eksistensi manusia sangat menghentakkan Alfred Nobel (1883–1896) ketika dinamit hasil temuannya digunakan sebagai senjata perang.
Penyesalannya itu ditransformasikan dengan menyumbangkan kekayaannya sebagai modal mendirikan Yayasan Nobel untuk perdamaian. Dia tidak mau dirinya dikenang sebagai ilmuwan penemu teknologi senjata pembunuh. Begitu pun ketika terjadi peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki (1945), kutukan muncul dari segala penjuru. Telah terjadi penyalahgunaan high-tech yang menelan korban ratusan ribu manusia. Mari sejenak kita amati apa yang terjadi dengan kemajuan teknologi dan pengaruhnya pada budaya serta perilaku sosial.
Banyak orangtua dan guru yang merasa kecolongan oleh anak-anaknya yang asyik di depan komputer bermain internet, namun ternyata disalahgunakan untuk menonton gambar-gambar porno yang dapat merusak perkembangan otak. Orangtua yang dianggap generasi gaptek (gagap teknologi) tentu saja mengalami kesulitan untuk mengontrol anak-anaknya. Menurut survei, pengguna internet di Indonesia masuk kategori terbesar ketiga yang senang mengunduh situs porno setelah China dan India.
Kondisi di jalan raya lebih mengerikan lagi. Tiap jam terjadi kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Kendaraan motor produk teknologi canggih itu tanpa disadari telah menjadi alat pembunuh, di samping menambah kemacetan kota akibat lemahnya perencanaan dan pengaturan jalan. Jumlah sepeda motor membeludak, anak-anak yang belum berhak memiliki SIM dan emosinya masih labil berkeliaran di jalan raya.
Ini semua mempertegas peringatan John Naisbitt bahwa high-tech mestinya dibarengi high-touch. Teknologi tinggi tanpa sentuhan dan kendali komitmen kemanusiaan tinggi hanya akan melahirkan malapetaka.
Situasi ini yang sekarang tengah diributkan di Timur Tengah. Bom dan rudal produk teknologi tinggi tak ubahnya mainan mercon namun ongkos sosial-materialnya sangat tinggi. Tak terhitung lagi, berapa triliun uang menguap habis di medan perang. Berapa ribu nyawa melayang, anak cacat seumur hidup, aktivitas ekonomi dan birokrasi menjadi kacau. Belum lagi kalau dugaan senjata kimia pembunuh massal yang mematikan itu benar-benar digunakan. High tech, low touch, rakyat menjadi sengsara.
Dunia yang katanya semakin modern tidak semakin damai dan nyaman dihuni. Maka, logis bila akhir-akhir ini bermunculan survei tentang indeks kebahagiaan hidup. Beberapa hasil penelitian menunjukkan hasil mengagetkan. Negara dan masyarakat yang secara ekonomi dan teknologi maju dan mapan, ternyata tingkat kebahagiaannya rendah.
Pemeriksaan di imigrasi airport internasional semakin ketat, takut kalau ada teroris menyusup naik pesawat terbang. Di Amerika Serikat (AS) orangtua selalu khawatir terhadap anak-anaknya sejak terjadi penembakan di sekolah oleh anak belasan tahun dengan senjata canggih.
Begitu pun di Eropa, masyarakat disusupi rasa khawatir dan waswas. Di Indonesia rasa khawatir dan waswas di kalangan orang tua juga semakin meningkat. Suasana jalan raya sangat tidak nyaman dan aman. Ancaman copet, jambret, narkoba dan pembunuhan menjadi bayangbayang menakutkan bagi orangtua.
Para pejabat tinggi sibuk dengan urusan negara dan politik yang tidak beres-beres, sementara anak-anaknya stres dengan ujian nasional dan lingkungan pergaulan yang menggelisahkan. Lalu apa solusi dan agenda besar orangtua dan pejabat pembuat kebijakan terhadap masalah ini? Esai ini mengajak kita semua untuk berpikir dan menyusun agenda aksi yang serius demi masa depan bangsa dan anak-cucu kita semua.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
(hyk)