Imbalan bunga pajak
A
A
A
IMBALAN bunga pajak (IBP) dilegalisasi UU KUP Tahun 1983 dan terakhir dalam UU KUP Tahun 2007. Intinya adalah kelebihan bayar pajak oleh wajib pajak (WP) harus dikembalikan negara disertai dengan bunga dan besaran bunga tergantung dari tenggang waktu pembayaran imbalan bunga pajak. Pasal 11 ayat (2) jo ayat (3) UU KUP menegaskan bahwa pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan paling lambat satu bulan sejak permohonan diterima oleh kantor pajak setempat.
Jika batas waktu tersebut terlampaui, pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Satu-satunya alasan pembentuk UU KUP untuk memberikan imbalan bunga pajak adalah untuk memelihara keseimbangan hak dan kewajiban pelayanan perpajakan kepada WP. Keseimbangan yang diharapkan pembentuk UU KUP dalam praktik tidak berhasil diciptakan bahkan sebaliknya, kontraproduktif dan telah merupakan masalah berkepanjangan setiap tahun.
Ini disebabkan perbedaan penghitungan nilai pajak WP baik oleh pemeriksa pajak (fiscus) maupun oleh WP itu sendiri dalam perhitungan pajak dan tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme internal yang berlaku berdasarkan UU KUP. UU KUP telah memberikan celah hukum banding melalui mekanisme peradilan pajak sebagai alternatif yang merupakan sarana ultimum remedium.
Tetapi, dalam praktik peradilan pajak justru 80% putusan peradilan pajak telah mengabulkan permohonan banding dan memerintahkan kewajiban kepada negara untuk melaksanakan pembayaran kepada WP. Di sinilah letak masalah krusial penegakan hukum bidang perpajakan melalui peradilan pajak, selaintidakefisiendanefektif karena waktu penyelesaian yang lama, juga tidak efektif dan optimal memasukkan pendapatan negara dari pajak, justru sebaliknya.
Putusan peradilan pajak yang tidak memihak tersebut sering ditafsirkan secara keliru telah terjadi kerugian keuangan negara dengan merujuk pada Pasal 36 A ayat (4) UU KUP yang menegaskan ancaman sanksi pada UU Tipikor (1999/2001), tetapi harus dipenuhi syarat unsur dengan sengaja (dolus malus).
Dalam konteks ini perlu diingatkan baik Dirjen Pajak maupun penyidik pajak bahwa terkait penyelenggara negara termasuk fiscus harus merujuk pada UU RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang merupakan satusatunya UU yang mengatur dan menegaskan definisi tentang kerugian negara/daerah bukan UU lain termasuk UU Tipikor (1999/2007).
Kerugian negara merujuk pada UU RI Nomor 1 Tahun 2004 yang dilakukan penyelenggara negara, termasuk oleh fiscus baik langsung maupun tidak langsung, disengaja atau tidak disengaja, cukup diselesaikan secara administratif (Bab XI). Jika terdapat unsur pidana, hanya BPK RI yang berwenang menindaklanjuti temuannya (bukan Dirjen Pajak). Merujuk pada UU Perbendaharaan Negara, penentuan indikasi pidana dalam perhitungan pajak merupakan wewenang BPK RI, bukan Dirjen Pajak.
Karena itu, koordinasi intensif kedua lembaga tersebut sangat penting dan relevan jika dikaitkan dengan praktik penyelesaian kerugian negara karena pajak yang keliru saat ini. Atas dasar kajian hukum tersebut, dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 36 A ayat (4) UU KUP yang telah mengkriminalisasi perbuatan fiscus sebagai tindak pidana korupsi adalah prematur dan berlebihan serta tidak sepatutnya karena bertentangan dengan UU Perbendaharaan tersebut.
Praduga bahwa setiap putusan peradilan pajak yang telah inkracht dan mengabulkan permohonan banding WP mutatis mutandis telah terjadi kerugian negara adalah keliru apalagi serta-merta diberlakukan UU Tipikor (1999/2001). UU Tipikor adalah UU Pidana khusus dan berfungsi sebagai lex specialis dan pidana penjara merupakan ultimum remedium, sedangkan UU Pajak merupakan UU administratif yang diperkuat sanksi pidana administratif sehingga denda administratif dan sanksi pidana administratif merupakan primum remedium.
Sumber masalah perpajakan khusus terkait UU Tipikor adalah disebabkan selain ketidakpahaman tentang tafsir hukum mengenai status kedua UU tersebut. Juga selain itu disebabkan pembentuk UU KUP tidak dapat membedakan perbuatan yang bersifat onrechtmatig dan onwetmatig dan pemeriksa pajak merangkap penyidik belum sepenuhnya memahami perbedaan perbuatan sengaja (dolus) dan kelalaian (culpa) dari sudut hukum pidana. Ini diperburuk oleh kualitas pengetahuan hukum fiscuspada umumnya yang sangat lemah sehingga sangat merugikan kepentingan hukum baik WP dan negara.
Ketentuan Pasal 36 A ayat (4) UU KUP tidak mempertimbangkan faktor psikologi iklim ekonomi dan perdagangan di Indonesia yang masih sangat memerlukan kebijakan hukum dengan tujuan restoratif yaitu pemulihan hak korban dan pelaku bukan penghukuman. Pemulihan hak korban tidak sertamerta berhasil jika perbuatan fiscus atau WP serta-merta dikriminalisasi sebagai tipikor karena tujuan keadilan restoratif adalah keseimbangan hak dan kewajiban subjek hukum perpajakan yang kondusif terhadap stabilitas aktivitas dunia usaha.
Politik hukum perpajakan nasional perlu meletakkan tujuan restoratif yang lebih utama dibandingkan tujuan retributif, kecuali untuk tax-fraud; dengan beberapa catatan antara lain harus didukung oleh profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas fiscus dan WP; tidak hanya salah satunya. Atas dasar hal tersebut, status hukum penyidik yang melekat pada fiscus perlu ditinjau kembali karena dalam praktik berdampak kontraproduktif daripada konstruktif, positif, dan konkret dalam upaya meningkatkan pemasukan negara dari sektor pajak.
Mekanisme penyelesaian administratif atas setiap perbedaan penghitungan pajak yang berpotensi sengketa pajak lebih utama diselesaikan melalui mekanisme lembaga eksaminasi pajak dan menempatkan peradilan pajak sebagai ultimum remedium. Solusi hukum masalah IBP adalah mengkaji kembali ketentuan IBP dan jika perlu dihapuskan saja karena dalam praktik telah menjadi bagian daripada masalah bukan solusi.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
Jika batas waktu tersebut terlampaui, pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Satu-satunya alasan pembentuk UU KUP untuk memberikan imbalan bunga pajak adalah untuk memelihara keseimbangan hak dan kewajiban pelayanan perpajakan kepada WP. Keseimbangan yang diharapkan pembentuk UU KUP dalam praktik tidak berhasil diciptakan bahkan sebaliknya, kontraproduktif dan telah merupakan masalah berkepanjangan setiap tahun.
Ini disebabkan perbedaan penghitungan nilai pajak WP baik oleh pemeriksa pajak (fiscus) maupun oleh WP itu sendiri dalam perhitungan pajak dan tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme internal yang berlaku berdasarkan UU KUP. UU KUP telah memberikan celah hukum banding melalui mekanisme peradilan pajak sebagai alternatif yang merupakan sarana ultimum remedium.
Tetapi, dalam praktik peradilan pajak justru 80% putusan peradilan pajak telah mengabulkan permohonan banding dan memerintahkan kewajiban kepada negara untuk melaksanakan pembayaran kepada WP. Di sinilah letak masalah krusial penegakan hukum bidang perpajakan melalui peradilan pajak, selaintidakefisiendanefektif karena waktu penyelesaian yang lama, juga tidak efektif dan optimal memasukkan pendapatan negara dari pajak, justru sebaliknya.
Putusan peradilan pajak yang tidak memihak tersebut sering ditafsirkan secara keliru telah terjadi kerugian keuangan negara dengan merujuk pada Pasal 36 A ayat (4) UU KUP yang menegaskan ancaman sanksi pada UU Tipikor (1999/2001), tetapi harus dipenuhi syarat unsur dengan sengaja (dolus malus).
Dalam konteks ini perlu diingatkan baik Dirjen Pajak maupun penyidik pajak bahwa terkait penyelenggara negara termasuk fiscus harus merujuk pada UU RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang merupakan satusatunya UU yang mengatur dan menegaskan definisi tentang kerugian negara/daerah bukan UU lain termasuk UU Tipikor (1999/2007).
Kerugian negara merujuk pada UU RI Nomor 1 Tahun 2004 yang dilakukan penyelenggara negara, termasuk oleh fiscus baik langsung maupun tidak langsung, disengaja atau tidak disengaja, cukup diselesaikan secara administratif (Bab XI). Jika terdapat unsur pidana, hanya BPK RI yang berwenang menindaklanjuti temuannya (bukan Dirjen Pajak). Merujuk pada UU Perbendaharaan Negara, penentuan indikasi pidana dalam perhitungan pajak merupakan wewenang BPK RI, bukan Dirjen Pajak.
Karena itu, koordinasi intensif kedua lembaga tersebut sangat penting dan relevan jika dikaitkan dengan praktik penyelesaian kerugian negara karena pajak yang keliru saat ini. Atas dasar kajian hukum tersebut, dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 36 A ayat (4) UU KUP yang telah mengkriminalisasi perbuatan fiscus sebagai tindak pidana korupsi adalah prematur dan berlebihan serta tidak sepatutnya karena bertentangan dengan UU Perbendaharaan tersebut.
Praduga bahwa setiap putusan peradilan pajak yang telah inkracht dan mengabulkan permohonan banding WP mutatis mutandis telah terjadi kerugian negara adalah keliru apalagi serta-merta diberlakukan UU Tipikor (1999/2001). UU Tipikor adalah UU Pidana khusus dan berfungsi sebagai lex specialis dan pidana penjara merupakan ultimum remedium, sedangkan UU Pajak merupakan UU administratif yang diperkuat sanksi pidana administratif sehingga denda administratif dan sanksi pidana administratif merupakan primum remedium.
Sumber masalah perpajakan khusus terkait UU Tipikor adalah disebabkan selain ketidakpahaman tentang tafsir hukum mengenai status kedua UU tersebut. Juga selain itu disebabkan pembentuk UU KUP tidak dapat membedakan perbuatan yang bersifat onrechtmatig dan onwetmatig dan pemeriksa pajak merangkap penyidik belum sepenuhnya memahami perbedaan perbuatan sengaja (dolus) dan kelalaian (culpa) dari sudut hukum pidana. Ini diperburuk oleh kualitas pengetahuan hukum fiscuspada umumnya yang sangat lemah sehingga sangat merugikan kepentingan hukum baik WP dan negara.
Ketentuan Pasal 36 A ayat (4) UU KUP tidak mempertimbangkan faktor psikologi iklim ekonomi dan perdagangan di Indonesia yang masih sangat memerlukan kebijakan hukum dengan tujuan restoratif yaitu pemulihan hak korban dan pelaku bukan penghukuman. Pemulihan hak korban tidak sertamerta berhasil jika perbuatan fiscus atau WP serta-merta dikriminalisasi sebagai tipikor karena tujuan keadilan restoratif adalah keseimbangan hak dan kewajiban subjek hukum perpajakan yang kondusif terhadap stabilitas aktivitas dunia usaha.
Politik hukum perpajakan nasional perlu meletakkan tujuan restoratif yang lebih utama dibandingkan tujuan retributif, kecuali untuk tax-fraud; dengan beberapa catatan antara lain harus didukung oleh profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas fiscus dan WP; tidak hanya salah satunya. Atas dasar hal tersebut, status hukum penyidik yang melekat pada fiscus perlu ditinjau kembali karena dalam praktik berdampak kontraproduktif daripada konstruktif, positif, dan konkret dalam upaya meningkatkan pemasukan negara dari sektor pajak.
Mekanisme penyelesaian administratif atas setiap perbedaan penghitungan pajak yang berpotensi sengketa pajak lebih utama diselesaikan melalui mekanisme lembaga eksaminasi pajak dan menempatkan peradilan pajak sebagai ultimum remedium. Solusi hukum masalah IBP adalah mengkaji kembali ketentuan IBP dan jika perlu dihapuskan saja karena dalam praktik telah menjadi bagian daripada masalah bukan solusi.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
(nfl)