Inflasi, pangan, dan gizi
A
A
A
SATU dari empat paket kebijakan ekonomi pemerintah, 23 Agustus lalu, terkait langsung dengan pengendalian inflasi. Untuk mengendalikan harga daging dan produk hortikultura, pemerintah mengubah mekanisme impor dari basis kuota ke harga.
Caranya, ketika harga daging dan hortikultura naik 15% di atas harga referensi pintu impor dibuka lebar-lebar. Pintu impor kembali ditutup saat harga sudah turun 10% dari harga referensi. Menurut pemerintah, kebijakan ini akan membuat harga pangan lebihterkendali. Ketikahargapangan terkendali inflasi tahunan diharapkan bisa dijinakkan sesuai target yakni 8,3%. Beberapa tahun terakhir ada kecenderungan inflasi lebih didorong oleh fenomena nonmoneter.
Dilihat dari sumbernya, inflasi di Indonesia saat ini lebih didorong oleh sektor pangan (volatile foods) dan barangbarang yang harganya diatur pemerintah (administered goods). Sementara inflasi inti relatif stabil. Pada saat inflasi total tahunan (year on year) Juli lalu mencapai 8,6%, inflasi inti bahkan masih stabil di tingkat 4,4%. Ciri lainnya, inflasi lebih disebabkan sisi penawaran ketimbang sisi permintaan. Ini mengindikasikan perlunya penanganan yang tepat dari sisi suplai (pangan).
Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan membuka lebarlebar pintu keran impor seperti yang dilakukan pemerintah saat ini. Perlu usaha ekstra meningkatkan produksi dan produktivitas pangan. Masalahnya, meningkatkan produksi dan produktivitas bukan pekerjaan mudah. Langkah itu pun tidak bisa dilakukan dengan cara instant, ad hoc, dan reaktif. Perlu kerja-kerja yang tekun dan bersinambungan.
Pemerintah juga harus mengerem syahwat politik untuk bisa segera melihat dan memamerkan hasil usahanya itu sebagai bagian kampanye (keberhasilan kepada) publik. Langkah meningkatkan produksi dan produktivitas tidak bisa segera dilihat dan dituai, bahkan mungkin dalam satu periode pemerintahan. Pokok soal ini yang membuka kecenderungan pemerintah mengambil jalan pintas: impor saja.
Cara-cara gampangan itu yang membuat Indonesia kian bergantung pada pangan impor. Tidak saja gula, daging, kedelai, dan jagung, tapi juga beras, garam, ikan, buah-buahan, dan aneka sayuran. Ketika harga aneka pangan di pasar dunia naik, harganya segera ditransmisikan ke dalam negeri. Demikian pula ketika nilai tukar rupiah jatuh seperti saat ini, serta-merta harga pangan terasa amat mahal. Bagi warga miskin, dampak keduanya, termasuk inflasi, amat berat.
Warga miskin yang 60-70% pendapatannya untuk pangan harus merealokasikan keranjang belanja mereka dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut. Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran. Pertama, dana untuk pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior menjadi pilihan.
Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Rendahnya kualitas asupan gizi memiliki dampak panjang, bukan hanya pada persoalan kesehatan, melainkan juga soal produktivitas dan kualitas sumber daya manusia. Anak balita, ibu hamil, dan orang lanjut usia atau lansia merupakan tiga kelompok yang paling rentan terhadap kekurangan gizi. Anak balita memiliki kebutuhan gizi yang jumlah dan jenisnya tidak bisa ditawar.
Jika asupan gizinya kurang, pertumbuhan mereka terganggu. Anak tumbuh menjadi pendek, kecerdasannya rendah, dan rentan menderita penyakit degeneratif saat mereka dewasa. Dalam kondisi harga pangan normal, sekitar 35,6% anak balita pada 2010 bertubuh pendek. Data Badan Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF) menyebutkan, 36% atau satu dari tiga anak balita menderita kurang gizi kronis pada 2012.
Indonesia memiliki jumlah anak dengan pertumbuhan terhambat kelima terbanyak di dunia atau 7,8 juta anak. Kekurangan gizi tersebut berakibat permanen pada fisik dan kecerdasan. Ini semua seperti lingkaran setan yang sulit diputus. Karena miskin, asupan gizi kurang memadai. Tidak hanya pertumbuhan yang terganggu, IQ-nya pun jongkok. Output-nya, produktivitas rendah, sakit-sakitan, dan terjerat dalam kubangan kemiskinan.
Bagi ibu hamil, kekurangan gizi bakal mengganggu pertumbuhan janin, meningkatkan risiko gangguan saraf pada bayi, bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2,5 kg, hingga risiko persalinan. Dalam kondisi harga pangan normal, pada 2011 jumlah kematian ibu melahirkan mencapai 228 orang per 100.000 kelahiran hidup. Sulit membayangkan berapa tingkat kematian ibu, berapa jumlah yang kekurangan zat besi dan asam folat apabila asupan gizi mereka kurang akibat rendahnya akses terhadap pangan.
Adapun orang lansia seringkali menjadi kelompok yang paling terabaikan hak-haknya dalam pemenuhan gizi. Seiring bertambahnya usia, selera makan lansia umumnya menurun. Sebagian lansia bahkan mengalami demensia yang membuat mereka tak ingat apakah sudah makan atau belum. Dua faktor itu membuat mereka terancam kekurangan asupan gizi. Apabila kita bangga karena memiliki bonus demografi yang akan membawa Indonesia jadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh tahun 2030, itu mensyaratkan sumber daya manusia unggul.
Sumber manusia unggul mustahil dicetak jika kurang gizi. Presiden SBY menyatakan bahwa “tidak mudah menstabilkan harga pangan” karena harga pangan dilepas pada mekanisme pasar bebas. Selama diserahkan pada pasar dan bergantung impor, gejolak harga akan terus terjadi. Sebagian masyarakat tetap kesulitan mengakses pangan bergizi. Dampak merosotnya kualitas asupan gizi tidak segera terlihat.
Karena itu, pemerintah wajib memastikan anak balita, ibu hamil, dan lansia memiliki akses pada gizi yang baik dan cukup demi kemakmuran Indonesia masa depan. Caranya, negara harus hadir sebagai agen stabilisasi pangan seperti amanat UU No 18/2012 tentang Pangan. Di UU itu stabilisasi pasokan dan harga pangan, pengelolaan cadangan, dan distribusi pangan pokok jadi tugas pemerintah. Ada tiga langkah yang bisa dilakukan. Pertama, menentukan komoditas pangan pokok.
Bisa dipakai tiga kriteria: besar-kecil peran komoditas itu bagi perekonomian, sumbangan pada inflasi, dan seberapa besar menyedot belanja rumah tangga. Soal jumlah komoditas, barangkali cukup 4-5. Kedua, instrumen harus komplet, mulai dari harga, cadangan, pengendalian ekspor-impor, serta jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, sistem distribusi harus lancar dan tak ada pelaku dominan yang bisa mengeksploitasi pasar.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penggiat Asosiai Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”
Caranya, ketika harga daging dan hortikultura naik 15% di atas harga referensi pintu impor dibuka lebar-lebar. Pintu impor kembali ditutup saat harga sudah turun 10% dari harga referensi. Menurut pemerintah, kebijakan ini akan membuat harga pangan lebihterkendali. Ketikahargapangan terkendali inflasi tahunan diharapkan bisa dijinakkan sesuai target yakni 8,3%. Beberapa tahun terakhir ada kecenderungan inflasi lebih didorong oleh fenomena nonmoneter.
Dilihat dari sumbernya, inflasi di Indonesia saat ini lebih didorong oleh sektor pangan (volatile foods) dan barangbarang yang harganya diatur pemerintah (administered goods). Sementara inflasi inti relatif stabil. Pada saat inflasi total tahunan (year on year) Juli lalu mencapai 8,6%, inflasi inti bahkan masih stabil di tingkat 4,4%. Ciri lainnya, inflasi lebih disebabkan sisi penawaran ketimbang sisi permintaan. Ini mengindikasikan perlunya penanganan yang tepat dari sisi suplai (pangan).
Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan membuka lebarlebar pintu keran impor seperti yang dilakukan pemerintah saat ini. Perlu usaha ekstra meningkatkan produksi dan produktivitas pangan. Masalahnya, meningkatkan produksi dan produktivitas bukan pekerjaan mudah. Langkah itu pun tidak bisa dilakukan dengan cara instant, ad hoc, dan reaktif. Perlu kerja-kerja yang tekun dan bersinambungan.
Pemerintah juga harus mengerem syahwat politik untuk bisa segera melihat dan memamerkan hasil usahanya itu sebagai bagian kampanye (keberhasilan kepada) publik. Langkah meningkatkan produksi dan produktivitas tidak bisa segera dilihat dan dituai, bahkan mungkin dalam satu periode pemerintahan. Pokok soal ini yang membuka kecenderungan pemerintah mengambil jalan pintas: impor saja.
Cara-cara gampangan itu yang membuat Indonesia kian bergantung pada pangan impor. Tidak saja gula, daging, kedelai, dan jagung, tapi juga beras, garam, ikan, buah-buahan, dan aneka sayuran. Ketika harga aneka pangan di pasar dunia naik, harganya segera ditransmisikan ke dalam negeri. Demikian pula ketika nilai tukar rupiah jatuh seperti saat ini, serta-merta harga pangan terasa amat mahal. Bagi warga miskin, dampak keduanya, termasuk inflasi, amat berat.
Warga miskin yang 60-70% pendapatannya untuk pangan harus merealokasikan keranjang belanja mereka dengan menekan pos nonpangan guna mengamankan perut. Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran. Pertama, dana untuk pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior menjadi pilihan.
Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Rendahnya kualitas asupan gizi memiliki dampak panjang, bukan hanya pada persoalan kesehatan, melainkan juga soal produktivitas dan kualitas sumber daya manusia. Anak balita, ibu hamil, dan orang lanjut usia atau lansia merupakan tiga kelompok yang paling rentan terhadap kekurangan gizi. Anak balita memiliki kebutuhan gizi yang jumlah dan jenisnya tidak bisa ditawar.
Jika asupan gizinya kurang, pertumbuhan mereka terganggu. Anak tumbuh menjadi pendek, kecerdasannya rendah, dan rentan menderita penyakit degeneratif saat mereka dewasa. Dalam kondisi harga pangan normal, sekitar 35,6% anak balita pada 2010 bertubuh pendek. Data Badan Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF) menyebutkan, 36% atau satu dari tiga anak balita menderita kurang gizi kronis pada 2012.
Indonesia memiliki jumlah anak dengan pertumbuhan terhambat kelima terbanyak di dunia atau 7,8 juta anak. Kekurangan gizi tersebut berakibat permanen pada fisik dan kecerdasan. Ini semua seperti lingkaran setan yang sulit diputus. Karena miskin, asupan gizi kurang memadai. Tidak hanya pertumbuhan yang terganggu, IQ-nya pun jongkok. Output-nya, produktivitas rendah, sakit-sakitan, dan terjerat dalam kubangan kemiskinan.
Bagi ibu hamil, kekurangan gizi bakal mengganggu pertumbuhan janin, meningkatkan risiko gangguan saraf pada bayi, bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2,5 kg, hingga risiko persalinan. Dalam kondisi harga pangan normal, pada 2011 jumlah kematian ibu melahirkan mencapai 228 orang per 100.000 kelahiran hidup. Sulit membayangkan berapa tingkat kematian ibu, berapa jumlah yang kekurangan zat besi dan asam folat apabila asupan gizi mereka kurang akibat rendahnya akses terhadap pangan.
Adapun orang lansia seringkali menjadi kelompok yang paling terabaikan hak-haknya dalam pemenuhan gizi. Seiring bertambahnya usia, selera makan lansia umumnya menurun. Sebagian lansia bahkan mengalami demensia yang membuat mereka tak ingat apakah sudah makan atau belum. Dua faktor itu membuat mereka terancam kekurangan asupan gizi. Apabila kita bangga karena memiliki bonus demografi yang akan membawa Indonesia jadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh tahun 2030, itu mensyaratkan sumber daya manusia unggul.
Sumber manusia unggul mustahil dicetak jika kurang gizi. Presiden SBY menyatakan bahwa “tidak mudah menstabilkan harga pangan” karena harga pangan dilepas pada mekanisme pasar bebas. Selama diserahkan pada pasar dan bergantung impor, gejolak harga akan terus terjadi. Sebagian masyarakat tetap kesulitan mengakses pangan bergizi. Dampak merosotnya kualitas asupan gizi tidak segera terlihat.
Karena itu, pemerintah wajib memastikan anak balita, ibu hamil, dan lansia memiliki akses pada gizi yang baik dan cukup demi kemakmuran Indonesia masa depan. Caranya, negara harus hadir sebagai agen stabilisasi pangan seperti amanat UU No 18/2012 tentang Pangan. Di UU itu stabilisasi pasokan dan harga pangan, pengelolaan cadangan, dan distribusi pangan pokok jadi tugas pemerintah. Ada tiga langkah yang bisa dilakukan. Pertama, menentukan komoditas pangan pokok.
Bisa dipakai tiga kriteria: besar-kecil peran komoditas itu bagi perekonomian, sumbangan pada inflasi, dan seberapa besar menyedot belanja rumah tangga. Soal jumlah komoditas, barangkali cukup 4-5. Kedua, instrumen harus komplet, mulai dari harga, cadangan, pengendalian ekspor-impor, serta jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, sistem distribusi harus lancar dan tak ada pelaku dominan yang bisa mengeksploitasi pasar.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penggiat Asosiai Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”
(nfl)