Nasib demokrasi prosedural

Kamis, 15 Agustus 2013 - 09:14 WIB
Nasib demokrasi prosedural
Nasib demokrasi prosedural
A A A
PEMILIHAN umum untuk memilih para calon anggota legislatif (pileg) akan kembali digelar pada 9 April 2014. Tapi, tahap penetapan daftar calon sementara (DCS) sudah dimulai sejak beberapa bulan silam untuk kemudian ditetapkan menjadi daftar calon tetap (DCT) pada 22 Agustus 2013.

Sebagai pengamat politik, saya merasa cemas membayangkan bagaimana hasil dari pesta demokrasi ini. Meski demokrasi Indonesia mengalami perkembangan pesat pasca-Soeharto, tetap tak luput dari praktik ”politik uang”. Ini pernah diakui oleh Poppy Dharsono, mantan peragawati yang kini menjadi politikus DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dari Provinsi Jawa Tengah.

Penuturannya (baca “Demokrasi Biaya Tinggi”, Koran Jakarta, 27/4/2010) niscaya membuat kita miris sekaligus pesimistis menatap masa depan demokrasi Indonesia. Betapa tidak, Poppy yang relatif sudah terkenal saja masih “dimintai” uang sekitar lima miliar rupiah untuk bisa menjadi calon kepala daerah yang didukung satu partai. Misalkan partai pendukungnya ada tiga, apakah jumlah uang yang harus “disetor” Poppy otomatis menjadi tiga kali lipat besarnya? Itu pun baru ongkos untuk bisa meraih tiket pencalonan.

Jika Poppy jadi maju, miliaran rupiah lagi harus disiapkan untuk dana kampanye dan berbagai kebutuhan lainnya. Luar biasa! Sebesar itukah biaya yang harus dikeluarkan seseorang yang bermimpi menjadi pemimpin? Kalau benar begitu, bukankah berarti demokrasi prosedural dan hak politik untuk dipilih hanya berlaku bagi orang-orang yang kaya raya saja? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tak kaya raya, namun berkualitas, berintegritas, dan terpanggil untuk menjadi pemimpin? Apakah hak politik mereka untuk dipilih diajangdemokrasiproseduralhanya boleh diimpikan, tapi tak bisa dinikmati lantaran tak punya modal?

Mungkin benar, demokrasi selalu memunculkan pertanyaan bernada khawatir. Itu sebabnya, meski sistem ini telah teruji sebagai yang paling unggul di antara sistem-sistem politik lain yang pernah diterapkan selama ini, tetap saja penerimaan orang terhadapnya tak pernah betulbetul bulat. Demokrasi yang liarlah, yang boros dan berteletelelah, danyangsatuini: yangtak imun dari praktik politik uang. Inilah pesimisme kita menatap masa depan demokrasi Indonesia.

Sistem, struktur, prosedur, dan mekanisme demokrasi memang telah mengalami banyak kemajuan lantaran direformasi terusmenerus sejak terpinggirnya Soeharto dari pentas politik nasional pada 21 Mei 1998. Dalam konteks ini kadar demokrasi Indonesia bahkan telah ”melebihi” Amerika Serikat (AS). Di AS, negara yang dijuluki kampiun demokrasi itu, rakyat tidak memilih calon presidennya secara langsung one man one vote. Di sana ada tahapan kedua setelah population votes yakni electoral votes. Para electors inilah yang berhak memilih calon presiden.

Sedangkan di Indonesia, sejak 2004, rakyat sudah memilih langsung calon presiden dan wakil presiden yang dijagokannya. Namun, dalam hal praktik politik, rapor Indonesia dipenuhi warna merah. Di satu sisi pemilu-pemilu yang pernah terselenggara tak pernah sepi dari praktik politik uang (menurut temuan ICW, jumlahnya sudah mencapai ribuan kasus), di sisi lain juga tak jarang diwarnai dengan bentrokan fisik dan konflik berdimensi primordialisme (contoh kasus Pilkada DKI Jakarta 2012).

Kembali pada praktik politik uang, secara nonformal saya telah mewawancarai beberapa bakal caleg yang saya kenal secara personal. Hasilnya, hanya dua orang dari partai yang sama yang mengatakan mereka tak dimintai uang sama sekali. Yang lainnya, dari partai-partai yang lain, dimintai uang dengan jumlah yang berbeda-beda: di tingkat DPR jumlahnya bisa mencapai ratusan juta, di tingkat DPRD tingkat I dan II jumlah tersebut otomatis berkurang.

Tapi, itu pun belum cukup. Di beberapa partai bahkan para bakal caleg ini masih harus berjuang keras agar posisi sementara mereka aman. Caranya? Sering-seringlah datang ke kantor-kantor pengurus partai itu, entah di tingkat daerah, cabang, atau ranting. Tentu saja bukan datang dengan tangan kosong, tapi harus bawa ”oleh-oleh”. Nah, kalau sudah aman sampai penetapan DCT nanti, selanjutnya perjuangan memasuki tahapan kampanye terbuka.

Di tahapan ini (bahkan sebelum ini pun sudah ada yang melakukan) para caleg harus menyosialisasikan profilnya serta visi-misinya melalui alat-alat kampanye, mulai dari kartu nama, brosur, poster, spanduk, banner, baliho, dan lainnya. Yang punya uang banyak ada juga yang pasang iklan di radio, televisi, dan di billboard raksasa yang terpampang di jalan-jalan raya.

Bentuk-bentuk alat kampanye lainnya tentu masih banyak. Dalam event tertentu misalnya ada yang menyulap kemasan air mineralbergambarwajahnya dan tentu saja plus nomornya sebagai caleg. Ada yang berkunjung ke sana-sini seraya bagi-bagi sembako dan lainnya. Pendeknya, semua ini memerlukan biaya besar: puluhan juta, ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Itu sajakah? Oh, masih ada lagi.

Para caleg itu juga harus siapsiap kalau nanti dimintai uang dari orang-orang ini: 1) yang mengaku siap mendukung dan menggalang suara; 2) yang mengaku siap menjadi saksi di TPS (tempat pemungutan suara); 3) oknum panitia pelaksana pileg di berbagai aras, baik kelurahan, kecamatan, dan seterusnya.

Di luar itu tentu saja setiap caleg harus mengeluarkan ongkos untuk konsumsi, akomodasi, dan transportasi bagi dirinya sendiri. Caleg yang mendapat daerah pemilihan (dapil) di kota yang sama dengan tempat domisilinya otomatis akan mengeluarkan ongkos lebih murah. Sebaliknya, yang dapilnya di daerah lain makin jauh dapilnya tentu makin besar ongkosnya.

Begitulah, bisa dibayangkan dari sekarang bahwa biaya besar yang dikeluarkan para caleg ini akan berkorelasi dengan kemungkinan mereka menjadi koruptor. Ini sangat logis karena mereka akan selalu berpikir kapan biaya-biaya yang sudah dikeluarkan itu dapat kembali. Dengan hitung-hitungan mudah, ratusan orang di DPR, ribuan orang di DPRD, dan 132 orang di DPD niscaya menjadi politisi yang berharap kelak dapat ‘reimbursement’ politik yang besarnya minimal sama-bahkan kalau bisa lebih besar.

“Balik modal”, itu istilahnya. Kalau bisa bahkan untung. Inilah sisi buram demokrasi prosedural Indonesia yang hingga kini masih sarat kalkulasi politik uang. Sebagai warga negara yang baik, demi mencegah Indonesia makin terpuruk nanti, siap-siaplah kita mengawasi para politisi periode 2014-2019 itu untuk kemudian melaporkan dugaan atas praktik korupsi mereka ke KPK, ICW, atau ke institusi-institusi terkait lainnya.

VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0749 seconds (0.1#10.140)