Penegakan keadilan, tugas fitrah
A
A
A
ORANG-orang Islam yang berpuasa Ramadan dengan baik yakni menjalankan puasanya dengan iman dan ihtisaab tentu berhak menikmati kegembiraan dan segala anugerah yang melekat Idul Fitri, yakni, kembali ke fitrah.
Manusia yang kembali ke fitrah adalah manusia yang kembali ke sifat keserbabaikan sebagai hamba Allah yang pada awal penciptaannya memang diciptakan sebagai makhluk yang serba baik dengan landasan iman tauhid yang sangat kuat. Ketika di alam arwah, sebelum masuk ke dunia ini sebagai alam syahadah, manusia sudah mempersaksikan (ber-syahadah) tentang keesaan dan kekuasaan Allah.
Ketika Allah menanyakan kepada manusia di alam arwah itu, ”Bukankah saya ini Tuhan kalian?”, manusia dengan mantap menjawabnya, ”Ya, kami bersaksi bahwa engkau adalah Tuhan kami”. ”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi (tulang belakang) mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS. Al- A’raf: 172).
Meski lahir dalam keadaan fitrah tetapi dalam perjalanan hidupnya, manusia banyak yang terlupa sehingga melakukan hal-hal yang tidak baik yang menyebabkan fitrahnya ternoda. Maka itu, diperlukan langkah-langkah pembersihan agar manusia bisa menjadi suci kembali (Idul Fitri) Ibadah puasa yang dilakukan dengan iman dan kesungguhan menjadi pintu pembersihan dosa sehingga manusia menjadi suci kembali.
Kesucian kembali ini akan menjadi sempurna manakala diikuti dengan saling memaafkan antara sesama manusia. Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dosa-dosa antarmanusia itu takkan terhapus bahkan bisa menyebabkan manusia bangkrut pada hari pembalasan kalau tidak dimintakan maaf kepada yang bersangkutan. Sebenarnya secara syar’i perintah saling memaafkan harus dilakukan kapan saja manusia menyadari telah melakukan kesalahan. Tetapi umat Islam di Indonesia telah melahirkan budaya Islam yang sangat indah yakni mengadakan Lebaran atau halal bihalal pada bulan Syawal untuk saling maaf-maafan.
Ada dua hal yang perlu diingat. Pertama, puasa yang makbul dan mabrur yang bisa membawa kembali ke fitrah itu selalu ditandai oleh keinginan yang bersangkutan untuk selalu berbuat baik dan lebih baik setelah bulan puasa. Kedua, keberlanjutan amal kebaikan itu tidak hanya tertuju pada ibadah-ibadah mahdah (ritual) tetapi juga diwujudkan ibadah sosial untuk mengangkat martabat manusia.
Di sebagian kalangan kaum muslimin ada pandangan sekuler yang salah karena melihat bahwa ibadah itu hanya yang mahdah saja. Padahal menurut Islam, ibadah ritual itu tak terpisahkan dari ibadah sosial. Di dalam Alquran surat al- Ma’un, misalnya, seorang muslim dianggap sebagai pendusta agama (yukadzdzibu biddiin) jika tidak peduli pada kaum dhuafa (lemah papa). Adalah pendusta agama mereka yang mengaku Islam tetapi tak peduli pada dhaif-nya anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Adalah pendusta agama dan akan dijebloskan ke neraka (wayl) orang Islam yang melaksanakan salat tetapi tidak menegakkan salat yakni mereka yang lalai dalam salatnya. Lalai dalam salat, antara lain, diartikan bahwa salat hanya dilakukan sebagai ibadah ritual tanpa diikuti ibadah sosial untuk membangun kesejahteraan masyarakat setelah selesai mengucapkan salam saat menutup salat.
Saat mengakhiri salat dengan salam dan kita menoleh ke kanan dan ke kiri itu harus dimaknai bahwa setelah selesai dan di luar ritual salat kita akan memperhatikan masyarakat di kanan kiri kita agar menjadi berdaya dan maju. Maka itu kalau kita ingin ibadah puasa kita mabrur atau berlanjut dengan kebaikan-kebaikan marilah kita bergiat membangun masyarakat, mengentaskan kaum dhuafayang sekarang menjadi problem di negara kita.
Baik menggunakan standar Bank Dunia yang menyebut batas kemiskinan itu adalah pendapatan minimal sebesar USD2 per hari maupun menggunakan standar BPS saat ini di negara kita masih terdapat puluhan juta penduduk yang tergolong miskin. Kita mempunyai kewajiban untuk menolong mereka agar menjadi berdaya baik secara ekonomi maupun secara sosial dan politik.
Selain harus rela mengeluarkan sebagian dari rezeki yang kita dapatkan untuk keperluan kaum dhuafa, kita juga harus berjuang untuk menegakkan keadilan melalui perjuangan struktural. Gerakan struktural yang, antara lain, melakukan perjuangan melalui struktur-struktur kekuasaan merupakan hal yang tak kalah penting dibandingkan dengan bantuan material-finansial secara tunai dan langsung.
Perjuangan melalui jalur struktural ini dapat kita lakukan melalui keikutsertaan kita dalam menyehatkan kehidupan politik dan pemerintahan agar lahir kebijakan-kebijakan negara yang berpihak terhadap kaum dhuafa. Yang sedang menduduki jabatan publik harus membuat kebijakan-kebijakan yang berkeadilan sosial dan tidak koruptif. Yang berada di luar jabatan-jabatan publik dapat bekerja membimbing masyarakat untuk maju dan memperoleh hak-haknya yang dijamin oleh negara melalui konstitusi.
Adalah merupakan amal baik manakala kita ikut berjuang membangun pemerintahan yang bersih, menegakkan konstitusi dan hukum dengan cara berkeadilan. Menurut agama, menegakkan keadilan berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya yang tepat atau memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan haknya masing-masing.
Oleh sebab itu tugas menegakkan keadilan adalah tugas setiap orang dalam menjamin terpenuhi dan tidak terlanggarnya hak-hak orang lain, baik dari pejabat publik terhadap masyarakat dan perseorangan maupun dari perseorangan terhadap perseorangan lainnya. Haruslah diingat bahwa Allah memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan di antara manusia. Perintah Allah tentang keadilan ini bersifat inklusif, artinya, harus ditegakkan di antara manusia dan bukan diutamakan di antara teman-teman yang seagama saja.
Allah mengingatkan bahwa ”Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil”. Artinya, kita tak boleh bersikap tidak adil terhadap musuh kita sekali pun. Ini bisa diartikan juga ”Janganlah kecintaanmu terhadap orang atau kelompokmu menyebabkan kamu berlaku tidak adil” sehingga kamu selalu membela kawan secara membabi buta padahal kita tahu bahwa kawan sendiri itu salah.
Terkait ”keadilan inklusif” ini ada keharusan bagi kita untuk selalu toleran terhadap perbedaan. Janganlah karena perbedaan ikatan primordial (agama, suku, ras, antar golongan, kedaerahan, bahasa) kita menjadi tidak adil, apalagi kemudian ingin memaksakan agar orang lain berkeyakinan sama dengan keyakinan kita. Perbedaan itu adalah bagian dari fitrah umat manusia yang sengaja diciptakan sendiri oleh Allah.
Akhir puasa dan Idul Fitri kita saat ini berada di bulan Agustus yang menurut sejarah merupakan bulan lahirnya Negara Republik Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1945 ternyata bertepatan dengan tanggal 9 Ramadan 1364 H. Ada baiknya kita mengambil hikmah bertemunya bulan Agustus dengan bulan Ramadan tahun ini dengan memperkuat semangat menegakkan latar belakang dan tujuan kemerdekaan yang diproklamasikan pada bulan Agustus dan bulan Ramadan itu.
Salah satu alasan utama kita membangun negara merdeka adalah untuk menjaga martabat kita sebagai manusia dan membuka jalan bagi ditegakkannya keadilan. Alinea I Pembukaan UUD 1945 menyatakan ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri keadilan”. Jadi, kita membangun nasionalisme Indonesia adalah untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia serta melawan ketidakadilan untuk memanusiakan manusia Indonesia.
Pada masa lalu nasionalisme Indonesia itu dilakukan dengan melakukan perang fisik melawan kolonialisme atau mengusir penjajah karena saat itu pelanggaran atas harkat kemanusiaan kita dan ketidakadilan itu dilakukan melalui penjajahan. Haruslah diingat bahwa rasa nasionalisme kita untuk era sekarang tidak lagi perludi lakukan dengan perang fisik, mengangkat bedil dan bambu runcing melawan penjajahan dari negara dan bangsa lain karena musuh seperti itusekarangtidakadalagi diIndonesia.
Musuh kita sekarang ini adalah ketidakadilan, korupsi, anmafiahukum yang merajalela diantara kita sendiri. Ketidakadilan itulah musuh nasionalisme kita sekarang. Ketidakadilan itu bertentangan dengan makna kemerdekaan dan mengancam menjadi lawan nasionalisme kita. Maka itu, basis nasionalisme yang harus kita bangun pada saat ini adalah perlawanan terhadap ketidakadilan.
Dalam kaitan ini harus diingat bahwa hancurnya bangsabangsa di dunia selalu terjadi karena ketidakadilan, yakni kalau ada orang besar dan kuat bersalah dibiarkan, tetapi kalau ada orang kecil melakukan kesalahan langsung dihukum. Dalam riwayat yang terkait permintaan keluarga Bani Mahzum untuk membebaskan anggota keluarganya dari hukuman padahal anggota keluarga itu benar-benar bersalah.
Nabi bersabda, ”Ingatlah bahwa kelakuan bangsa-bangsa terdahulu (yang hancur) itu kalau ada orang besar melakukan kesalahan dibiarkan saja, tetapi kalau ada dhuafa (orang kecil) bersalah langsung dihukum. Maka demi Allah, jika Fathimah anakku mencuri, akan kupotong juga kedua tangannya.
Sikap Nabi bahwa ketidakadilan bisa menghancurkan negara dan bangsa diperkuat oleh Sayyidina Ali ibn Abi Thalib yang menyatakan, ”Abadilah suatu negara yang diperintah dengan adil meski pemerintahnya kafir, hancurlah suatu negara yang diperintah dengan tidak adil (dzalim) meski pemerintahnya Islam.”
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
Manusia yang kembali ke fitrah adalah manusia yang kembali ke sifat keserbabaikan sebagai hamba Allah yang pada awal penciptaannya memang diciptakan sebagai makhluk yang serba baik dengan landasan iman tauhid yang sangat kuat. Ketika di alam arwah, sebelum masuk ke dunia ini sebagai alam syahadah, manusia sudah mempersaksikan (ber-syahadah) tentang keesaan dan kekuasaan Allah.
Ketika Allah menanyakan kepada manusia di alam arwah itu, ”Bukankah saya ini Tuhan kalian?”, manusia dengan mantap menjawabnya, ”Ya, kami bersaksi bahwa engkau adalah Tuhan kami”. ”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi (tulang belakang) mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS. Al- A’raf: 172).
Meski lahir dalam keadaan fitrah tetapi dalam perjalanan hidupnya, manusia banyak yang terlupa sehingga melakukan hal-hal yang tidak baik yang menyebabkan fitrahnya ternoda. Maka itu, diperlukan langkah-langkah pembersihan agar manusia bisa menjadi suci kembali (Idul Fitri) Ibadah puasa yang dilakukan dengan iman dan kesungguhan menjadi pintu pembersihan dosa sehingga manusia menjadi suci kembali.
Kesucian kembali ini akan menjadi sempurna manakala diikuti dengan saling memaafkan antara sesama manusia. Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dosa-dosa antarmanusia itu takkan terhapus bahkan bisa menyebabkan manusia bangkrut pada hari pembalasan kalau tidak dimintakan maaf kepada yang bersangkutan. Sebenarnya secara syar’i perintah saling memaafkan harus dilakukan kapan saja manusia menyadari telah melakukan kesalahan. Tetapi umat Islam di Indonesia telah melahirkan budaya Islam yang sangat indah yakni mengadakan Lebaran atau halal bihalal pada bulan Syawal untuk saling maaf-maafan.
Ada dua hal yang perlu diingat. Pertama, puasa yang makbul dan mabrur yang bisa membawa kembali ke fitrah itu selalu ditandai oleh keinginan yang bersangkutan untuk selalu berbuat baik dan lebih baik setelah bulan puasa. Kedua, keberlanjutan amal kebaikan itu tidak hanya tertuju pada ibadah-ibadah mahdah (ritual) tetapi juga diwujudkan ibadah sosial untuk mengangkat martabat manusia.
Di sebagian kalangan kaum muslimin ada pandangan sekuler yang salah karena melihat bahwa ibadah itu hanya yang mahdah saja. Padahal menurut Islam, ibadah ritual itu tak terpisahkan dari ibadah sosial. Di dalam Alquran surat al- Ma’un, misalnya, seorang muslim dianggap sebagai pendusta agama (yukadzdzibu biddiin) jika tidak peduli pada kaum dhuafa (lemah papa). Adalah pendusta agama mereka yang mengaku Islam tetapi tak peduli pada dhaif-nya anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Adalah pendusta agama dan akan dijebloskan ke neraka (wayl) orang Islam yang melaksanakan salat tetapi tidak menegakkan salat yakni mereka yang lalai dalam salatnya. Lalai dalam salat, antara lain, diartikan bahwa salat hanya dilakukan sebagai ibadah ritual tanpa diikuti ibadah sosial untuk membangun kesejahteraan masyarakat setelah selesai mengucapkan salam saat menutup salat.
Saat mengakhiri salat dengan salam dan kita menoleh ke kanan dan ke kiri itu harus dimaknai bahwa setelah selesai dan di luar ritual salat kita akan memperhatikan masyarakat di kanan kiri kita agar menjadi berdaya dan maju. Maka itu kalau kita ingin ibadah puasa kita mabrur atau berlanjut dengan kebaikan-kebaikan marilah kita bergiat membangun masyarakat, mengentaskan kaum dhuafayang sekarang menjadi problem di negara kita.
Baik menggunakan standar Bank Dunia yang menyebut batas kemiskinan itu adalah pendapatan minimal sebesar USD2 per hari maupun menggunakan standar BPS saat ini di negara kita masih terdapat puluhan juta penduduk yang tergolong miskin. Kita mempunyai kewajiban untuk menolong mereka agar menjadi berdaya baik secara ekonomi maupun secara sosial dan politik.
Selain harus rela mengeluarkan sebagian dari rezeki yang kita dapatkan untuk keperluan kaum dhuafa, kita juga harus berjuang untuk menegakkan keadilan melalui perjuangan struktural. Gerakan struktural yang, antara lain, melakukan perjuangan melalui struktur-struktur kekuasaan merupakan hal yang tak kalah penting dibandingkan dengan bantuan material-finansial secara tunai dan langsung.
Perjuangan melalui jalur struktural ini dapat kita lakukan melalui keikutsertaan kita dalam menyehatkan kehidupan politik dan pemerintahan agar lahir kebijakan-kebijakan negara yang berpihak terhadap kaum dhuafa. Yang sedang menduduki jabatan publik harus membuat kebijakan-kebijakan yang berkeadilan sosial dan tidak koruptif. Yang berada di luar jabatan-jabatan publik dapat bekerja membimbing masyarakat untuk maju dan memperoleh hak-haknya yang dijamin oleh negara melalui konstitusi.
Adalah merupakan amal baik manakala kita ikut berjuang membangun pemerintahan yang bersih, menegakkan konstitusi dan hukum dengan cara berkeadilan. Menurut agama, menegakkan keadilan berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya yang tepat atau memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan haknya masing-masing.
Oleh sebab itu tugas menegakkan keadilan adalah tugas setiap orang dalam menjamin terpenuhi dan tidak terlanggarnya hak-hak orang lain, baik dari pejabat publik terhadap masyarakat dan perseorangan maupun dari perseorangan terhadap perseorangan lainnya. Haruslah diingat bahwa Allah memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan di antara manusia. Perintah Allah tentang keadilan ini bersifat inklusif, artinya, harus ditegakkan di antara manusia dan bukan diutamakan di antara teman-teman yang seagama saja.
Allah mengingatkan bahwa ”Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu berlaku tidak adil”. Artinya, kita tak boleh bersikap tidak adil terhadap musuh kita sekali pun. Ini bisa diartikan juga ”Janganlah kecintaanmu terhadap orang atau kelompokmu menyebabkan kamu berlaku tidak adil” sehingga kamu selalu membela kawan secara membabi buta padahal kita tahu bahwa kawan sendiri itu salah.
Terkait ”keadilan inklusif” ini ada keharusan bagi kita untuk selalu toleran terhadap perbedaan. Janganlah karena perbedaan ikatan primordial (agama, suku, ras, antar golongan, kedaerahan, bahasa) kita menjadi tidak adil, apalagi kemudian ingin memaksakan agar orang lain berkeyakinan sama dengan keyakinan kita. Perbedaan itu adalah bagian dari fitrah umat manusia yang sengaja diciptakan sendiri oleh Allah.
Akhir puasa dan Idul Fitri kita saat ini berada di bulan Agustus yang menurut sejarah merupakan bulan lahirnya Negara Republik Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1945 ternyata bertepatan dengan tanggal 9 Ramadan 1364 H. Ada baiknya kita mengambil hikmah bertemunya bulan Agustus dengan bulan Ramadan tahun ini dengan memperkuat semangat menegakkan latar belakang dan tujuan kemerdekaan yang diproklamasikan pada bulan Agustus dan bulan Ramadan itu.
Salah satu alasan utama kita membangun negara merdeka adalah untuk menjaga martabat kita sebagai manusia dan membuka jalan bagi ditegakkannya keadilan. Alinea I Pembukaan UUD 1945 menyatakan ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusian dan peri keadilan”. Jadi, kita membangun nasionalisme Indonesia adalah untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia serta melawan ketidakadilan untuk memanusiakan manusia Indonesia.
Pada masa lalu nasionalisme Indonesia itu dilakukan dengan melakukan perang fisik melawan kolonialisme atau mengusir penjajah karena saat itu pelanggaran atas harkat kemanusiaan kita dan ketidakadilan itu dilakukan melalui penjajahan. Haruslah diingat bahwa rasa nasionalisme kita untuk era sekarang tidak lagi perludi lakukan dengan perang fisik, mengangkat bedil dan bambu runcing melawan penjajahan dari negara dan bangsa lain karena musuh seperti itusekarangtidakadalagi diIndonesia.
Musuh kita sekarang ini adalah ketidakadilan, korupsi, anmafiahukum yang merajalela diantara kita sendiri. Ketidakadilan itulah musuh nasionalisme kita sekarang. Ketidakadilan itu bertentangan dengan makna kemerdekaan dan mengancam menjadi lawan nasionalisme kita. Maka itu, basis nasionalisme yang harus kita bangun pada saat ini adalah perlawanan terhadap ketidakadilan.
Dalam kaitan ini harus diingat bahwa hancurnya bangsabangsa di dunia selalu terjadi karena ketidakadilan, yakni kalau ada orang besar dan kuat bersalah dibiarkan, tetapi kalau ada orang kecil melakukan kesalahan langsung dihukum. Dalam riwayat yang terkait permintaan keluarga Bani Mahzum untuk membebaskan anggota keluarganya dari hukuman padahal anggota keluarga itu benar-benar bersalah.
Nabi bersabda, ”Ingatlah bahwa kelakuan bangsa-bangsa terdahulu (yang hancur) itu kalau ada orang besar melakukan kesalahan dibiarkan saja, tetapi kalau ada dhuafa (orang kecil) bersalah langsung dihukum. Maka demi Allah, jika Fathimah anakku mencuri, akan kupotong juga kedua tangannya.
Sikap Nabi bahwa ketidakadilan bisa menghancurkan negara dan bangsa diperkuat oleh Sayyidina Ali ibn Abi Thalib yang menyatakan, ”Abadilah suatu negara yang diperintah dengan adil meski pemerintahnya kafir, hancurlah suatu negara yang diperintah dengan tidak adil (dzalim) meski pemerintahnya Islam.”
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
(nfl)