Idul Fitri dan peneguhan pengabdian untuk rakyat

Senin, 12 Agustus 2013 - 07:24 WIB
Idul Fitri dan peneguhan pengabdian untuk rakyat
Idul Fitri dan peneguhan pengabdian untuk rakyat
A A A
IDUL Fitri tahun ini seakan menjadi saksi berbagai problem di negeri ini yang tak kunjung selesai dan bahkan semakin menjadi-jadi.

Hal itu misalnya tampak pada harga kebutuhan pokok yang terus melambung tinggi, penanganan kelompok minoritas seperti jamaah Ahmadiyah dan warga Syi’ah yang tak kunjung dilakukan, serta aksi preman berjubah seperti Front Pembela Islam (FPI) yang banyak menimbulkan keresahan.

Problem itu ditambah lagi dengan para pejabat yang sibuk bersolek diri agar dipilih rakyat, politik transaksional yang semakin masif, korupsi yang terjadi di banyak tempat, serta suap yang akhir-akhir terjadi di institusi MA. Dalam berbagai problem kebangsaan dan moralitas itu, rakyat hanya menjadi penonton yang tidak diacuhkan dan tak diperhatikan.

Rakyat seperti menjadi penduduk yang bernasib seperti ”kuli di negeri sendiri”, mereka hanya dibutuhkan ketika para elite membutuhkan dukungan politik dan legitimasi kebijakan. Maka, semangat Idul Fitri yang berkedudukan sangat penting dalam tradisi agama dan bangsa kita ini hendaknya bisa tertransformasi untuk memperbaiki negeri ini.

Idul Fitri yang bermakna ”kembali ke kesucian atau kembali ke agama yang benar”, seyogianya menjadititikpijak yang penting untuk mengabdi pada rakyat dan bangsa tercinta. Jangan sampai, Idul Ftri hanya dijadikan sebagai ritual yang melengkapi seremoni ibadah puasa Ramadan tanpa meninggalkan sebuah perbaikan moral dan kemanusiaan.

Peneguhan moralitas keagamaan
Prinsip kembali kepada kesucian harus dimaknai secara tekstual dan kontekstual, terutama oleh para politisi dan pemimpin bangsa ini. Caranya dengan kembali ke hati nurani dengan menjadikan semangat Ramadan yang mengajarkan tentang kesalehan, kedermawanan, kearifan, dan kepedulian sosial, tetap terpatri dan tertransformasi dalam kehidupan setelah Ramadan.

Selain itu, menjadikan hati nurani sebagai panduan utama dalam melangkah, menimbang, menyuarakan, dan memutuskan berbagai kebijakan yang menyangkut nasib rakyat kecil. Seringkali, karena nuansa dan suasana bulan Ramadan pada saat menjelang hari-hari akhir semakin tidak terasa, menjadikan kita mudah lupa.

Kita lupa bahwa ibadah puasa pada dasarnya adalah laboratorium spiritual dan moral untuk melatih kedisiplinan dan mengasah moral keagamaan. Semangat yang ditempa dalam proses pelatihan itu, sebetulnya diharapkan dapat terinternalisasi dan dipraktekkan secara konsisten setelah berakhirnya bulan yang mulia.

Perayaan Idul Fitri sebagai bentuk wisuda spiritual setelah penempaan di bulan suci, diharapkan tidak hanya sebagai seremoni yang mengakhiri proses pembelajaran itu. Jangan juga menjadi seperti seremoni acara negara, pelantikan pejabat negara, dan kunjungan presiden yang menghabiskan banyak uang rakyat itu. Bulan Ramadan bukanlah sekadar bulan pengampunan dosa yang mengandaikan kita boleh melakukan banyak dosa dan menyakiti orang lain, setelah itu ditebus pada bulan Ramadan.

Bulan Ramadan adalah bulan pelatihan spiritual dan moral untuk membangun kehidupan yang lebih baik sebagai sarana mengabdi kepada Tuhan. Karena itu, para politisi dan para pejabat yang gemar bederma dan berbuka puasa bersama pada saat bulan Ramadan hendaknya secara konsisten mempraktikkan tradisi mulia itu pada bulan-bulan selanjutnya sebagai cermin ketulusan dan keikhlasan dalam beribadah.

Jika tidak, menjadi benar apa yang disampaikan oleh Buya Syafii Maarif, bahwa politisi dan pejabat di negeri ini dalam 15 tahun terakhir umumnya adalah manusia yang tunavisi dan tunakepekaan. Yang banyak tampil ke permukaan adalah para politisi dan birokrat dengan wawasan yang tidak jauh ke depan. Mereka mudah sekali memperdagangkan prinsip yang semestinya dipegang dan bangsa ini tampak sangat longgar dalam hal moral.

Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa bangsa yang mayoritas penduduknya beragama ini tampak kumuh dan keruh dari sisi moral dan etika? (Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, 2009). Kasus mega korupsi Hambalang, wisma Atlet di Palembang, dan berbagai skandal korupsi dari politisi dan pejabat adalah contoh nyata dari moralitas pejabat yang sangat pragmatis dan jauh dari etika kebenaran.

Semangat untuk mengabdi
Perayaan Idul Fitri yang tidak dipisahkan dari ritual bulan suci Ramadan itu, hendaknya dijadikan titik pijak untuk benar-benar mengabdi kepada kepentingan rakyat dan perbaikan bangsa.

Semangat mengabdi ini sangat penting sebagai sarana meneguhkan nilai kejujuran, kecintaan, dan ketulusan yang gampang luntur karena godaan kekuasaan untuk memperkaya diri atau memperkuat partai penguasa. Pengabdian kepada rakyat dan bangsa, tidak harus dimaknai dengan berlomba-lomba untuk menggunakan anggaran negara di berbagai kementerian untuk kepentingan politiknya saja. Jangan sampai, dengan kekuatan politik kartel yang besar, mereka mempermainkan anggaran negara untuk diri dan kelompoknya saja.

Pengabdian kepada rakyat harus dilakukan dengan penciptaan pendidikan politik yang mencerdaskan rakyat dan mengupayakan agar anggaran negara betul-betul diperuntukkan untuk kesejahteraan dan kemajuan rakyat. Selain itu, peringatan dari Nurcholish Madjid, bahwa dalam demokrasi memerlukan checks and balances dengan mempersubur dan meneguhkan semangat oposisi, hendaknya kita pikirkan dengan serius.

Menurut Cak Nur, dasar pemikiran utama dari signifikansi oposisi adalah bahwa pengelolaan fungsi politik dan sosial negara jangan sampai dipertaruhkan atau dipercayakan begitu saja pada iktikad baik yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok. Sebab, hal itu terkait dengan urusan publik dan kepentingan rakyat banyak. Karenanya, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, maka partisipasi dan kontrol masyarakat harus terus dibangun dan menjadi kesadaran bersama (Membangun Oposisi, Menjaga Momentum Demokratisasi, 2000).

Berkaitan dengan itu, pemerintah harus menyikapi sikap kritis dari masyarakat dan media sebagai bentuk upaya untuk memperkuat demokrasi itu sendiri. Anggapan bahwa sikap kritis itu merupakan bentuk penggerogotan kekuasaan dan ketidaktaatan pada pemerintah (‘ulil amri), seyogianya dihindari. Justru rakyat harus diajari dan dibiasakan dengan perbedaan dan kebinekaan serta kedewasaan untuk bersikap lapang dada.

Dalam kebinekaan terdapat kearifan dan kesempatan untuk saling belajar dengan pihak lain. Kebinekaan juga mengakui keberadaan kelompok lain serta bertoleransi dengan pendapat yang berbeda. Kebinekaan itu penting untuk memperkaya dan memajukan bangsa ini. Terlebih lagi, Bhinneka Tunggal Ika adalah salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara bersama tiga pilar lainnya (UUD 1945, Pancasila, dan NKRI).

Untuk itu, dalam semangat pengabdian untuk bangsa dan negara, jangan sampai tradisi politik otoriterisme dan pengosongan ruang kritis serta oposisi yang terbukti memerosokkan negeri ini di masa lampau, kembali diulangi lagi dengan sengaja. Jika itu terjadi, para elite politik yang dulu berteriak kencang mengkritik praktik politik Orde Baru yang culas, otoriter, dan menghalalkan segala cara, akhirnya terperosok juga ke dalam lubang kesalahan yang sama.

Perayaan Idul Fitri yang mengajak kita semua kembali ke kesucian dan hati nurani, mudah-mudahan bisa dijadikan sarana refleksi untuk memberdayakan kekuasaan untuk rakyat dan lebih meneguhkan semangat pengabdian. Pengabdian kepada Tuhan YME bisa dilakukan dengan tulus dan suci melalui pengabdian kepada rakyat secara serius dan penuh komitmen.

AHMAD FUAD FANANI
Direktur Riset MAARIF Institute for Culture and Humanity, Pengajar di Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6689 seconds (0.1#10.140)