Sengkuni di sekeliling Presiden
A
A
A
Selama lima tahun pertama masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dia selalu menunjukkan tindak tanduk yang terjaga, sopan, tenang, bahkan bila dihampiri masalah yang bertubi dia mampu menahan emosi.
SBY terkesan serba formulatif dan tidak spontan dalam bereaksi. SBY dinilai kerap berusaha menguasai masalah secara menyeluruh, hati-hati dalam mengambil keputusan, dan mempertimbangkan banyak hal serta melibatkan banyak orang. Oleh karena itu, SBY sering terkesan lamban dan kurang tegas. Namun, citra itu separuh pudar di masa-masa akhir pemerintahan era kedua Susilo Bambang SBY.
Ia mulai sulit menahan emosi. Kita lalu menemukan sosok presiden yang tibatiba bisa marah, tidak hanya kepada para bawahannya—para menteri atau gubernur—tapi juga kepada anak-anak SD yang kelelahan dan mengantuk setelah berjam-jam menunggu dimulainya acara yang dihadiri bapak presiden.
Juga di bulan puasa, Presiden tak mampu menahan emosi. Pada 13 Juli 2013, saat sepertiga pertama Ramadan sedang berjalan, Presiden SBY memimpin rapat kabinet terbatas membahas ketersediaan pasokan kebutuhan Ramadan dan Idul Fitri 1434 H. Rupanya, dalam rapat tersebut, Presiden tidak berkenan dengan hasil kerja dua menterinya: Menteri Pertanian Suswono dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Mereka berdua dimarahi Presiden karena belum berhasil menstabilkan harga daging sapi. Kala itu harga daging sapi memang melesat hingga di atas Rp100.000 per kilogram. Syahdan, salah satu penyebab lain marahnya Presiden adalah mampatnya informasi yang mestinya segera diterima orang nomor satu di Indonesia tersebut. Bahkan, sang presiden sendiri mengakui pernah terlambat mengetahui adanya persoalan penting di negeri ini, gara-gara tidak segera diberi informasi oleh para pembantunya.
Ihwal ini terkait dengan terjadinya kerusuhan di LP Tanjung Gusta, Medan, Kamis, 11 Juli 2013. Kala itu, para napi berontak dan membakar fasilitas LP Kelas I Medan tersebut. Masalahnya, setelah peristiwa marah-marah tersebut, tak lantas ada tindakan konkret yang layaknya dilakukan seorang presiden yang kecolongan. Presiden malah terlihat sudah melupakan amarahnya dalam petaka Tanjung Gusta—juga dalam kisruh harga daging sapi.
Ketika tampil di hadapan publik, pada 16 Juli 2013—lima hari setelah tragedi Tanjung Gusta dan tiga hari setelah emosi karena harga daging sapi— yang terlihat justru senyum lebarnya yang berpendar-pendar. Ibu Negara, Ny. Ani Yudhoyono, juga sama-sama tersenyum. Rupanya, ada kesepakatan soal negeri ini, di antara kedua orang anggota first familyitu ”Kami telah sepakat bahwa Ibu Ani tidak akan maju, dari keluarga hanya Pramono Edhie yang ikut konvensi,” kata SBY.
SBY yang tadinya dicitrakan kerap mengutamakan nilai sehingga apabila bertentangan dengan logika, nilai akan didahulukan, kini tampak agak berbeda. SBY terlihat lebih spontan dalam bereaksi. Namun, ada kalanya SBY juga tak ambil pusing dengan situasi dan komentar orang banyak. Lihat saja polemik panas seputar pemberian penghargaan World Statesman Award yang diterima Presiden Susilo Bambang SBY, pada awal kuartal kedua 2013. Protes boleh saja merebak di masyarakat.
Yang jelas, jauh-jauh hari pun Presiden SBY sudah menyatakan akan tetap berangkat ke Amerika Serikat untuk menerima penghargaan dari organisasi nirlaba, Appeal of Conscience Foundation (ACF) itu. Namun yang menarik, pada kesempatan tersebut Presiden mengakui bahwa dirinya mengetahui adanya penolakan dari berbagai pihak atas penghargaan yang diterimanya itu.
Dan barangkali sebagai sebuah apologi mengapa dirinya tetap memilih untuk berangkat dan menerima, Presiden hanya berkata, ”Saya menghormati, menghargai pandangan seperti itu sebagaimana saya menghormati dan menghargai pandanganpandangan yang berbeda juga dari masyarakat kita.” Sebelumnya memang rencana pemberian penghargaan toleransi beragama itu telah memicu perdebatan panas di dalam negeri.
Beberapa tokoh masyarakat, termasuk mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Ahmad Syafii Maarif, segera menolak rencana pemberian penghargaan itu. Kritikan juga datang dari rohaniwan sekaligus ahli filsafat Franz Magnis Soeseno yang berhasil membuat wacana tersebut tak hanya mengemuka, tetapi kembali membuka keaslian sikap para pembantu presiden.
Sebagaimana Syafi’i Maarif, Franz Magnis juga menilai Presiden Susilo Bambang SBY tidak pantas mendapat penghargaan di bidang toleransi tersebut. Pasalnya, menurut Franz Magnis, pemerintahan di bawah SBY tidak cukup melindungi kaum minoritas di Tanah Air. Istana tentu saja tidak tinggal diam. Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha menanggapi kritikan itu. Menurut Julian, Presiden SBY layak mendapatkan penghargaan tersebut.
Julian beralasan, tidak hanya ACF—lembaga pemberi penghargaan itu—merupakan organisasi yang kredibel, tetapi karena secara faktual pun Presiden SBY berhasil meningkatkan toleransi beragama itu dalam kehidupan keseharian warga negara Indonesia. Rekannya di Istana, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, bahkan menilai toleransi beragama di Indonesia dalam tahun- tahun terakhir, terutama dalam kepemimpinan Presiden SBY, justru membaik. Sampai di situ polemik yang berlangsung masih tergolong sehat.
Masuknya Sekretaris Kabinet, Dipo Alam—seorang aktivis mahasiswa di tahun 1970- an, ke dalam debat tersebut justru membuat polemik itu tak sekadar menjadi keruh, melainkan bisa disebut picik dan—dalam bahasa gaul saat ini, norak. Alih-alih tetap berkepala dingin dengan membahas persoalan yang diperdebatkan, yakni layak tidaknya SBY menerima penghargaan itu seiring kinerjanya, Dipo malah membawa debat publik tersebut pada tataran pribadi.
Melihat perkembangan tersebut, tak pelak publik melihat bahwa keberangkatan Presiden SBY itu tak lepas dari ‘bisikan’ para pembantu dekatnya yang kerap berperilaku seperti Sengkuni— tokoh wayang yang senang mencari muka dan mengadu domba. Persoalannya, bukan sekali ini Presiden melakukan hal yang menurut publik kurang patut ia seriusi. Selama kepemimpinannya, beberapa hal yang terkesan salah atau ganjil berkali-kali dilakukan SBY. Tentu saja semua itu tak lepas dari keberadaan para pembisik yang berada di lingkungan terdekat (inner circle) Presiden.
Tidak Bisa Berbuat Banyak
Peristiwa di atas menjelaskan kepada kita (sebagai contoh kasus), betapa peran orangorang dekat presiden kerap memperburuk kepemimpinan nasional. Cawe-cawe inner circle Presiden membuat pemerintahan tidak cukup efektif mengatasi masalah-masalah bangsa dan negara.
Padahal, sang pemimpin itu sendiri yang sudah menjanjikan banyak hal, yang disampaikan dalam program kerjanya selama memerintah negeri ini. Boleh jadi, presiden kesulitan mewujudkan janjinya kepada rakyat karena ada persoalan serius yang terjadi di lingkungan kepemimpinannya, yang kemudian menjadi ”benalu” terhadap efek kinerja secara keseluruhan. Masih ada waktu untuk segera memperbaiki dengan ketegasan dan langkah kerja yang konkret.
Saya masih memiliki optimisme yang besar terhadap pemerintahan ini. Sama dengan optimisme saya akan hadirnya seorang pemimpin mendatang, yang energi dan pikirannya hanya untuk rakyatnya. Dia adalah pemimpin yang tegas, memiliki energi yang kuat, berani serta bertanggung jawab kepada rakyatnya. Dia kokoh bersama rakyat saat berada di tengah badai politik intern yang kerap menjerumuskannya. Dan dia juga memiliki visi yang jauh ke depan tentang pembangunan bangsanya.
Meski di tengah politik pragmatisme yang sangat kuat mencengkeram sistem politik kita, saya yakin bahwa pemimpin yang ideal dan bebas pengaruh dari para pembisik atau sengkuni itu akan muncul. Saya, Anda, dan kita semua bertanggung jawab ikut melahirkan tokoh-tokoh pemimpin nasional yang seperti ini. (Baca Selengkapnya dalam Buku Presiden dalam Lingkaran Para Sengkuni).
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI/ Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
SBY terkesan serba formulatif dan tidak spontan dalam bereaksi. SBY dinilai kerap berusaha menguasai masalah secara menyeluruh, hati-hati dalam mengambil keputusan, dan mempertimbangkan banyak hal serta melibatkan banyak orang. Oleh karena itu, SBY sering terkesan lamban dan kurang tegas. Namun, citra itu separuh pudar di masa-masa akhir pemerintahan era kedua Susilo Bambang SBY.
Ia mulai sulit menahan emosi. Kita lalu menemukan sosok presiden yang tibatiba bisa marah, tidak hanya kepada para bawahannya—para menteri atau gubernur—tapi juga kepada anak-anak SD yang kelelahan dan mengantuk setelah berjam-jam menunggu dimulainya acara yang dihadiri bapak presiden.
Juga di bulan puasa, Presiden tak mampu menahan emosi. Pada 13 Juli 2013, saat sepertiga pertama Ramadan sedang berjalan, Presiden SBY memimpin rapat kabinet terbatas membahas ketersediaan pasokan kebutuhan Ramadan dan Idul Fitri 1434 H. Rupanya, dalam rapat tersebut, Presiden tidak berkenan dengan hasil kerja dua menterinya: Menteri Pertanian Suswono dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Mereka berdua dimarahi Presiden karena belum berhasil menstabilkan harga daging sapi. Kala itu harga daging sapi memang melesat hingga di atas Rp100.000 per kilogram. Syahdan, salah satu penyebab lain marahnya Presiden adalah mampatnya informasi yang mestinya segera diterima orang nomor satu di Indonesia tersebut. Bahkan, sang presiden sendiri mengakui pernah terlambat mengetahui adanya persoalan penting di negeri ini, gara-gara tidak segera diberi informasi oleh para pembantunya.
Ihwal ini terkait dengan terjadinya kerusuhan di LP Tanjung Gusta, Medan, Kamis, 11 Juli 2013. Kala itu, para napi berontak dan membakar fasilitas LP Kelas I Medan tersebut. Masalahnya, setelah peristiwa marah-marah tersebut, tak lantas ada tindakan konkret yang layaknya dilakukan seorang presiden yang kecolongan. Presiden malah terlihat sudah melupakan amarahnya dalam petaka Tanjung Gusta—juga dalam kisruh harga daging sapi.
Ketika tampil di hadapan publik, pada 16 Juli 2013—lima hari setelah tragedi Tanjung Gusta dan tiga hari setelah emosi karena harga daging sapi— yang terlihat justru senyum lebarnya yang berpendar-pendar. Ibu Negara, Ny. Ani Yudhoyono, juga sama-sama tersenyum. Rupanya, ada kesepakatan soal negeri ini, di antara kedua orang anggota first familyitu ”Kami telah sepakat bahwa Ibu Ani tidak akan maju, dari keluarga hanya Pramono Edhie yang ikut konvensi,” kata SBY.
SBY yang tadinya dicitrakan kerap mengutamakan nilai sehingga apabila bertentangan dengan logika, nilai akan didahulukan, kini tampak agak berbeda. SBY terlihat lebih spontan dalam bereaksi. Namun, ada kalanya SBY juga tak ambil pusing dengan situasi dan komentar orang banyak. Lihat saja polemik panas seputar pemberian penghargaan World Statesman Award yang diterima Presiden Susilo Bambang SBY, pada awal kuartal kedua 2013. Protes boleh saja merebak di masyarakat.
Yang jelas, jauh-jauh hari pun Presiden SBY sudah menyatakan akan tetap berangkat ke Amerika Serikat untuk menerima penghargaan dari organisasi nirlaba, Appeal of Conscience Foundation (ACF) itu. Namun yang menarik, pada kesempatan tersebut Presiden mengakui bahwa dirinya mengetahui adanya penolakan dari berbagai pihak atas penghargaan yang diterimanya itu.
Dan barangkali sebagai sebuah apologi mengapa dirinya tetap memilih untuk berangkat dan menerima, Presiden hanya berkata, ”Saya menghormati, menghargai pandangan seperti itu sebagaimana saya menghormati dan menghargai pandanganpandangan yang berbeda juga dari masyarakat kita.” Sebelumnya memang rencana pemberian penghargaan toleransi beragama itu telah memicu perdebatan panas di dalam negeri.
Beberapa tokoh masyarakat, termasuk mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Ahmad Syafii Maarif, segera menolak rencana pemberian penghargaan itu. Kritikan juga datang dari rohaniwan sekaligus ahli filsafat Franz Magnis Soeseno yang berhasil membuat wacana tersebut tak hanya mengemuka, tetapi kembali membuka keaslian sikap para pembantu presiden.
Sebagaimana Syafi’i Maarif, Franz Magnis juga menilai Presiden Susilo Bambang SBY tidak pantas mendapat penghargaan di bidang toleransi tersebut. Pasalnya, menurut Franz Magnis, pemerintahan di bawah SBY tidak cukup melindungi kaum minoritas di Tanah Air. Istana tentu saja tidak tinggal diam. Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha menanggapi kritikan itu. Menurut Julian, Presiden SBY layak mendapatkan penghargaan tersebut.
Julian beralasan, tidak hanya ACF—lembaga pemberi penghargaan itu—merupakan organisasi yang kredibel, tetapi karena secara faktual pun Presiden SBY berhasil meningkatkan toleransi beragama itu dalam kehidupan keseharian warga negara Indonesia. Rekannya di Istana, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, bahkan menilai toleransi beragama di Indonesia dalam tahun- tahun terakhir, terutama dalam kepemimpinan Presiden SBY, justru membaik. Sampai di situ polemik yang berlangsung masih tergolong sehat.
Masuknya Sekretaris Kabinet, Dipo Alam—seorang aktivis mahasiswa di tahun 1970- an, ke dalam debat tersebut justru membuat polemik itu tak sekadar menjadi keruh, melainkan bisa disebut picik dan—dalam bahasa gaul saat ini, norak. Alih-alih tetap berkepala dingin dengan membahas persoalan yang diperdebatkan, yakni layak tidaknya SBY menerima penghargaan itu seiring kinerjanya, Dipo malah membawa debat publik tersebut pada tataran pribadi.
Melihat perkembangan tersebut, tak pelak publik melihat bahwa keberangkatan Presiden SBY itu tak lepas dari ‘bisikan’ para pembantu dekatnya yang kerap berperilaku seperti Sengkuni— tokoh wayang yang senang mencari muka dan mengadu domba. Persoalannya, bukan sekali ini Presiden melakukan hal yang menurut publik kurang patut ia seriusi. Selama kepemimpinannya, beberapa hal yang terkesan salah atau ganjil berkali-kali dilakukan SBY. Tentu saja semua itu tak lepas dari keberadaan para pembisik yang berada di lingkungan terdekat (inner circle) Presiden.
Tidak Bisa Berbuat Banyak
Peristiwa di atas menjelaskan kepada kita (sebagai contoh kasus), betapa peran orangorang dekat presiden kerap memperburuk kepemimpinan nasional. Cawe-cawe inner circle Presiden membuat pemerintahan tidak cukup efektif mengatasi masalah-masalah bangsa dan negara.
Padahal, sang pemimpin itu sendiri yang sudah menjanjikan banyak hal, yang disampaikan dalam program kerjanya selama memerintah negeri ini. Boleh jadi, presiden kesulitan mewujudkan janjinya kepada rakyat karena ada persoalan serius yang terjadi di lingkungan kepemimpinannya, yang kemudian menjadi ”benalu” terhadap efek kinerja secara keseluruhan. Masih ada waktu untuk segera memperbaiki dengan ketegasan dan langkah kerja yang konkret.
Saya masih memiliki optimisme yang besar terhadap pemerintahan ini. Sama dengan optimisme saya akan hadirnya seorang pemimpin mendatang, yang energi dan pikirannya hanya untuk rakyatnya. Dia adalah pemimpin yang tegas, memiliki energi yang kuat, berani serta bertanggung jawab kepada rakyatnya. Dia kokoh bersama rakyat saat berada di tengah badai politik intern yang kerap menjerumuskannya. Dan dia juga memiliki visi yang jauh ke depan tentang pembangunan bangsanya.
Meski di tengah politik pragmatisme yang sangat kuat mencengkeram sistem politik kita, saya yakin bahwa pemimpin yang ideal dan bebas pengaruh dari para pembisik atau sengkuni itu akan muncul. Saya, Anda, dan kita semua bertanggung jawab ikut melahirkan tokoh-tokoh pemimpin nasional yang seperti ini. (Baca Selengkapnya dalam Buku Presiden dalam Lingkaran Para Sengkuni).
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI/ Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
(nfl)