Penjara dan penderitaan penjahat

Selasa, 16 Juli 2013 - 11:45 WIB
Penjara dan penderitaan...
Penjara dan penderitaan penjahat
A A A
Walaupun tanpa penghayatan, saya coba membayangkan penderitaan para penjahat penghuni penjara. Sebagai manusia biasa, pastilah mereka merasakan kerinduan berkumpul keluarga di hari raya Idul Fitri nanti. Wajar, berbagai cara ditempuhnya agar harapan itu tergapai.

Pertama, dengan berbuat baik, agar pemerintah memberikan remisi. Konon “berbuat baik” di penjara itu tidak mudah. Mengapa? Karena penilaian baik atau buruk atas penjahat dilakukan oleh petugas penjara. Katanya, ukurannya seberapa besar penjahat itu memberikan imbalan kepada petugas. Kalau hal ini benar, bisa dipahami ketika penjahat miskin iri dan frustrasi terhadap nasib yang dialaminya, tidak semudah perolehan remisi bagi penjahat kaya.

Kedua, ketika frustrasi para penjahat telah mencapai titik kulminasi dan tidak tahan lagi dengan suasana “panas”, kemungkinan mereka menempuh segala cara untuk membebaskan diri. Penjara di Tanjung Gusta, Medan terbakar ataukah dibakar merupakan peristiwa yang perlu dicermati terkait dengan keinginan para penjahat untuk segera lepas dari penderitaan.

Ketiga, ada upaya elegan yakni melalui pengacaranya minta agar peraturan tentang perolehan remisi dipermudah, dan jangan sebaliknya justru diperketat melalui moratorium dalam PP 99/2012.

Berbagai alasan di atas, sepintas masuk akal dan manusiawi, ketika penjahat hanya dilihat penderitaannya selama di penjara. Tentu akan berbeda masalahnya bila penjahat itu dilihat dari perspektif sosiologis. Masyarakat pun memiliki penilaian sendiri atas penjahat. Bagi anggota masyarakat yang terkena langsung atau menjadi korban kejahatan, umumnya tidak mudah melupakan peristiwa buruk yang menimpanya. Ibarat luka, sakitnya tidak mudah disembuhkan.

Cepat-cepat mengeluarkan penjahat dari penjara dengan sarana remisi, umumnya dipandang menyakiti hati masyarakat untuk kedua kalinya. Pemberian remisi merupakan bentuk ketidakadilan sosial, karena hanya fokus pada nasib penjahat dan lalai terhadap penderitaan korban kejahatan dan aspirasi masyarakat. Masyarakat merasa diolok-olok, diejek, dilecehkan ketika koruptor, teroris, atau gembong narkoba yang diberi remisi dapat hidup nyaman, glamor, bebas berhubungan dengan sesama penjahat dan menikmati sisa kekayaan yang masih berlimpah.

Penjahat , betapapun berada di penjara bukannya tidak memiliki kekuatan lagi. Kekuatan terbesar yang mendorong penjahat terus menerus berusaha keluar dari penjara adalahkeseharianyang penuh penderitaan. Padahal, penderitaan itu ibarat baju yang melekat di badannya, ada di penjara ataupun di luar penjara. Koruptor menderita karena takut korupsinya ketahuan aparat, dan menderita pula ketika keluar dari penjara tak diterima masyarakat.

Bagi penjahat miskin, dulu mencuri karena menderita tidak bisa makan, dan setelah keluar dari penjara pun dia masih menderita karena kemiskinan menghadangnya. Remaja dipenjara karena kasus narkoba, umumnya menderita karena keinginannya sebagai remaja tidak tercapai. Orang tuanya sibuk kerja, kurang peduli, kurang perhatian dan kasih sayang. Ketika keluar penjara, adakah lingkungan pendidikan keluarga maupun pendidikan formal peduli atas penderitaannya?

Penjahat remaja menderita ketika menatap kehidupan di luar penjara. Tak kurang dari itu, orang tua pun menderita ketika anak-anaknya terlibat kejahatan. Pendek kata, semua menderita. Inilah potret sosiologi kejahatan.

Melihat penjara sebagai rumah penderitaan akan menghadirkan citra buruk bagi siapa pun, seolah kehidupan ini gelap semata. Penjara dan penderitaan senantiasa berwajah menakutkan. Tentu masalahnya berbeda bila sesekali penjara dilihat dari perspektif moralitas hukum. Dari perspektif ini, penjara dapat menjadi tempat kedamaian, tempat perenungan, tempat pembenahan diri.

Hukuman bukanlah penderitaan dan akhir dari kehidupan, melainkan bagian dari proses memanusiakan manusia, bagian pembersihan dari noda dan dosa, bagian pengurangan siksa dari penderitaan di akhirat. Kalaupun selama di penjara ada penderitaan lahiriah-batiniah, dapatlah dipandang sebagai lonceng berdentang yang mengingatkannya agar tidak sembrono mengelola kehidupan atau bermain api dengan hukum agama, hukum masyarakat ataupun hukum negara.

Sampai saat ini tampaknya apa yang disebut pidana penjara masih dipandang sebagai sistem pemasyarakatan dan satusatunya cara menghukum penjahat. Namun demikian, dikaitkan dengan kompleksitas permasalahan dan kasus-kasus yang terjadi di penjara, layak direnung kembali apakah benar penjara efektif untuk memanusiakan penjahat?

Menurut pakar hukum pidana, Barda Nawawi Arief (1994), bila tujuan politik kriminal adalah mencegah atau menanggulangi kejahatan, maka adalah rasional ukuran diletakkan pada efektivitas penjara untuk mencapai dua tujuan, yaitu penjahat bertobat dan kondisi masyarakat kembali aman. Namun ketika secara empiris dua tujuan tersebut masih jauh dari harapan, tidakkah perlu dicari solusi konseptual tentang perubahan pemenjaraan tersebut?

Bila penjara sebagai sistem pemidanaan terasa kurang kondusif untuk sarana kontemplasi bagi penjahat, kembali ke jati diri dan keutuhan kehidupan menjadi penting dilakukan. Pendekatannya sederhana, apa saja yang terjadi pada penjahat dan penjara perlu dipahami tanpa penghakiman. Penjahat memiliki kepentingan. Pun demikian dengan masyarakat dan pemerintah.

Mekanisme pencegahan maupun penanggulangan kejahatan perlu dilakukan melalui kebijakan yang selektif-kontekstual, dan memfungsikan penjara sebagai bagian integral dari sistem peradilan pidana. Bagi para penjahat, sepatutnya disadari bahwa penjara memang bukan hotel dan bukan losmen.

Walau demikian, tak ada salahnya pencitraan penjara sebagai losmen dilakukan untuk mengurangi beban penderitaan. Kata Jalalludin Rumi “Hidup seperti tinggal di losmen. Setiap hari tamunya berganti. Tapi siapa pun tamunya selalu ingat untuk tersenyum”. Mungkinkah? Wallahu’alam.

PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0744 seconds (0.1#10.140)