Dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor perbankan

Jum'at, 12 Juli 2013 - 07:02 WIB
Dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor perbankan
Dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor perbankan
A A A
Salah satu sektor ekonomi yang bakal terkena dampak langsung kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi adalah perbankan. Ini sebagai efek berantai kenaikan harga BBM bersubsidi yang dipastikan menyulut inflasi.

Kenaikan inflasi sontak direspons segera oleh Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 basis poin dari 5,75% menjadi 6% dan kemarin baru saja naik kembali menjadi 6,5%. Hampir dapat dipastikan perbankan akan merespons pula dengan menaikkan suku bunga dana dan berlanjut ke suku bunga kredit. Kenaikan suku bunga simpanan dilakukan untuk menjaga agar nasabah yang sensitif terhadap inflasi tidak memindahkan dananya.

Di sisi lain bank sangat membutuhkan dana untuk menjaga likuiditasnya tetap sehat. Harus dipahami, tidak pernah ada bank ambruk gara-gara timbunan non performing loan (NPL) yang menggunung. Sebaliknya, bank bisa bangkrut karena krisis likuiditas. Jadi, upaya menahan simpanan masyarakat dengan jalan menaikkan suku bunga wajar dilakukan.

Masih on the Right Track

Sejauh ini perkembangan kinerja perbankan nasional masih on the right track. Sebagai acuan adalah laporan BI yang menggambarkan selama tiga bulan pertama pada 2013 laba bank-bank umum mencapai Rp11,33 triliun. Perolehan laba ini meningkat 10,63% dibandingkan pada laba akhir triwulan IV/2012 yang hanya Rp10,27 triliun. Ini tercatat dalam laporan pelaksanaan tugas dan wewenang BI triwulan I/2013.

BI menilai kinerja perbankan yang baik memberikan kontribusi positif pada kestabilan sistem keuangan secara keseluruhan. Sementara BI mencatat total aset perbankan Indonesia secara triwulanan mengalami peningkatan. Akhir triwulan I/2013 aset perbankan mencapai Rp4.313,83 triliun, meningkat sebesar Rp51,24 triliun atau 1,20% dibanding triwulan IV/ 2012 yang tercatat sebesar Rp4.262,59 triliun.

Jadi, semua indikator perbankan nasional selama kuartal pertama tersebut masih dalam koridor yang baik. Sejauh ini peranan sistem perbankan masih mendominasi sistem keuangan Indonesia dengan pangsa aset lebih dari 80%. Dengan kinerja perbankan yang masih terjaga dan fungsi intermediasi yang masih tumbuh dalam mendukung pembiayaan perekonomian, BI menambahkan stabilitas sistem keuangan pada triwulan I/2013 pun tetap terjaga dengan baik.

Yang tak kalah pentingnya adalah indeks stabilitas sistem keuangan (financial stability index/ FSI) mengalami penurunan tipis pada level 1,61 dibandingkan triwulan IV/2012 pada level 1,62. Artinya, stabilitas sistem keuangan relatif terjaga kendati situasi perekonomian global sedang tidak menentu dan perbankan masih dibayangi kenaikan harga BBM bersubsidi dengan segala dampak ikutannya.

Yang Harus Dilakukan

Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut tidak hanya menimpa bank-bank skala besar, tapi juga untuk segala strata baik menengah maupun kecil. Bank-bank skala bank pembangunan daerah (BPD) dan bank perkreditan rakyat (BPR) pun tak luput dari efek kenaikan harga BBM bersubsidi. Jika demikian, tentu bankbank dituntut untuk meninjau kembali strategi pengembangan bisnisnya pada semester kedua ini.

Penyesuaian suku bunga hampir pasti dilakukan perbankan. Langkah ini akan diperkuat dengan sikap lebih hati-hati dan selektif dalam menyalurkan kredit, utamanya ke sektor-sektor ekonomi yang sensitif dengan kenaikan harga BBM bersubsidi seperti sektor transportasi dan manufaktur.

Kendati demikian, bank-bank nasional juga mampu bersaing dengan bank-bank regional, bahkan pertumbuhan kapitalisasi pasar (market cap) paling cepat di kawasan ASEAN. Sebagai contoh, BCA, Mandiri, dan BRI sudah masuk 10 bank dengan kapitalisasi pasar terbesar di kawasan tersebut. Pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memberikan insentif agar kapitalisasi pasar meningkat dan bank bisa ekspansi ke negara lain.

Bank-bank domestik juga harus melakukan terobosan untuk memenangi persaingan di kawasan dan memperkuat permodalan. Bank bermodal kuat bisa ekspansi ke negara-negara tetangga dan meningkatkan investasi teknologi informasi (TI). Sedangkan bank-bank yang bermodal minim dan masih perusahaan tertutup harus segera menambah modal melalui konsolidasi dan merger, mencatatkan saham (listing) di bursa, atau menerbitkan obligasi.

Untuk memuluskan ekspansi ke negara tetangga, tiga institusi yang disebutkan di atas juga harus terus memperjuangkan asas kesetaraan atau resiprokal bagi bank-bank nasional. Jika perlu, regulator juga memberikan insentif kepada bank domestik untuk memperkuat permodalan misalnya keringanan pajak bagi yang merger atau konsolidasi, melakukan pencatatan saham di bursa saham atau dalam menerbitkan obligasi.

Bank-bank di Indonesia diyakini masih berpotensi besar untuk tumbuh dan tingkat profitabilitasnya masih tinggi. Selain itu, Indonesia juga motor perekonomian ASEAN dengan produk domestik bruto (PDB) mencapai USD878 miliar pada 2012 atau sekitar 40% dari total kawasan sebesar USD2,31 triliun.

Menurut Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas), sudah saatnya bankbank nasional menjadi perusahaan terbuka agar dapat menambah permodalan dengan melakukan penawaran saham perdana (IPO), menerbitkan saham baru untuk pemegang saham lama (right issue), atau menerbitkan obligasi. Ini cara bank untuk mendapatkan dana segar sehingga mereka dapat menyalurkan kredit secara optimal dan tidak mengandalkan dana pihak ketiga (DPK) dari masyarakat saja.

Karena itu, bank-bank nasional harus go public. Ke depan kebutuhan permodalan perbankan akan semakin mengetat karena pertumbuhan kredit yang lebih cepat dibanding pertumbuhan DPK. Setiap tahun kredit perbankan bisa tumbuh pada kisaran 20-23%. Sedangkan pertumbuhan DPK setiap tahun hanya 14–17%. Itu dapat menciptakan pengetatan likuiditas yang mengakibatkan biaya dana menjadi mahal. Rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/ LDR) pun dapat meningkat pada posisi yang tak sewajarnya.

Maklum, setiap ekspansi kredit sebesar Rp1 triliun, bank membutuhkan tambahan modal sekitar 0,25% agar rasio kecukupan modal (CAR) tidak tergerus. Jadi, prioritas bank saat ini adalah menjaga likuiditasnya, kemudian menjaga kualitas kreditnya, serta mengupayakan target profit tidak tergerus. Perbankan tentu sudah punya resep untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga BBM bersubsidi.

Pengalaman 2005 dan 2008 saat pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi pelajaran berharga bagi perbankan nasional untuk menyikapi dengan tepat dan taktis. Kalangan pelaku usaha pun tentu memiliki pengalaman yang sama sehingga mustinya tidak perlu khawatir dan panik. Semua harus dihadapi dengan penuh perhitungan karena selalu akan ada jalan keluarnya.

Berpikir positif lebih baik ketimbang hanya protes dan menuntut. Masa krisis atau ketidakpastian selalu menciptakan peluang. Kalaupun saat ini perbankan akan menaikkan bunga simpanan dan kredit sebagai respons kenaikan suku bunga acuan (BI rate) dan LPS rate, cepat atau lambat perbankan juga akan kembali menurunkan bunga simpanan dan kredit ketika BI memutuskan penurunan BI rate dan LPS juga menurunkan LPS rate. Kapan itu? Ketika inflasi sudah kembali mengarah ke kisaran 3,5-4,5% sesuai asumsi RAPBN 2014.

RYAN KIRYANTO
Kepala Tim Riset Ekonomi dan Bisnis BNI
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3416 seconds (0.1#10.140)