Menghukum para tukang senyum
A
A
A
Menurut pakar semiotika, senyum manusia dipilah berdasarkan senyum otentik dan senyum publik. Dalam sebuah diskusi, Luthfi Hasaan Ishaq, Ahmad Fatanah, dan para cecunguk korupsi lainnya, diidentifikasi oleh si pakar semiotika sebagai penampil senyum publik.
Hati mereka tidak bahagia. Jadi tarikan bibir tak sebangun dengan suasana batin. Namun karena mereka kadung dikenal khalayak sebagai figur kesohor, dan harus tetap nampak tenang saat berada di gedung peradilan, maka mereka selalu melempar senyum di hadapan media. Abel dkk. (2005) menemukan hubungan antara senyuman terdakwa dan berat ringannya hukuman yang hakim jatuhkan.
Terdakwa yang tersenyum, dan nampak atraktif, ternyata menerima hukuman lebih ringan daripada terdakwa yang tersenyum dan terlihat tidak menarik. Riset Abel dkk. memperlihatkan bahwa tindak tanduk terdakwa, walaupun kerap dianggap sebagai unsur ekstralegal, tetap berpeluang mengisi celah bias kognitif hakim saat membuat putusan. Temuan tersebut, dengan kata lain, memberikan garis bawah bagi hakim untuk memperhatikan gerak-gerik terdakwa korupsi bahkan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam penjatuhan sanksi.
Entah otentik entah publik, senyum para terdakwa koruptor sudah sampai pada taraf memuakkan. Motif apapun di balik seringai jelek para terdakwa korupsi, tidak lagi penting untuk dipusingkan. Pertanyaan yang patut dikedepankan hanya dua. Pertama, bagaimana menghentikan atau, setidaknya, menekan fenomena senyum para terdakwa korupsi. Kedua, bagaimana hukum seharusnya menyikapi senyum para terdakwa korupsi agar berimplikasi terhadap efek jera.
Melarang para terdakwa korupsi agar berhenti tersenyum, jelas tidak mungkin. Menuntut adanya penyesalan diri dari para terdakwa, pun tidak realistis. Memaksa mereka mengenakan jaket putih bertuliskan “Tahanan KPK”, yang dahulu sempat diduga akan memberikan efek sanksi sosial berupa rasa malu, juga tidak efektif membuat para terdakwa korupsi berkerut muka. Keadaan tersebut sangat kontras dengan para pengguna dan pengedar narkoba yang ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN).
Ketika dihadapkan ke masyarakat dan media, orang-orang yang diciduk BNN selalu menunduk, bahu turun, dan cenderung membungkuk. Tidak sedikit pula yang berusaha menutupi wajah mereka. Di media terlihat nyata perlakuan antara terhadap tahanan KPK dan tahanan BNN. Tahanan BNN dijaga oleh personel-personel bertubuh tegap, memakai rompi antipeluru dan penutup muka, serta bersenjata laras panjang otomatis.
Bagi orang yang tidak terbiasa berdekatan dengan senjata berat, dikawal oleh petugas yang berpenampilan ala Rambo sangat mungkin membuat ciut nyali. Kepada para tahanan BNN yang mendapat penjagaan sedemikian rupa, seakan terkirim pesan, “Cobalah berulah, kalau ingin merasa peluru mengebor kepala!” Model perlakuan seperti itu yang sudah saatnya diterapkan terhadap para terdakwa korupsi, sejak keluar dari ruang tahanan, dibawa ke pengadilan tindak pidana korupsi, memasuki ruang persidangan, hingga kemudian kembali ke ruang tahanan.
Dengan pengawalan ala BNN, media dan pengunjung persidangan akan menjaga jarak. Toh, mereka pada dasarnya tidak mau bersentuhan dengan dinginnya logam senjata yang dibawa pasukan penjaga. Itu, pada gilirannya, mempersempit kesempatan bagi para terdakwa korupsi untuk memanfaatkan momentum liputan media laiknya selebritas. Hukum, utamanya hakim, semestinya juga dapat menjadikan senyum dan lenggak-lenggok tengil para terdakwa korupsi sebagai hal yang memberatkan.
Hakim perlu merekonstruksi kognisi mereka dengan tidak lagi menganggap senyuman sebagai perilaku kecil yang tak bermakna serius atau bahkan sebagai cerminan watak ketimuran. Dengan rekonstruksi pikiran hakim yang baru, senyuman dan kelakuan ala selebritas lainnya akan diinterpretasi sebagai indikator nyata betapa para terdakwa korupsi tidak menyesali perbuatan mereka. Senyuman yang sama juga dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap kewibawaan hukum.
Tidak adanya penyesalan, di samping pelecehan hukum, bermakna sama dengan tetap bertahannya potensi para terdakwa untuk mengulangi perbuatan korupsi mereka. Itu sangat berbahaya! Walau tidak secara langsung mengakibatkan jatuh korban dalam keadaan berdarah-darah, apalagi kehilangan nyawa, seperti dalam kasus terorisme, korupsi berefek pada penyengsaraan masyarakat dalam jumlah masif.
Dan ketika terdakwa korupsi mengulangi polah Firaun mereka, efek kehancurannya akan berlipat ganda. Untuk memastikan adanya pertalian antara senyum dan perasaan bersalah terdakwa korupsi, gaya hakim Albertina Ho perlu ditiru para hakim yang menyidangkan perkara korupsi. Hakim Albertina, pada setiap akhir persidangan, selalu bertanya ke terdakwa yang ia sidang, “Apakah perjalanan persidangan ini membuat Anda sadar bahwa Anda bersalah?
”Jika “sadar” adalah jawaban terdakwa, hakim kemudian patut bertanya lebih lanjut, “Lantas, mengapa Anda tersenyum- senyum selama proses hukum atas diri Anda berlangsung?” Hakim dapat memberikan wejangan, sekaligus mengingatkan terdakwa korupsi, bahwa raut mukanya yang cengengesan merupakan viktimisasi susulan bagi masyarakat di samping aksi korupsi itu sendiri.
Sedangkan jika terdakwa korupsi bersikeras bahwa ia tidak bersalah, genaplah ekspresi verbal dan nonverbal terdakwa. Kian kuat justifikasi bagi hakim bahwa si terdakwa memang sudah sepantasnya dikenai pemberatan hukuman. Agar lebih utuh, rekonstruksi internal hakim perlu diperkuat dengan renovasi eksternal, yaitu penataan dekorasi gedung pengadilan tipikor. Satu sisi dinding gedung-gedung tersebut ditempeli dengan kertas tembok bergambar penderitaan hidup masyarakat Indonesia yang telah diviktimisasi oleh para koruptor.
Sementara sisi lain dinding dipenuhi dengan foto-foto para terpidana korupsi, terutama yang sedang berpose tersenyum. Melalui hakim yang telah menjalani rekonstruksi skema pikiran, dapat diharapkan bahwa jika kelak divonis bersalah, terdakwa korupsi yang terus mengumbar senyum selama menjalani proses hukum akan dijatuhi sanksi lebih berat.
Mengapa lebih berat? Karena melalui hukuman yang lebih berat, hakim tidak sebatas berusaha memunculkan efek jera terhadap koruptor dan calon-calon koruptor berikutnya, tapi sekaligus melindungi masyarakat luas dari ancaman bahaya susulan para terpidana korupsi. Ancaman yang sudah terendus dari seringai para bandit kerah putih tersebut. Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Akademisi Psikologi Forensik,
Konsultan Indonesia Legal Roundtable
Hati mereka tidak bahagia. Jadi tarikan bibir tak sebangun dengan suasana batin. Namun karena mereka kadung dikenal khalayak sebagai figur kesohor, dan harus tetap nampak tenang saat berada di gedung peradilan, maka mereka selalu melempar senyum di hadapan media. Abel dkk. (2005) menemukan hubungan antara senyuman terdakwa dan berat ringannya hukuman yang hakim jatuhkan.
Terdakwa yang tersenyum, dan nampak atraktif, ternyata menerima hukuman lebih ringan daripada terdakwa yang tersenyum dan terlihat tidak menarik. Riset Abel dkk. memperlihatkan bahwa tindak tanduk terdakwa, walaupun kerap dianggap sebagai unsur ekstralegal, tetap berpeluang mengisi celah bias kognitif hakim saat membuat putusan. Temuan tersebut, dengan kata lain, memberikan garis bawah bagi hakim untuk memperhatikan gerak-gerik terdakwa korupsi bahkan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam penjatuhan sanksi.
Entah otentik entah publik, senyum para terdakwa koruptor sudah sampai pada taraf memuakkan. Motif apapun di balik seringai jelek para terdakwa korupsi, tidak lagi penting untuk dipusingkan. Pertanyaan yang patut dikedepankan hanya dua. Pertama, bagaimana menghentikan atau, setidaknya, menekan fenomena senyum para terdakwa korupsi. Kedua, bagaimana hukum seharusnya menyikapi senyum para terdakwa korupsi agar berimplikasi terhadap efek jera.
Melarang para terdakwa korupsi agar berhenti tersenyum, jelas tidak mungkin. Menuntut adanya penyesalan diri dari para terdakwa, pun tidak realistis. Memaksa mereka mengenakan jaket putih bertuliskan “Tahanan KPK”, yang dahulu sempat diduga akan memberikan efek sanksi sosial berupa rasa malu, juga tidak efektif membuat para terdakwa korupsi berkerut muka. Keadaan tersebut sangat kontras dengan para pengguna dan pengedar narkoba yang ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN).
Ketika dihadapkan ke masyarakat dan media, orang-orang yang diciduk BNN selalu menunduk, bahu turun, dan cenderung membungkuk. Tidak sedikit pula yang berusaha menutupi wajah mereka. Di media terlihat nyata perlakuan antara terhadap tahanan KPK dan tahanan BNN. Tahanan BNN dijaga oleh personel-personel bertubuh tegap, memakai rompi antipeluru dan penutup muka, serta bersenjata laras panjang otomatis.
Bagi orang yang tidak terbiasa berdekatan dengan senjata berat, dikawal oleh petugas yang berpenampilan ala Rambo sangat mungkin membuat ciut nyali. Kepada para tahanan BNN yang mendapat penjagaan sedemikian rupa, seakan terkirim pesan, “Cobalah berulah, kalau ingin merasa peluru mengebor kepala!” Model perlakuan seperti itu yang sudah saatnya diterapkan terhadap para terdakwa korupsi, sejak keluar dari ruang tahanan, dibawa ke pengadilan tindak pidana korupsi, memasuki ruang persidangan, hingga kemudian kembali ke ruang tahanan.
Dengan pengawalan ala BNN, media dan pengunjung persidangan akan menjaga jarak. Toh, mereka pada dasarnya tidak mau bersentuhan dengan dinginnya logam senjata yang dibawa pasukan penjaga. Itu, pada gilirannya, mempersempit kesempatan bagi para terdakwa korupsi untuk memanfaatkan momentum liputan media laiknya selebritas. Hukum, utamanya hakim, semestinya juga dapat menjadikan senyum dan lenggak-lenggok tengil para terdakwa korupsi sebagai hal yang memberatkan.
Hakim perlu merekonstruksi kognisi mereka dengan tidak lagi menganggap senyuman sebagai perilaku kecil yang tak bermakna serius atau bahkan sebagai cerminan watak ketimuran. Dengan rekonstruksi pikiran hakim yang baru, senyuman dan kelakuan ala selebritas lainnya akan diinterpretasi sebagai indikator nyata betapa para terdakwa korupsi tidak menyesali perbuatan mereka. Senyuman yang sama juga dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap kewibawaan hukum.
Tidak adanya penyesalan, di samping pelecehan hukum, bermakna sama dengan tetap bertahannya potensi para terdakwa untuk mengulangi perbuatan korupsi mereka. Itu sangat berbahaya! Walau tidak secara langsung mengakibatkan jatuh korban dalam keadaan berdarah-darah, apalagi kehilangan nyawa, seperti dalam kasus terorisme, korupsi berefek pada penyengsaraan masyarakat dalam jumlah masif.
Dan ketika terdakwa korupsi mengulangi polah Firaun mereka, efek kehancurannya akan berlipat ganda. Untuk memastikan adanya pertalian antara senyum dan perasaan bersalah terdakwa korupsi, gaya hakim Albertina Ho perlu ditiru para hakim yang menyidangkan perkara korupsi. Hakim Albertina, pada setiap akhir persidangan, selalu bertanya ke terdakwa yang ia sidang, “Apakah perjalanan persidangan ini membuat Anda sadar bahwa Anda bersalah?
”Jika “sadar” adalah jawaban terdakwa, hakim kemudian patut bertanya lebih lanjut, “Lantas, mengapa Anda tersenyum- senyum selama proses hukum atas diri Anda berlangsung?” Hakim dapat memberikan wejangan, sekaligus mengingatkan terdakwa korupsi, bahwa raut mukanya yang cengengesan merupakan viktimisasi susulan bagi masyarakat di samping aksi korupsi itu sendiri.
Sedangkan jika terdakwa korupsi bersikeras bahwa ia tidak bersalah, genaplah ekspresi verbal dan nonverbal terdakwa. Kian kuat justifikasi bagi hakim bahwa si terdakwa memang sudah sepantasnya dikenai pemberatan hukuman. Agar lebih utuh, rekonstruksi internal hakim perlu diperkuat dengan renovasi eksternal, yaitu penataan dekorasi gedung pengadilan tipikor. Satu sisi dinding gedung-gedung tersebut ditempeli dengan kertas tembok bergambar penderitaan hidup masyarakat Indonesia yang telah diviktimisasi oleh para koruptor.
Sementara sisi lain dinding dipenuhi dengan foto-foto para terpidana korupsi, terutama yang sedang berpose tersenyum. Melalui hakim yang telah menjalani rekonstruksi skema pikiran, dapat diharapkan bahwa jika kelak divonis bersalah, terdakwa korupsi yang terus mengumbar senyum selama menjalani proses hukum akan dijatuhi sanksi lebih berat.
Mengapa lebih berat? Karena melalui hukuman yang lebih berat, hakim tidak sebatas berusaha memunculkan efek jera terhadap koruptor dan calon-calon koruptor berikutnya, tapi sekaligus melindungi masyarakat luas dari ancaman bahaya susulan para terpidana korupsi. Ancaman yang sudah terendus dari seringai para bandit kerah putih tersebut. Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Akademisi Psikologi Forensik,
Konsultan Indonesia Legal Roundtable
(hyk)