Absurditas politik koalisi
A
A
A
Meskipun Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak kunjung mendepaknya dari kabinet.
Di sisi lain, PKS tak berniat menarik tiga orang menterinya. Apa masalahnya? Sejak dibentuk pada 15 Oktober 2009, format koalisi parpol pendukung pemerintah memang sudah absurd. Hal itu tetap berlanjut ketika format koalisi ditata ulang menjadi Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Politik Pendukung Pemerintah dan dipimpin Aburizal Bakrie (Golkar) pasca skandal bailout Bank Century.
Kecenderungan absurditas serupa tetap berlangsung tatkala butir-butir kesepakatan koalisi diperbarui pada Mei 2011 pascapembangkangan Golkar dan PKS dalam penggunaan hak angket soal pajak. Paling kurang ada lima faktor absurditas koalisi.
Pertama, basis koalisi. Sudah menjadi rahasia umum koalisi parpol pendukung SBY yang beranggotakan Demokrat, Partai Golkar, PKS, PPP, PAN, PKB berbasis kepentingan jangka pendek, yakni mengamankan kebijakan pemerintah di DPR dan menjamin kelangsungan pemerintahan hasil pemilu. Sebagai kompensasinya, Presiden SBY membagikan kursi menteri kabinet kepada parpol pendukung secara proporsional. Padahal, sesuai amanat konstitusi, masa jabatan presiden bersifat tetap, yakni lima tahun.
Kedua, sifat kesepakatan dan kontrak politik. Koalisi tidak hanya didasarkan kesepakatan politik yang ditandatangani oleh pimpinan parpol dengan SBY, tetapi juga kontrak politik para menteri dengan Presiden. Kontrak politik yang bersifat individual antara SBY dan para menteri tidak bisa mengikat parpol secara institusi; karena sesuai konstitusi, otoritas perombakan kabinet berada di tangan Presiden. Realitas ini tak hanya membatasi ruang gerak parpol dalam mengontrol kadernya di kabinet, tetapi juga tidak bisa memberi garansi bagi SBY untuk mengontrol sikap politik parpol di DPR.
Ketiga, cakupan materi kesepakatan koalisi. Meskipun masyarakat hanya bisa mendugaduga cakupan materi kesepakatan yang telah ditandatangani oleh pimpinan parpol, secara umum kesepakatan itu memang sangat longgar, termasuk yang sudah diperbaharui pada 2011.
Butir kesepakatan baru, namun tetap saja longgar, kurang lebih berbunyi: ”Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, maka parpol yang bersangkutan mengundurkan diri dari koalisi partai dan selanjutnya menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden untuk mengambil keputusan menyangkut keberadaan perwakilan partai yang berada dalam kabinet.”
Keempat, mekanisme internal koalisi. Meskipun SBY telah menata ulang format koalisi, para petinggi parpol koalisi lebih suka memperdebatkan persoalan koalisi secara publik melalui media ketimbang mendiskusikannya secara internal melalui forum rapat Setgab. Akibatnya, berbagai perbedaan pendapat dan sikap politik parpol koalisi menjadi santapan seksi bagi media, sehingga polemik antarpolitisi parpol koalisi sering kali berkembang menjadi ”debat kusir” yang tidak bermanfaat, menyita energi, dan tidak bermanfaat bagi kepentingan bangsa.
Kelima, parpol koalisi bisa menolak kebijakan pemerintah. Sebagai konsekuensi logis koalisi semu dan longgar seperti itu, parpol anggota Setgab boleh berbeda sikap dengan pemerintah. Bisa jadi faktor inilah yang paling absurd dalam format koalisi ala SBY. Akibatnya, Golkar, PKS, dan PPP menolak kebijakan bailout atas Century pada 2009, kemudian Golkar dan PKS menggulirkan hak angket pajak pada 2011, dan terakhir PKS menolak kebijakan kenaikan harga BBM.
Pemulihan ”Nama Baik”
Pengalaman bangsa kita selama dipimpin Presiden SBY memperlihatkan, jenderal kelahiran Pacitan, Jawa Timur ini adalah sosok yang terlalu hati-hati, lamban, tidak tegas, dan tidak berani mengambil risiko. Personalitas SBY seperti ini sangat dipahami oleh PKS, sehingga meskipun bertindak tidak etis—yakni berbeda sikap dengan koalisi— partai dakwah ini tidak akan menarik tiga menterinya.
Para petinggi PKS tahu benar, Presiden SBY cenderung kompromistis dan tidak memiliki nyali politik untuk mencopot tiga menteri mereka secara sekaligus. Namun di sisi lain, sebagai parpol yang mendakwahkan kebenaran, PKS semestinya bisa bersikap lebih sportif, elegan, dan lapang dada menarik menteri mereka dari kabinet.
PKS tidak bisa berpolitik dua muka atas nama ”kepentingan rakyat”, sementara pada saat yang sama mempertahankan menteri di dalam kabinet yang notabene mengeluarkan kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Soalnya, jika PKS tidak menarik tiga orang menterinya, argumen ”kepentingan rakyat” untuk menolak kenaikan harga BBM pada dasarnya sekadar pencitraan belaka, yakni dalam rangka pemulihan ”nama baik” sehubungan kasus dugaan dan korupsi yang menimpa mantan presiden partai, Luthfi Hasan Ishaaq.
Karena itu, bila konsisten dengan sikap politiknya, PKS semestinya memecat kadernya yang berbeda sikap dengan partai. Adalah suatu sikap politik absurd jika di satu pihak PKS beroposisi dalam Setgab koalisi namun di pihak lain turut ”menikmati” lezatnya kekuasaan menteri yang diperoleh sebagai kompensasi berkoalisi.
Merayakan Diri Sendiri
Di sisi lain, publik tidak pernah bisa mengerti, mengapa SBY begitu takut memberhentikan tiga orang menteri kader PKS. Padahal, tanpa dukungan politik PKS, formasi kekuatan parpol koalisi masih cukup besar untuk meloloskan kebijakan- kebijakan pemerintah di DPR.
Seperti pengalaman pembangkangan Golkar dan PKS pada 2009 dan 2011, Presiden SBY tampaknya lebih mengutamakan harmoni semu di antara parpol pendukungnya ketimbang bersikap tegas mencopot menteri-menteri PKS. Selain itu, SBY juga tampaknya takut akan bayangan sendiri, yakni seolah-olah partai dakwah akan mengapitalisasi ”penzaliman” atas mereka untuk menggoyang pemerintahan SBY jika Presiden mencopot menteri-menteri PKS dan menendangnya dari koalisi.
Suatu cara pandang yang juga absurd bagi seorang presiden yang terpilih dengan dukungan lebih dari 60% suara rakyat dan kelangsungan kekuasaannya dijamin oleh konstitusi. Ironisnya, absurditas politik seperti inilah yang memenjara bangsa kita dari pemilu ke pemilu.
Rakyat dalam pemilu tak lebih dari angka-angka untuk menggenapkan elektabilitas para politisi parpol, wakil rakyat, dan para pemimpin yang akhirnya lebih sibuk merayakan diri mereka sendiri ketimbang mengurus nasib rakyat dan bangsa kita.
SYAMSUDDIN HARIS
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
Di sisi lain, PKS tak berniat menarik tiga orang menterinya. Apa masalahnya? Sejak dibentuk pada 15 Oktober 2009, format koalisi parpol pendukung pemerintah memang sudah absurd. Hal itu tetap berlanjut ketika format koalisi ditata ulang menjadi Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Politik Pendukung Pemerintah dan dipimpin Aburizal Bakrie (Golkar) pasca skandal bailout Bank Century.
Kecenderungan absurditas serupa tetap berlangsung tatkala butir-butir kesepakatan koalisi diperbarui pada Mei 2011 pascapembangkangan Golkar dan PKS dalam penggunaan hak angket soal pajak. Paling kurang ada lima faktor absurditas koalisi.
Pertama, basis koalisi. Sudah menjadi rahasia umum koalisi parpol pendukung SBY yang beranggotakan Demokrat, Partai Golkar, PKS, PPP, PAN, PKB berbasis kepentingan jangka pendek, yakni mengamankan kebijakan pemerintah di DPR dan menjamin kelangsungan pemerintahan hasil pemilu. Sebagai kompensasinya, Presiden SBY membagikan kursi menteri kabinet kepada parpol pendukung secara proporsional. Padahal, sesuai amanat konstitusi, masa jabatan presiden bersifat tetap, yakni lima tahun.
Kedua, sifat kesepakatan dan kontrak politik. Koalisi tidak hanya didasarkan kesepakatan politik yang ditandatangani oleh pimpinan parpol dengan SBY, tetapi juga kontrak politik para menteri dengan Presiden. Kontrak politik yang bersifat individual antara SBY dan para menteri tidak bisa mengikat parpol secara institusi; karena sesuai konstitusi, otoritas perombakan kabinet berada di tangan Presiden. Realitas ini tak hanya membatasi ruang gerak parpol dalam mengontrol kadernya di kabinet, tetapi juga tidak bisa memberi garansi bagi SBY untuk mengontrol sikap politik parpol di DPR.
Ketiga, cakupan materi kesepakatan koalisi. Meskipun masyarakat hanya bisa mendugaduga cakupan materi kesepakatan yang telah ditandatangani oleh pimpinan parpol, secara umum kesepakatan itu memang sangat longgar, termasuk yang sudah diperbaharui pada 2011.
Butir kesepakatan baru, namun tetap saja longgar, kurang lebih berbunyi: ”Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, maka parpol yang bersangkutan mengundurkan diri dari koalisi partai dan selanjutnya menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden untuk mengambil keputusan menyangkut keberadaan perwakilan partai yang berada dalam kabinet.”
Keempat, mekanisme internal koalisi. Meskipun SBY telah menata ulang format koalisi, para petinggi parpol koalisi lebih suka memperdebatkan persoalan koalisi secara publik melalui media ketimbang mendiskusikannya secara internal melalui forum rapat Setgab. Akibatnya, berbagai perbedaan pendapat dan sikap politik parpol koalisi menjadi santapan seksi bagi media, sehingga polemik antarpolitisi parpol koalisi sering kali berkembang menjadi ”debat kusir” yang tidak bermanfaat, menyita energi, dan tidak bermanfaat bagi kepentingan bangsa.
Kelima, parpol koalisi bisa menolak kebijakan pemerintah. Sebagai konsekuensi logis koalisi semu dan longgar seperti itu, parpol anggota Setgab boleh berbeda sikap dengan pemerintah. Bisa jadi faktor inilah yang paling absurd dalam format koalisi ala SBY. Akibatnya, Golkar, PKS, dan PPP menolak kebijakan bailout atas Century pada 2009, kemudian Golkar dan PKS menggulirkan hak angket pajak pada 2011, dan terakhir PKS menolak kebijakan kenaikan harga BBM.
Pemulihan ”Nama Baik”
Pengalaman bangsa kita selama dipimpin Presiden SBY memperlihatkan, jenderal kelahiran Pacitan, Jawa Timur ini adalah sosok yang terlalu hati-hati, lamban, tidak tegas, dan tidak berani mengambil risiko. Personalitas SBY seperti ini sangat dipahami oleh PKS, sehingga meskipun bertindak tidak etis—yakni berbeda sikap dengan koalisi— partai dakwah ini tidak akan menarik tiga menterinya.
Para petinggi PKS tahu benar, Presiden SBY cenderung kompromistis dan tidak memiliki nyali politik untuk mencopot tiga menteri mereka secara sekaligus. Namun di sisi lain, sebagai parpol yang mendakwahkan kebenaran, PKS semestinya bisa bersikap lebih sportif, elegan, dan lapang dada menarik menteri mereka dari kabinet.
PKS tidak bisa berpolitik dua muka atas nama ”kepentingan rakyat”, sementara pada saat yang sama mempertahankan menteri di dalam kabinet yang notabene mengeluarkan kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Soalnya, jika PKS tidak menarik tiga orang menterinya, argumen ”kepentingan rakyat” untuk menolak kenaikan harga BBM pada dasarnya sekadar pencitraan belaka, yakni dalam rangka pemulihan ”nama baik” sehubungan kasus dugaan dan korupsi yang menimpa mantan presiden partai, Luthfi Hasan Ishaaq.
Karena itu, bila konsisten dengan sikap politiknya, PKS semestinya memecat kadernya yang berbeda sikap dengan partai. Adalah suatu sikap politik absurd jika di satu pihak PKS beroposisi dalam Setgab koalisi namun di pihak lain turut ”menikmati” lezatnya kekuasaan menteri yang diperoleh sebagai kompensasi berkoalisi.
Merayakan Diri Sendiri
Di sisi lain, publik tidak pernah bisa mengerti, mengapa SBY begitu takut memberhentikan tiga orang menteri kader PKS. Padahal, tanpa dukungan politik PKS, formasi kekuatan parpol koalisi masih cukup besar untuk meloloskan kebijakan- kebijakan pemerintah di DPR.
Seperti pengalaman pembangkangan Golkar dan PKS pada 2009 dan 2011, Presiden SBY tampaknya lebih mengutamakan harmoni semu di antara parpol pendukungnya ketimbang bersikap tegas mencopot menteri-menteri PKS. Selain itu, SBY juga tampaknya takut akan bayangan sendiri, yakni seolah-olah partai dakwah akan mengapitalisasi ”penzaliman” atas mereka untuk menggoyang pemerintahan SBY jika Presiden mencopot menteri-menteri PKS dan menendangnya dari koalisi.
Suatu cara pandang yang juga absurd bagi seorang presiden yang terpilih dengan dukungan lebih dari 60% suara rakyat dan kelangsungan kekuasaannya dijamin oleh konstitusi. Ironisnya, absurditas politik seperti inilah yang memenjara bangsa kita dari pemilu ke pemilu.
Rakyat dalam pemilu tak lebih dari angka-angka untuk menggenapkan elektabilitas para politisi parpol, wakil rakyat, dan para pemimpin yang akhirnya lebih sibuk merayakan diri mereka sendiri ketimbang mengurus nasib rakyat dan bangsa kita.
SYAMSUDDIN HARIS
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI
(hyk)