Soko guru kita Doyong
A
A
A
Dalam sangat banyak segi yang penting-penting dan strategis, negeri kita ini ibarat perusahaan sudah pailit. Ketika terjadi rumah gadang sampai ketirisan, ini suatu darurat kultural bagi cara pandang dan kearifan Minangkabau.
Dalam situasi seperti ini anggota keluarga besar, ninikmamak, menanggung malu. Tindakan darurat harus dilakukan. Tapi, derita negeri ini jauh lebih mendalam, lebih serius dibandingkan dengan sekadar rasa malu. Warga negara, yang disebut “devoted citizens”, atau “concerned citizens”, atau mereka yang merasa bahwa apa yang merupakan cita-cita kita bernegara sudah menyimpang semakin jauh, juga merasa sangat prihatin. Lalu mereka berpikir mengenai jalan keluar agar jebakan kehancuran tak sungguh-sungguh mematikan kehidupan kita.
Mereka ini mencintai negeri ini seperti dulu, ketika di zaman Orde Baru, mereka resah, dan menyampaikan pemikiran penyelamatan. Mereka merasa bertanggung jawab atas keselamatan negeri kita sehingga berbagai pemikiran politik dan kebudayaan, dan langkah-langkah kecil menyelamatkan kehidupan sesuai kemampuan, dikemukakan. Sering dari kalangan ini terdengar suara sangat kritis.
Tapi, pemerintah—didukung militer yang sangat mengerikan, yang membuat bangsa asing menyebut kita ini negara yang militeristik—tidak mau menerima suara lain selain suara pujaan, persetujuan, dan dukungan. Maka itu, tampillah organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa maupun berbagai ordebo partai yang namanya bukan partai, serta kekerabatan ini dan itu, yang seolah siap menghadapi risiko apa pun demi membela pemerintah. Tiap sore di layar televisi lahir dukungan, pernyataan sikap, dan kesediaan membela pemerintah.
Mereka berteriak dan memihak tanpa “reserve”— tentu saja sambil menjilat tanpa rasa malu—bahwa pemerintah dan semua jenis kebijakan pemerintah sudah benar belaka. “Bapak pembangunan” didengungkan sebagai pujaan, atau kultus untuk mengagungkan Pak Harto, sambil memperlihatkan sikap menghamba yang mengenaskan, seolah warga negara para hamba sahaya di hadapan duli tuanku yang murah hati.
Saat, dan pada momentum pendek itu, “civic education” mati, atau terbunuh oleh jiwa-jiwa yang merangkak di depan kekuasaan. Sikap loyal menjadi sangat berlebihan seperti sikap para hamba keraton, yang secara kultural memang harus seperti itu. Orangtua maupun kaum muda, serentak belajar merangkak, diselingi sikap menjilat demi sedikit fasilitas, atau jaminan jabatan yang menjanjikan kemakmuran.
Memang banyak kalangan tua dan kaum muda yang makmur. Tapi, mereka yang kritis, dan bersikap jujur, sekadar menunjukkan sikap yang benar secara politik, digilas setandas-tandasnya. Gerak-gerik dan bahkan pemikiran mereka diawasi. Ke sana ke mari mereka dikuntit aparat, yang hendak menjalankan tugas, diperintah atau tidak, sambil mencari muka. Banyak orang yang naik pangkat dan naik jabatan karena berhasil mencelakai orang lain, sesama warga negara yang bertanggung jawab mencintai negerinya.
Sejak saat itu makin jelas, sikap loyal sebagai warga negara tampil menjadi sikap menghamba tanpa batas. Maka itu, berubahlah sikap kaum “loyalis” menjadi kaum “royalis”, apa pun yang terjadi, pihak istana tak mungkin salah. Pemerintah dan militer, yang sebagian orang-orangnya masih ada sekarang, tak bisa menerima kenyataan selain bahwa pemerintah telah besar jasanya, pemerintah telah berbuat banyak dan gigih bekerja untuk menyejahterakan bangsa.
Suara kritis dimatikan. Tak jarang cara mematikan kritik yang sehat itu menjadi pembunuhan bagi mereka yang kritis. Membungkam sikap, membungkam suara, sama saja artinya dengan membungkam orangnya untuk selama-lamanya. Di istana lahirlah suatu “paduan” suara. Suara para pejabat dipandu, harus begini harus begitu. Nadanya harus segini atau segitu. Tradisi istana, dan sikap orang-orang istana seperti itu, dibikin lestari hingga hari ini.
Cara membikinnya jelas berbeda. Selalu ada nuansa demokratis. Selalu ada sikap merasa tertindas, dan karena itu segenap kawula istana diminta memahami keadaan. Ini bukan perkara sulit. Di sana juga banyak orang yang merasa harus mempertahankan jabatan. Di sana tak kurang-kurangnya orang yang sudah gelap mata, dan yang tampak hanyalah jabatan, jabatan, dan jabatan, atau bayangan fasilitas untuk mempertahankan kemuliaan. Apa beratnya merangkak-rangkak?
Apa sulitnya menyatakan apa yang salah sebagai benar, apa yang hitam sebagai putih, dan apa yang nista dan memalukan sebagai keagungan, dan hakikat moralitas tertinggi? Rentang waktu yang begitu panjang, sejak zaman Orde Baru dulu hingga kini, pelajaran apa yang kita petik dari sejarah kelam, yang ditulis jiwa-jiwa yang serakah, yang haus kekuasaan dan kemurahan fasilitas? Kegelapan seperti itu masih kurang gelap? Kekejaman terhadap kemanusiaan macam itu masih kurang kejam?
Kecenderungan memalsukan kebenaran macam itu—yang sejak dulu hingga sekarang tetap ada—masih juga kurang culas, dan kurang kejam? Apa yang begitu memalukan itu masih juga kurang memalukan? Pelajaran bahwa Pak Harto yang dahsyat, yang tentara yang cekatan dan tak kalah kejamnya, tapi akhirnya jatuh juga, dan menjadi bukan apa-apa. Masihkah itu kurang jelas? Masih adakah sekarang ini orang yang percaya bahwa penguasa akan tetap selamanya menjadi penguasa?
Rezim penguasa demi rezim penguasa jatuh, dan kembali ke dalam debu, masih tak cukup juga untuk menjadi pelajaran bagi kita? Kalau dunia saja dikatakan hanya fana, apa sebutan bagi sebuah jabatan dan rezim penguasa? Semua ini ditambah runtuhnya moralitas kaum politisi dan di sana sini makin bejatnya sikap para penegak hukum, dan para pembela hukum. Maupun para birokrat yang sangat korup jelas merupakan tanda bahwa soko guru—tiang utama penyangga— negara kita sudah “doyong”, miring, atau melengkung, tidak lagi tegak seperti dulu.
Soko guru kenegaraan kita mendekati keruntuhan total. Para pemimpin dan pejabat negara maupun cara-cara pengelolaan negara sudah menyimpang dari konstitusi, menyimpang dari aturan hukum dan menyimpang dari kelayakan hidup. Penyimpangan demi penyimpangan dilakukan terus, tak peduli suara hati nurani yang tak disertai pamrih ini pamrih itu. Yang menyimpang tetap betah. Para bawahan dan anggota staf yang tiap hari diajak berunding, tak melihat penyimpangan itu.
Para anggota staf, yang merupakan “loyalis” itu telah menjadi “royalis”, warga istana, yang turut buta, tuli dan tak peduli akan kebenaran. Soko guru kenegaraan yang sudah doyong, yang miring dan tanda bakal runtuh, dianggap tegak lurus menuding langit, dan semuanya benar adanya.
O, betapa mengerikan. Ini tanda yang lain: bila kaum muda juga sudah buta akan kebenaran, soko guru bukan lagi sekadar “doyong”, miring, melainkan sudah runtuh.
MOHAMAD SOBARY
Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan
Email: [email protected]
Dalam situasi seperti ini anggota keluarga besar, ninikmamak, menanggung malu. Tindakan darurat harus dilakukan. Tapi, derita negeri ini jauh lebih mendalam, lebih serius dibandingkan dengan sekadar rasa malu. Warga negara, yang disebut “devoted citizens”, atau “concerned citizens”, atau mereka yang merasa bahwa apa yang merupakan cita-cita kita bernegara sudah menyimpang semakin jauh, juga merasa sangat prihatin. Lalu mereka berpikir mengenai jalan keluar agar jebakan kehancuran tak sungguh-sungguh mematikan kehidupan kita.
Mereka ini mencintai negeri ini seperti dulu, ketika di zaman Orde Baru, mereka resah, dan menyampaikan pemikiran penyelamatan. Mereka merasa bertanggung jawab atas keselamatan negeri kita sehingga berbagai pemikiran politik dan kebudayaan, dan langkah-langkah kecil menyelamatkan kehidupan sesuai kemampuan, dikemukakan. Sering dari kalangan ini terdengar suara sangat kritis.
Tapi, pemerintah—didukung militer yang sangat mengerikan, yang membuat bangsa asing menyebut kita ini negara yang militeristik—tidak mau menerima suara lain selain suara pujaan, persetujuan, dan dukungan. Maka itu, tampillah organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa maupun berbagai ordebo partai yang namanya bukan partai, serta kekerabatan ini dan itu, yang seolah siap menghadapi risiko apa pun demi membela pemerintah. Tiap sore di layar televisi lahir dukungan, pernyataan sikap, dan kesediaan membela pemerintah.
Mereka berteriak dan memihak tanpa “reserve”— tentu saja sambil menjilat tanpa rasa malu—bahwa pemerintah dan semua jenis kebijakan pemerintah sudah benar belaka. “Bapak pembangunan” didengungkan sebagai pujaan, atau kultus untuk mengagungkan Pak Harto, sambil memperlihatkan sikap menghamba yang mengenaskan, seolah warga negara para hamba sahaya di hadapan duli tuanku yang murah hati.
Saat, dan pada momentum pendek itu, “civic education” mati, atau terbunuh oleh jiwa-jiwa yang merangkak di depan kekuasaan. Sikap loyal menjadi sangat berlebihan seperti sikap para hamba keraton, yang secara kultural memang harus seperti itu. Orangtua maupun kaum muda, serentak belajar merangkak, diselingi sikap menjilat demi sedikit fasilitas, atau jaminan jabatan yang menjanjikan kemakmuran.
Memang banyak kalangan tua dan kaum muda yang makmur. Tapi, mereka yang kritis, dan bersikap jujur, sekadar menunjukkan sikap yang benar secara politik, digilas setandas-tandasnya. Gerak-gerik dan bahkan pemikiran mereka diawasi. Ke sana ke mari mereka dikuntit aparat, yang hendak menjalankan tugas, diperintah atau tidak, sambil mencari muka. Banyak orang yang naik pangkat dan naik jabatan karena berhasil mencelakai orang lain, sesama warga negara yang bertanggung jawab mencintai negerinya.
Sejak saat itu makin jelas, sikap loyal sebagai warga negara tampil menjadi sikap menghamba tanpa batas. Maka itu, berubahlah sikap kaum “loyalis” menjadi kaum “royalis”, apa pun yang terjadi, pihak istana tak mungkin salah. Pemerintah dan militer, yang sebagian orang-orangnya masih ada sekarang, tak bisa menerima kenyataan selain bahwa pemerintah telah besar jasanya, pemerintah telah berbuat banyak dan gigih bekerja untuk menyejahterakan bangsa.
Suara kritis dimatikan. Tak jarang cara mematikan kritik yang sehat itu menjadi pembunuhan bagi mereka yang kritis. Membungkam sikap, membungkam suara, sama saja artinya dengan membungkam orangnya untuk selama-lamanya. Di istana lahirlah suatu “paduan” suara. Suara para pejabat dipandu, harus begini harus begitu. Nadanya harus segini atau segitu. Tradisi istana, dan sikap orang-orang istana seperti itu, dibikin lestari hingga hari ini.
Cara membikinnya jelas berbeda. Selalu ada nuansa demokratis. Selalu ada sikap merasa tertindas, dan karena itu segenap kawula istana diminta memahami keadaan. Ini bukan perkara sulit. Di sana juga banyak orang yang merasa harus mempertahankan jabatan. Di sana tak kurang-kurangnya orang yang sudah gelap mata, dan yang tampak hanyalah jabatan, jabatan, dan jabatan, atau bayangan fasilitas untuk mempertahankan kemuliaan. Apa beratnya merangkak-rangkak?
Apa sulitnya menyatakan apa yang salah sebagai benar, apa yang hitam sebagai putih, dan apa yang nista dan memalukan sebagai keagungan, dan hakikat moralitas tertinggi? Rentang waktu yang begitu panjang, sejak zaman Orde Baru dulu hingga kini, pelajaran apa yang kita petik dari sejarah kelam, yang ditulis jiwa-jiwa yang serakah, yang haus kekuasaan dan kemurahan fasilitas? Kegelapan seperti itu masih kurang gelap? Kekejaman terhadap kemanusiaan macam itu masih kurang kejam?
Kecenderungan memalsukan kebenaran macam itu—yang sejak dulu hingga sekarang tetap ada—masih juga kurang culas, dan kurang kejam? Apa yang begitu memalukan itu masih juga kurang memalukan? Pelajaran bahwa Pak Harto yang dahsyat, yang tentara yang cekatan dan tak kalah kejamnya, tapi akhirnya jatuh juga, dan menjadi bukan apa-apa. Masihkah itu kurang jelas? Masih adakah sekarang ini orang yang percaya bahwa penguasa akan tetap selamanya menjadi penguasa?
Rezim penguasa demi rezim penguasa jatuh, dan kembali ke dalam debu, masih tak cukup juga untuk menjadi pelajaran bagi kita? Kalau dunia saja dikatakan hanya fana, apa sebutan bagi sebuah jabatan dan rezim penguasa? Semua ini ditambah runtuhnya moralitas kaum politisi dan di sana sini makin bejatnya sikap para penegak hukum, dan para pembela hukum. Maupun para birokrat yang sangat korup jelas merupakan tanda bahwa soko guru—tiang utama penyangga— negara kita sudah “doyong”, miring, atau melengkung, tidak lagi tegak seperti dulu.
Soko guru kenegaraan kita mendekati keruntuhan total. Para pemimpin dan pejabat negara maupun cara-cara pengelolaan negara sudah menyimpang dari konstitusi, menyimpang dari aturan hukum dan menyimpang dari kelayakan hidup. Penyimpangan demi penyimpangan dilakukan terus, tak peduli suara hati nurani yang tak disertai pamrih ini pamrih itu. Yang menyimpang tetap betah. Para bawahan dan anggota staf yang tiap hari diajak berunding, tak melihat penyimpangan itu.
Para anggota staf, yang merupakan “loyalis” itu telah menjadi “royalis”, warga istana, yang turut buta, tuli dan tak peduli akan kebenaran. Soko guru kenegaraan yang sudah doyong, yang miring dan tanda bakal runtuh, dianggap tegak lurus menuding langit, dan semuanya benar adanya.
O, betapa mengerikan. Ini tanda yang lain: bila kaum muda juga sudah buta akan kebenaran, soko guru bukan lagi sekadar “doyong”, miring, melainkan sudah runtuh.
MOHAMAD SOBARY
Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan
Email: [email protected]
(hyk)