Ulang tahun Jakarta dan kenaikan harga BBM
A
A
A
Tak ada lagi rasanya hadiah yang lebih fenomenal bagi ulang tahun DKI Jakarta selain yang terjadi di ulang tahun yang ke-486 ini, yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Dengan jumlah kendaraan bermotor mencapai 13,3 juta unit yang terdiri atas sekitar 9,9 juta motor, 2,6 juta mobil, 0,5 juta mobil angkutan, dan 0,3 juta bus (Polda Metro Jaya), jelas Jakarta menjadi provinsi yang paling haus menenggak BBM bersubsidi. Memang tak semuanya berasal dari Jakarta, melainkan juga dari kota-kota satelit di sekeliling Jakarta, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek).
Kondisi ini pula kiranya yang sering kali menjadi salah satu alasan pembenar para pengkritik subsidi BBM karena melihat para penikmat subsidi BBM umumnya adalah kalangan menengah dan atas yang cenderung mampu secara ekonomi. Memang benar, penduduk Jakarta sudah sedemikian tergantung pada kendaraan pribadi sehingga akhirnya mendorong borosnya konsumsi BBM bersubsidi. Jika melihat kondisi Jakarta yang memang belum mencukupi transportasi massalnya, tak aneh bila penduduknya menjadi pengguna kendaraan pribadi.
Bahkan kepemilikan kendaraan pribadi menjadi suatu keharusan bagi sebagian warga Jakarta. Mereka adalah warga Jakarta yang tempat tinggalnya relatif tidak terjangkau sistem transportasi massal yang relatif cukup bisa diandalkan seperti kereta listrik dan Transjakarta. Bagi mereka secara ekonomi tidak efisien jika menggunakan moda transportasi massal tersebut sehingga kendaraan pribadi menjadi opsi terbaik dibandingkan harus naik bus umum atau angkutan kota yang jalurnya semrawut, kualitasnya rendah, dan tinggi tingkat kriminalitasnya.
Bahkan atas kondisi itu, salah satu kantor berita asing pernah menurunkan sebuah liputan yang menjadi perhatian dunia internasional tentang penduduk Jakarta yang harus menghabiskan porsi terbesar dari penghasilannya untuk cicilan sepeda motor. Artinya secara sistemik kondisi memaksa penduduk Jakarta dan Bodetabek menghabiskan penghasilannya untuk mencicil sepeda motor, juga mobil, alih-alih untuk keperluan peningkatan gizi anak-anaknya.
Masalah ini jelas memberikan porsi yang tidak sedikit dalam peningkatan konsumsi BBM bersubsidi. Sebagai dampaknya, Jakarta kian tidak nyaman untuk ditinggali. Kemacetan dan polusi menjadi menu sehari-hari. Di jam-jam sibuk, kemacetan bahkan sudah menyergap warga Ibu Kota dari jalan-jalan kompleks perumahan dan semua “jalan tikus”. Nyaris tidak ada ruas jalan yang tidak macet.
Ritme kerja tinggi yang harus dihadapi umumnya penduduk Jakarta ternyata harus ditambah lagi dengan rasa frustrasi mengarungi lautan macet saat berangkat dan pulang kerja. Rasanya perlu juga dibuatkan suatu studi yang melihat korelasi antara kemacetan dan stres yang menghinggapi warga Jakarta. Untungnya perubahan yang dijanjikan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sedikit demi sedikit mulai dijalankan.
Hal itu terlihat dari progres penambahan bus-bus baru Transjakarta dan mulai diluncurkannya kembali proyek monorel yang sempat mangkrak. Semua pihak harus mendukung program yang baik ini. Memang Jakarta harus menjadi percontohan dalam perbaikan dan inovasi.
Kemacetan, tingginya kepemilikan kendaraan pribadi, serta tingginya konsumsi BBM merupakan masalah yang pernah dihadapi kota-kota metropolitan di berbagai belahan bumi dan mereka mampu menyelesaikannya terutama lewat penguatan transportasi massal dan perbaikan pola pemukiman. Jika mampu menguatkan transportasi massalnya, Jakarta akan menjadi role model bagi semua kota besar di Indonesia dalam menyejahterakan warganya sekaligus menekan konsumsi BBM bersubsidi.
Dengan jumlah kendaraan bermotor mencapai 13,3 juta unit yang terdiri atas sekitar 9,9 juta motor, 2,6 juta mobil, 0,5 juta mobil angkutan, dan 0,3 juta bus (Polda Metro Jaya), jelas Jakarta menjadi provinsi yang paling haus menenggak BBM bersubsidi. Memang tak semuanya berasal dari Jakarta, melainkan juga dari kota-kota satelit di sekeliling Jakarta, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek).
Kondisi ini pula kiranya yang sering kali menjadi salah satu alasan pembenar para pengkritik subsidi BBM karena melihat para penikmat subsidi BBM umumnya adalah kalangan menengah dan atas yang cenderung mampu secara ekonomi. Memang benar, penduduk Jakarta sudah sedemikian tergantung pada kendaraan pribadi sehingga akhirnya mendorong borosnya konsumsi BBM bersubsidi. Jika melihat kondisi Jakarta yang memang belum mencukupi transportasi massalnya, tak aneh bila penduduknya menjadi pengguna kendaraan pribadi.
Bahkan kepemilikan kendaraan pribadi menjadi suatu keharusan bagi sebagian warga Jakarta. Mereka adalah warga Jakarta yang tempat tinggalnya relatif tidak terjangkau sistem transportasi massal yang relatif cukup bisa diandalkan seperti kereta listrik dan Transjakarta. Bagi mereka secara ekonomi tidak efisien jika menggunakan moda transportasi massal tersebut sehingga kendaraan pribadi menjadi opsi terbaik dibandingkan harus naik bus umum atau angkutan kota yang jalurnya semrawut, kualitasnya rendah, dan tinggi tingkat kriminalitasnya.
Bahkan atas kondisi itu, salah satu kantor berita asing pernah menurunkan sebuah liputan yang menjadi perhatian dunia internasional tentang penduduk Jakarta yang harus menghabiskan porsi terbesar dari penghasilannya untuk cicilan sepeda motor. Artinya secara sistemik kondisi memaksa penduduk Jakarta dan Bodetabek menghabiskan penghasilannya untuk mencicil sepeda motor, juga mobil, alih-alih untuk keperluan peningkatan gizi anak-anaknya.
Masalah ini jelas memberikan porsi yang tidak sedikit dalam peningkatan konsumsi BBM bersubsidi. Sebagai dampaknya, Jakarta kian tidak nyaman untuk ditinggali. Kemacetan dan polusi menjadi menu sehari-hari. Di jam-jam sibuk, kemacetan bahkan sudah menyergap warga Ibu Kota dari jalan-jalan kompleks perumahan dan semua “jalan tikus”. Nyaris tidak ada ruas jalan yang tidak macet.
Ritme kerja tinggi yang harus dihadapi umumnya penduduk Jakarta ternyata harus ditambah lagi dengan rasa frustrasi mengarungi lautan macet saat berangkat dan pulang kerja. Rasanya perlu juga dibuatkan suatu studi yang melihat korelasi antara kemacetan dan stres yang menghinggapi warga Jakarta. Untungnya perubahan yang dijanjikan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sedikit demi sedikit mulai dijalankan.
Hal itu terlihat dari progres penambahan bus-bus baru Transjakarta dan mulai diluncurkannya kembali proyek monorel yang sempat mangkrak. Semua pihak harus mendukung program yang baik ini. Memang Jakarta harus menjadi percontohan dalam perbaikan dan inovasi.
Kemacetan, tingginya kepemilikan kendaraan pribadi, serta tingginya konsumsi BBM merupakan masalah yang pernah dihadapi kota-kota metropolitan di berbagai belahan bumi dan mereka mampu menyelesaikannya terutama lewat penguatan transportasi massal dan perbaikan pola pemukiman. Jika mampu menguatkan transportasi massalnya, Jakarta akan menjadi role model bagi semua kota besar di Indonesia dalam menyejahterakan warganya sekaligus menekan konsumsi BBM bersubsidi.
(mhd)