Menyikapi proteksi sosial

Kamis, 20 Juni 2013 - 08:14 WIB
Menyikapi proteksi sosial
Menyikapi proteksi sosial
A A A
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) baru telah disepakati. Dari sisi pengeluaran pemerintah, cukup banyak pengurangan subsidi. Ada potensi untuk mengarahkan subsidi pada investasi biaya modal.

Sementara perkiraan dampak yang dihasilkan sangat beragam. Mulai dari kenaikan inflasi tahunan (year to year) yang diperkirakan 7,5% hingga kenaikan indeks harga umum sekitar 2,5%. Perkiraan juga mengenai akan adanya peningkatan jumlah penduduk yang bakal masuk ke kelompok berpenghasilan 20% terendah beserta potensi dampak sosial lainnya, bisa putus sekolah, kenaikan angka pengangguran maupun kelesuan ekonomi pada sektor informal.

Dampak penundaan kenaikan harga tampaknya lebih besar ketimbang rentang waktu ancang-ancang kenaikan harga BBM dibuat lebih singkat. Pada ancang-ancang lebih lama, selama itu harga-harga sudah mengalami kenaikan. Setelah terjadi kenaikan harga BBM, diperkirakan akan naik pula indeks harga konsumen. Jelas ini akan berdampak kepada kelompok rumah tangga sekitar garis kemiskinan serta mereka yang berada pada 20% penerima penghasilan terendah.

Antisipasi itu pun bahkan lebih dulu disikapi Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan suku bunga dari 5,75% menjadi 6%. Untuk mengurangi dampak ekonomi yang lebih berat, pemerintah telah merencanakan berbagai skema program. Mulai dengan rencana BantuanLangsung Sementara Masyarakat (BLSM), bantuan pendidikan hingga beras untuk rakyat miskin (raskin). Diperkirakan skema ini akan berjalan dalam rentang enam bulan pertama dan setelah itu dilanjutkan dengan program yang berkaitan dengan perluasan lapangan pekerjaan.

Pengalaman Antarnegara

Begitu menariknya program kompensasi di kala ada guncangan ekonomi eksternal maupun kebijakan fiskal internal, program transfer uang cash transfer pun diadopsi hampir di banyak negara berkembang seperti Afrika, Asia Selatan, Amerika Latin, Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Kamboja.

Program penyesuaian sangat bervariasi, tetapi lebih banyak ditujukan untuk memenuhi daya beli keluarga miskin, mulai dari bentuk subsidi pangan, transfer uang secara tunai, program pemberian dana bersyarat hingga bantuan beasiswa. Program proteksi sosial ini kemudian diharapkan mengembalikan kondisi keluarga miskin ke keadaan sebelum terjadinya pemburukan ekonomi secara temporer.

Santiago M Pinto (2004) dalam kajiannya di perkotaan Asia Selatan menyarankan agar bantuan langsung dikombinasikan dengan bantuan barang. Untuk daerah perkotaan perlu diperhitungkan mobilitas kelompok penerima program. Armando Barientos (2006) dalam kajiannya di Afrika Selatan lebih menyarankan agar cash transfer ditujukan kepada anak-anak keluarga miskin mengingat jika kepada orang tuanya akan digunakan untuk kepentingan sekunder yang tidak langsung terpenuhi gizi dan pendidikan anaknya.

Adapun dalam kajian Deon Filmer (2010) di Kamboja, dampak cash transfer untuk meningkatkan akses pendidikan anak keluarga miskin. Lalu menurut Sophie Mitra (2010), fokus kebijakan cash transfer lebih efektif hanya untuk kelompok masyarakat tua yang lemah, kelompok disable, dan para penganggur. Program kompensasi ini juga diperluas untuk meningkatkan keterlibatan para penganggur untuk bekerja.

Dengan program publik, berupa keterlibatan keluarga miskin dalam bekerja dalam membersihkan sarana publik, penerimaan mereka dalam jangka pendek dapat ditingkatkan. Kajian yang sukses untuk Meksiko dilakukan Simon Davies dan James Davey (2008).

Budaya Tergantung

Kekhawatiran dari program kompensasi ada beberapa hal. Pertama, program kompensasi menggunakan manajemen terpusat, sentralisasi, sementara dalam pelaksanaannya diduga akan dapat bias, dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Kartu yang dibagikan dibuat baru oleh pemerintah, padahal dapat diintegrasikan dengan e- KTP yang sudah selesai diidentifikasi.

Kedua,program raskin tidak banyak dampaknya terhadap ekonomi lokal. Sebab raskin akan diimpor, padahal pangan lokal jauh lebih besar efek multiplier-nya. Dana raskin lebih baik diarahkan untuk membeli pangan lokal sehingga akan dapat meningkatkan aktivitas penanaman dan transaksi pembelian di pasar-pasar desa diperkirakan akan meningkat.

Ketiga,fokus bantuan pendidikan dan kesehatan dapat memperbaiki akses agar dalam jangka panjang kelangsungan pendidikan anak-anak lebih terjamin sustained. Persoalannya adalah manajemen bantuan pendidikan memerlukan kepastian. Jika ada penundaan pembayaran, persoalan bantuan pendidikan akan menyebabkan keresahan dalam dunia pendidikan. Demikian juga untuk kebijakan kartu sehat, manajemennya ketika desentralisasi akan membuat beban baru dalam hal administratif. Diperkirakan dana bantuan akan kontraproduktif dengan program penekanan pertumbuhan penduduk.

Keempat, budaya tergantung akan meningkat dengan adanya BLSM. Sebaiknya ke depan cukup mereka yang sangat tua renta, kaum inklusif sebagai kelompok yang hanya menerima cash transfermengingat basis pemberian dengan model sekarang bisa saja bias dibelanjakan pada hal-hal yang tidak produktif seperti untuk membeli rokok, membayar pulsa ponsel, membeli bensin kendaraan, atau kepentingan yang tidak langsung memperbaiki investasi anak dan keluarga.

Kelima, ada baiknya dana transfer diberikan untuk menambah modal kerja para pedagang kaki lima. Seperti yang disampaikan Gubernur DKI Jokowi, sebaiknya program lebih berupa stimulus agar modal kerja membesar, petani dibayar jika mereka mengerjakan sawahnya, atau masyarakat mau mengerjakan irigasi untuk kepentingan pertaniannya. Insentif produktif akan jauh lebih tepat untuk mendidik agar budaya ketergantungan menjadi tidak terulang.

ELFINDRI
Guru Besar Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas (Unand), Padang
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7294 seconds (0.1#10.140)