Lunturnya watak Pancasila
A
A
A
Lima belas tahun yang lalu, Mei 1998. Gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat berhasil meruntuhkan rezim despotik Orde Baru dengan sebuah harapan besar: bangsa ini akan lebih maju, berperadaban, demokratis, dan sejahtera.
Pembenahan institusi kenegaraan tampak telah terjadi di sana-sini, tetapi catatan-catatan merah masih saja menghiasi. Korupsi masih menjadi musuh nomor wahid sebagaimana dilansir Bidang Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kemendagri: selama kurun waktu 2004–2012 terdapat 173 kepala daerah yang terseret kasus korupsi. Gejolak anarkisme juga belum mereda, lembaga-lembaga politis pengambil kebijakan makin oligarkis, masyarakat semakin apatis dan individualis, media makin terseret kepentingan pemilik modal, keteladanan pemimpin seolah hilang.
Republik benar-benar kehilangan integritas. Melihat fakta seperti ini, kita bisa rasakan seolah bangsa ini seperti kehilangan panduan. Bergerak sesuai dengan embusan arah angin. Tak ada kompas, tak ada pemandu. Pancasila sebagai batang tubuh arah bangsa seakan dilupakan.
Bahkan parahnya, indoktrinasi nilai-nilai agung Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara kepada generasi penerus makin luntur seiring dengan konversi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di seluruh jenjang pendidikan dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Perubahan ini menimbulkan konsekuensi logis ditinggalkannya pengajaran tentang arti penting nilai-nilai Pancasila secara lebih mendalam. Padahal Pancasila merupakan nilai-nilai yang memuat konsep bermusyawarah, gotong royong, toleransi beragama, serta kerukunan hidup yang merupakan identitas dari eksistensi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai dalam Pancasila sangat dibutuhkan bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa yang majemuk ini dan mestinya menjadi sarana untuk penanaman dan pembentukan karakter anak bangsa tentang nasionalisme, patriotisme maupun cinta akan Tanah Air.
Penghapusan ini tentu akan membawa dampak yang luas bagi pemahaman siswa mengenai nilai-nilai kebangsaan yang sebetulnya banyak termuat dalam mata pelajaran PPKn.
Efek masa depan yang kita rasakan nanti akan melunturkan semangat kebangsaan, kecintaan terhadap bangsa, kepedulian sosial, tenggang rasa, dan toleransi sesama anak bangsa. Memudarnya pemahaman pelajar terhadap nilai-nilai dasar Pancasila akan membuat generasi muda kita mudah terperosok pada sikap-sikap chauvinistik, tidak mengakui NKRI, tidak taat hukum yang berdampak bagi integrasi bangsa.
Pegangan Arah Bangsa
Soekarno menegaskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia. Ia menyebut, ”Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat pemersatu yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatu di atas dasar Pancasila itu.
Dan bukan saja alat pemersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga pada hakikatnya satu alat pemersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu terutama sekali imperialisme.”
Artinya, urgensi Pancasila sebagai alat perjuangan yang membedakannya dari negara lain. Pancasila adalah karakter bangsa Indonesia. Karakter yang tiap-tiap bangsa memiliki kepribadian sendiri-sendiri.
Sebab, bangsa ini memiliki akar nilai yang kini diperas dalam satu imajinasi impian bersama bernama Pancasila. Akar nilai yang disebut Soekarno merupakan penjelmaan dari budaya bangsa.
Dalam konteks inilah Soekarno menyebut Pancasila sebagai weltanschauung (pandangan dunia) dan philosofische grondslag (dasar falsafah) bagi bangsa Indonesia untuk mengatur perikehidupan berbangsa.
Sebagai nilai luhur yang merupakan penggerak kehidupan berbangsa, Pancasila semestinya ditempatkan sebagai ”sopir ideologis” yang mengantarkan bangsa pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Pancasila adalah watak dan karakter bangsa Indonesia.
Pengikat yang mengatur jalan hidup perikemasyarakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber nilai dari perjuangan menuju cita-cita agung bangsa.
Rumusan dasar kehidupan berbangsa, pandangan hidup, dan ideologi negara yang mempersatukan keragaman dan kemajemukan bangsa. John Gardner mengatakan tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa tersebut tidak percaya kepada sesuatu dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.
Bangsa Indonesia semestinya bangga karena konsepsi ideal negara sudah paripurna. Pancasila memiliki akar kelahiran yang berangkat dari semangat untuk menciptakan negara yang adil, makmur, dan sejahtera.
Mengamalkan Pancasila
Nilai dan ajaran Pancasila seharusnya menjadi way of life bagi segenap anak bangsa. Memang selama ini pengajaran Pancasila direduksi dan dikerdikan Orde Baru sebagai penafsiran tunggal dan Pancasila digunakan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan sehingga terkesan Pancasila menjadi ideologi untuk melanggengkan kekuasaan, hal yang sudah waktunya untuk direvitalisasi.
Stigma buruk yang melekat pada Pancasila ini harus kita lunturkan sehingga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya menjadi penting bagi kehidupan berbangsa.
Revitalisasi kurikulum pendidikan Pancasila harus diprioritaskan agar mampu menumbuhkan nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dan bukan sekadar mengajarkan nilainilai Pancasila dalam bentuk hafalan saja.
Revitalisasi kurikulum pendidikan Pancasila adalah dengan mengontekstualisasi nilai-nilai Pancasila dengan semangat zaman.
Pancasila harus dibumikan dengan memahami aura kekinian tanpa mengurangi makna-makna substantifnya. Pancasila adalah ideologi negara yang menjadi pendulum gerak bangsa.
Khazanah nilai yang harus diinternalisasi dalam tiap pola pikir, pola laku, dan pola sikap. Dengan demikian Pancasila adalah bahan baku bagi seluruh entitas bangsa untuk memajukan bangsa.
Pada titian Pancasila seluruh perbedaan yang membujur dari Sabang sampai Merauke terangkai dalam sikap saling menghormati, menghargai, dan menjaganya sebagai identitas khas bangsa. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, pendidikan Pancasila bisa melahirkan karakter dan kepribadian anak bangsa.
Kepribadian yang memiliki corak sendiri. Karakter yang tidak mudah membuat seorang siswa goyah seperti pohon cemara yang tertiup angin barat ikut ke barat, tertiup angin timur ikut ke timur. Sebab ia memahami dan menghayati nilai-nilai dasar Pancasila.
M ARIF ROSYIED HASAN
Ketua Umum PB HMI Periode 2013–2015
Pembenahan institusi kenegaraan tampak telah terjadi di sana-sini, tetapi catatan-catatan merah masih saja menghiasi. Korupsi masih menjadi musuh nomor wahid sebagaimana dilansir Bidang Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kemendagri: selama kurun waktu 2004–2012 terdapat 173 kepala daerah yang terseret kasus korupsi. Gejolak anarkisme juga belum mereda, lembaga-lembaga politis pengambil kebijakan makin oligarkis, masyarakat semakin apatis dan individualis, media makin terseret kepentingan pemilik modal, keteladanan pemimpin seolah hilang.
Republik benar-benar kehilangan integritas. Melihat fakta seperti ini, kita bisa rasakan seolah bangsa ini seperti kehilangan panduan. Bergerak sesuai dengan embusan arah angin. Tak ada kompas, tak ada pemandu. Pancasila sebagai batang tubuh arah bangsa seakan dilupakan.
Bahkan parahnya, indoktrinasi nilai-nilai agung Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara kepada generasi penerus makin luntur seiring dengan konversi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di seluruh jenjang pendidikan dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Perubahan ini menimbulkan konsekuensi logis ditinggalkannya pengajaran tentang arti penting nilai-nilai Pancasila secara lebih mendalam. Padahal Pancasila merupakan nilai-nilai yang memuat konsep bermusyawarah, gotong royong, toleransi beragama, serta kerukunan hidup yang merupakan identitas dari eksistensi bangsa Indonesia.
Nilai-nilai dalam Pancasila sangat dibutuhkan bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa yang majemuk ini dan mestinya menjadi sarana untuk penanaman dan pembentukan karakter anak bangsa tentang nasionalisme, patriotisme maupun cinta akan Tanah Air.
Penghapusan ini tentu akan membawa dampak yang luas bagi pemahaman siswa mengenai nilai-nilai kebangsaan yang sebetulnya banyak termuat dalam mata pelajaran PPKn.
Efek masa depan yang kita rasakan nanti akan melunturkan semangat kebangsaan, kecintaan terhadap bangsa, kepedulian sosial, tenggang rasa, dan toleransi sesama anak bangsa. Memudarnya pemahaman pelajar terhadap nilai-nilai dasar Pancasila akan membuat generasi muda kita mudah terperosok pada sikap-sikap chauvinistik, tidak mengakui NKRI, tidak taat hukum yang berdampak bagi integrasi bangsa.
Pegangan Arah Bangsa
Soekarno menegaskan urgensi Pancasila bagi bangsa Indonesia. Ia menyebut, ”Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat pemersatu yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatu di atas dasar Pancasila itu.
Dan bukan saja alat pemersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga pada hakikatnya satu alat pemersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu terutama sekali imperialisme.”
Artinya, urgensi Pancasila sebagai alat perjuangan yang membedakannya dari negara lain. Pancasila adalah karakter bangsa Indonesia. Karakter yang tiap-tiap bangsa memiliki kepribadian sendiri-sendiri.
Sebab, bangsa ini memiliki akar nilai yang kini diperas dalam satu imajinasi impian bersama bernama Pancasila. Akar nilai yang disebut Soekarno merupakan penjelmaan dari budaya bangsa.
Dalam konteks inilah Soekarno menyebut Pancasila sebagai weltanschauung (pandangan dunia) dan philosofische grondslag (dasar falsafah) bagi bangsa Indonesia untuk mengatur perikehidupan berbangsa.
Sebagai nilai luhur yang merupakan penggerak kehidupan berbangsa, Pancasila semestinya ditempatkan sebagai ”sopir ideologis” yang mengantarkan bangsa pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Pancasila adalah watak dan karakter bangsa Indonesia.
Pengikat yang mengatur jalan hidup perikemasyarakatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber nilai dari perjuangan menuju cita-cita agung bangsa.
Rumusan dasar kehidupan berbangsa, pandangan hidup, dan ideologi negara yang mempersatukan keragaman dan kemajemukan bangsa. John Gardner mengatakan tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa tersebut tidak percaya kepada sesuatu dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.
Bangsa Indonesia semestinya bangga karena konsepsi ideal negara sudah paripurna. Pancasila memiliki akar kelahiran yang berangkat dari semangat untuk menciptakan negara yang adil, makmur, dan sejahtera.
Mengamalkan Pancasila
Nilai dan ajaran Pancasila seharusnya menjadi way of life bagi segenap anak bangsa. Memang selama ini pengajaran Pancasila direduksi dan dikerdikan Orde Baru sebagai penafsiran tunggal dan Pancasila digunakan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan sehingga terkesan Pancasila menjadi ideologi untuk melanggengkan kekuasaan, hal yang sudah waktunya untuk direvitalisasi.
Stigma buruk yang melekat pada Pancasila ini harus kita lunturkan sehingga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya menjadi penting bagi kehidupan berbangsa.
Revitalisasi kurikulum pendidikan Pancasila harus diprioritaskan agar mampu menumbuhkan nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila dan bukan sekadar mengajarkan nilainilai Pancasila dalam bentuk hafalan saja.
Revitalisasi kurikulum pendidikan Pancasila adalah dengan mengontekstualisasi nilai-nilai Pancasila dengan semangat zaman.
Pancasila harus dibumikan dengan memahami aura kekinian tanpa mengurangi makna-makna substantifnya. Pancasila adalah ideologi negara yang menjadi pendulum gerak bangsa.
Khazanah nilai yang harus diinternalisasi dalam tiap pola pikir, pola laku, dan pola sikap. Dengan demikian Pancasila adalah bahan baku bagi seluruh entitas bangsa untuk memajukan bangsa.
Pada titian Pancasila seluruh perbedaan yang membujur dari Sabang sampai Merauke terangkai dalam sikap saling menghormati, menghargai, dan menjaganya sebagai identitas khas bangsa. Dengan pemahaman yang lebih mendalam, pendidikan Pancasila bisa melahirkan karakter dan kepribadian anak bangsa.
Kepribadian yang memiliki corak sendiri. Karakter yang tidak mudah membuat seorang siswa goyah seperti pohon cemara yang tertiup angin barat ikut ke barat, tertiup angin timur ikut ke timur. Sebab ia memahami dan menghayati nilai-nilai dasar Pancasila.
M ARIF ROSYIED HASAN
Ketua Umum PB HMI Periode 2013–2015
(lns)