Parpol dan pemilu 2014
A
A
A
Tak terbantahkan, partai politik peserta pemilihan umum benar-benar berada pada posisi sentral dalam proses pengisian jabatan-jabatan politik di negeri ini.
Dari semua posisi politik yang tersedia, hanya sedikit tersedia ruang bagi mereka yang bukan dari partai politik. Sebut saja, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya bisa diisi oleh calon dari partai politik. Sejak Pemilu 2009, anggota Dewan Perwakilan Daerah pun terbuka bagi calon dari partai politik. Untuk mengisi jabatan di eksekutif, konstitusi memberikan garis demarkasi yang sangat jelas: pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diajukan oleh partai politik peserta pemilihan umum.
Begitu pula di daerah, jalur partai politik menjadi semacam jalan tol untuk menjadi calon kepala daerah lebih. Kalaupun tersedia ruang bagi calon perseorangan, pilihan melalui jalur ini seperti memilih melintas di tepi jurang terjal untuk bisa menjadi calon kepala daerah. Selain itu, jabatan-jabatan lain yang berada di luar ranah eksekutif dan legislatif juga masih memerlukan penerimaan orang partai politik. Sebut saja, untuk menjadi calon hakim agung, hasil seleksi Komisi Yudisial, masih harus diseleksi tahap berikutnya di DPR.
Begitu pula dengan komisi-komisi negara independen, semua harus melalui proses fit and proper test oleh mereka yang berasal dari partai politik di DPR. Secara sederhana, partai politik benar-benar superior dalam sistem politik kita. Dengan posisi seperti itu, partai politik sangat mungkin menjadi kekuatan yang sulit dikontrol. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan partai politik terperangkap ke dalam postulat yang pernah dikemukakan Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Boleh jadi, banyaknya petinggi partai yang terkait berbagai skandal korupsi (suap) dalam beberapa waktu terakhir menjadi bukti empirik validitas postulat Lord Acton tersebut.
Superioritas
Sebagai bagian dari upaya menelusuri akar korupsi yang melanda sebagian partai politik, medio Maret 2013 lalu Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan seminar dengan topik “Membangun Akuntabilitas Partai Politik”. Sebagai pembicara yang diminta menjelaskan penyakit akut ini dari aspek hukum tata negara, tanpa ada keraguan sedikit pun saya menyatakan bahwa salah satu penyebabnya, posisi partai politik sangat superioritas setelah perubahan UUD 1945.
Jamak d i ketahui, hasil perubahan UUD 1945 sangat bias partai politik karena mayoritas penyusun perubahan UUD 1945 adalah politisi yang merepresentasikan kepentingan partai politik. Apalagi, secara faktual perubahan UUD 1945 dilakukan di tengah krisis kepercayaan terhadap eksekutif karena pengalaman executive heavy selama di bawah kekuasaan rezim Orde Lama dan Orde Baru. Bak bergerak menggeser pendulum, partai politik berupaya memperkuat posisi DPR yang kita tahu semua anggotanya berasal dari kalangan mereka sendiri.
Dari pembacaan terhadap teks konstitusi, UUD 1945 yang dihasilkan para pendiri bangsa tidak satu pun pasal yang menyebutkan posisi partai politik dalam proses politik. Posisi demikian bergeser dengan jauh, UUD 1945 hasil perubahan memberikan tempat lebih luas kepada partai politik. Sebut saja, dalam UUD 1945 terdapat sejumlah ketentuan yang menyebut secara eksplisit posisi partai politik yaitu Pasal 6A Ayat (2), Pasal 8 Ayat (3), dan Pasal 22E Ayat (3). Kuasa partai politik itu terasa sangat menonjol bila dibandingkan dengan negara yang menganut sistem presidensial misalnya Filipina dan Amerika Serikat yang sama sekali tidak menempatkan partai politik sesentral itu dalam konstitusinya.
Celakanya, posisi superioritas partai politik tersebut seolah-olah bergerak kian liar karena tidak diikuti dengan pembatasan yang ketat di tingkat undang-undang. Salah satunya pengaturan longgar tersebut dapat dilacak dalam masalah keuangan partai politik. Dalam hal hasil penelitian Perkumpulan untuk Pemilu Demokratis (Perludem) menyebutkan bahwa serangkaian undang-undang tentang partai politik (yaitu UU No 2/2008 pengganti UU No 31/2002 yang kemudian diubah dengan UU No 2/2011) sama sekali tidak mengalami kemajuan berarti terhadap pengaturan keuangan partai politik.
Menuju Pemilu 2014
Dari segi ketentuan undangundang yang ada, tidak banyak lagi yang mungkin bisa didesakkan menghadapi Pemilu 2014. Satu-satunya yang masih mungkin diperbaiki adalah menunggu perubahan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Andaipun benar-benar terjadi perubahan, substansi yang terkait dengan upaya melunakkan superioritas partai politik tidak mungkin juga terwujud.
Dalam situasi seperti itu, sebagian kalangan yang masih mengharapkan terjadi perubahan mendasar dari hasil Pemilu 2014 perlu membuat desain bersama yang sangat luas. Misalnya, melakukan kerjakerja ekstra membangun kesadaran kepada pemilih untuk memberikan dukungan (memilih) partai politik yang masih memiliki potensi berkembang ke arah yang lebih baik. Upaya ke arah ini memang bukan pekerjaan yang sederhana dan ringan karena sebagian pemilih telah terjangkit penyakit pragmatis politik uang dalam menentukan pilihan.
Untuk itu, kampanye yang bersifat masif dan terstruktur diperlukan, terutama dalam menyampaikan track record partai politik yang menjadi peserta Pemilu 2014. Bagaimanapun diperlukan kerja keras membukakan mata pemilih untuk tidak lagi memilih partai politik yang telah dengan mudahnya mengkhianati rakyat. Dalam hal ini partai politik yang dalam Pemilu 2009 mencitrakan diri bersih dan antikorupsi, namun banyak di antara anggotanya yang tersangkut kasus korupsi (suap) harus disampaikan kepada pemilih untuk tidak dipilih kembali dalam Pemilu 2014.
Agar benar-benar menjadi momentum untuk menarik dan memindahkan mandat rakyat, Pemilu 2014 harus mampu menghukum partai politik dan politisi pengkhianat. Tanpa itu, pemilu hanya akan menjadi sarana untuk memberikan legitimasi baru kepada sebagian politisi yang saban waktu siap memperdagangkan dan menggadaikan amanah rakyat.
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang
Dari semua posisi politik yang tersedia, hanya sedikit tersedia ruang bagi mereka yang bukan dari partai politik. Sebut saja, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya bisa diisi oleh calon dari partai politik. Sejak Pemilu 2009, anggota Dewan Perwakilan Daerah pun terbuka bagi calon dari partai politik. Untuk mengisi jabatan di eksekutif, konstitusi memberikan garis demarkasi yang sangat jelas: pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diajukan oleh partai politik peserta pemilihan umum.
Begitu pula di daerah, jalur partai politik menjadi semacam jalan tol untuk menjadi calon kepala daerah lebih. Kalaupun tersedia ruang bagi calon perseorangan, pilihan melalui jalur ini seperti memilih melintas di tepi jurang terjal untuk bisa menjadi calon kepala daerah. Selain itu, jabatan-jabatan lain yang berada di luar ranah eksekutif dan legislatif juga masih memerlukan penerimaan orang partai politik. Sebut saja, untuk menjadi calon hakim agung, hasil seleksi Komisi Yudisial, masih harus diseleksi tahap berikutnya di DPR.
Begitu pula dengan komisi-komisi negara independen, semua harus melalui proses fit and proper test oleh mereka yang berasal dari partai politik di DPR. Secara sederhana, partai politik benar-benar superior dalam sistem politik kita. Dengan posisi seperti itu, partai politik sangat mungkin menjadi kekuatan yang sulit dikontrol. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan partai politik terperangkap ke dalam postulat yang pernah dikemukakan Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Boleh jadi, banyaknya petinggi partai yang terkait berbagai skandal korupsi (suap) dalam beberapa waktu terakhir menjadi bukti empirik validitas postulat Lord Acton tersebut.
Superioritas
Sebagai bagian dari upaya menelusuri akar korupsi yang melanda sebagian partai politik, medio Maret 2013 lalu Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan seminar dengan topik “Membangun Akuntabilitas Partai Politik”. Sebagai pembicara yang diminta menjelaskan penyakit akut ini dari aspek hukum tata negara, tanpa ada keraguan sedikit pun saya menyatakan bahwa salah satu penyebabnya, posisi partai politik sangat superioritas setelah perubahan UUD 1945.
Jamak d i ketahui, hasil perubahan UUD 1945 sangat bias partai politik karena mayoritas penyusun perubahan UUD 1945 adalah politisi yang merepresentasikan kepentingan partai politik. Apalagi, secara faktual perubahan UUD 1945 dilakukan di tengah krisis kepercayaan terhadap eksekutif karena pengalaman executive heavy selama di bawah kekuasaan rezim Orde Lama dan Orde Baru. Bak bergerak menggeser pendulum, partai politik berupaya memperkuat posisi DPR yang kita tahu semua anggotanya berasal dari kalangan mereka sendiri.
Dari pembacaan terhadap teks konstitusi, UUD 1945 yang dihasilkan para pendiri bangsa tidak satu pun pasal yang menyebutkan posisi partai politik dalam proses politik. Posisi demikian bergeser dengan jauh, UUD 1945 hasil perubahan memberikan tempat lebih luas kepada partai politik. Sebut saja, dalam UUD 1945 terdapat sejumlah ketentuan yang menyebut secara eksplisit posisi partai politik yaitu Pasal 6A Ayat (2), Pasal 8 Ayat (3), dan Pasal 22E Ayat (3). Kuasa partai politik itu terasa sangat menonjol bila dibandingkan dengan negara yang menganut sistem presidensial misalnya Filipina dan Amerika Serikat yang sama sekali tidak menempatkan partai politik sesentral itu dalam konstitusinya.
Celakanya, posisi superioritas partai politik tersebut seolah-olah bergerak kian liar karena tidak diikuti dengan pembatasan yang ketat di tingkat undang-undang. Salah satunya pengaturan longgar tersebut dapat dilacak dalam masalah keuangan partai politik. Dalam hal hasil penelitian Perkumpulan untuk Pemilu Demokratis (Perludem) menyebutkan bahwa serangkaian undang-undang tentang partai politik (yaitu UU No 2/2008 pengganti UU No 31/2002 yang kemudian diubah dengan UU No 2/2011) sama sekali tidak mengalami kemajuan berarti terhadap pengaturan keuangan partai politik.
Menuju Pemilu 2014
Dari segi ketentuan undangundang yang ada, tidak banyak lagi yang mungkin bisa didesakkan menghadapi Pemilu 2014. Satu-satunya yang masih mungkin diperbaiki adalah menunggu perubahan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Andaipun benar-benar terjadi perubahan, substansi yang terkait dengan upaya melunakkan superioritas partai politik tidak mungkin juga terwujud.
Dalam situasi seperti itu, sebagian kalangan yang masih mengharapkan terjadi perubahan mendasar dari hasil Pemilu 2014 perlu membuat desain bersama yang sangat luas. Misalnya, melakukan kerjakerja ekstra membangun kesadaran kepada pemilih untuk memberikan dukungan (memilih) partai politik yang masih memiliki potensi berkembang ke arah yang lebih baik. Upaya ke arah ini memang bukan pekerjaan yang sederhana dan ringan karena sebagian pemilih telah terjangkit penyakit pragmatis politik uang dalam menentukan pilihan.
Untuk itu, kampanye yang bersifat masif dan terstruktur diperlukan, terutama dalam menyampaikan track record partai politik yang menjadi peserta Pemilu 2014. Bagaimanapun diperlukan kerja keras membukakan mata pemilih untuk tidak lagi memilih partai politik yang telah dengan mudahnya mengkhianati rakyat. Dalam hal ini partai politik yang dalam Pemilu 2009 mencitrakan diri bersih dan antikorupsi, namun banyak di antara anggotanya yang tersangkut kasus korupsi (suap) harus disampaikan kepada pemilih untuk tidak dipilih kembali dalam Pemilu 2014.
Agar benar-benar menjadi momentum untuk menarik dan memindahkan mandat rakyat, Pemilu 2014 harus mampu menghukum partai politik dan politisi pengkhianat. Tanpa itu, pemilu hanya akan menjadi sarana untuk memberikan legitimasi baru kepada sebagian politisi yang saban waktu siap memperdagangkan dan menggadaikan amanah rakyat.
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang
(hyk)