Menumbuhkan kesadaran multikulturalisme
A
A
A
Keberadaan Maarif Institute for Culture and Humanity tanpa terasa sudah memasuki usia 10 tahun (Mei 2003-Mei 2013).
Lembaga yang didirikan Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, ini pun tetap konsisten menampilkan diri sebagai gerakan kebudayaan dalam konteks keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan. Tiga pilar ini tampak begitu berpengaruh dalam keseluruhan pemikiran dan tindakan guru bangsa yang akrab disapa Buya Syafii tersebut. Salah satu keprihatinan Buya Syafii dalam kaitan dengan kehidupan keagamaan Indonesia era kontemporer adalah maraknya radikalisme bernuansa agama. Tidak jarang dalam radikalisme itu bahkan terjadi kasus bom bunuh diri. Fenomena itu pun mengundang kritik Buya Syafii.
Dalam sebuah kesempatan Buya Syafii mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri sejatinya individu yang berani menghadapi kematian, tetapi takut dengan kehidupan. Pada konteks radikalisme yang kian marak itulah Buya Syafii mengingatkan pentingnya kesadaran terhadap nilainilai multikulturalisme. Kiprah Maarif Institute sejauh ini juga menunjukkan perhatian yang mendalam terhadap multikulturalisme. Kesadaran terhadap multikulturalisme ini diperlukan karena terjadi banyak kasus radikalisme berlatar belakang perbedaan etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. Umumnya radikalisme itu disebabkan ketidaksiapan individu atau kelompok untuk hidup dalam lingkungan yang plural.
Padahal pluralitas menurut Buya Syafii merupakan suatu keniscayaan. Dalam perspektif agama, pluralitas disebut bahkan bagian dari ketetapan Tuhan (sunnatullah). Multikulturalisme dapat dipahami sebagai paham yang mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya sehingga menumbuhkan kepedulian agar kelompok minoritas terintegrasi dalam masyarakat. Multikulturalisme juga meniscayakan kelompok mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok minoritas sehingga kekhasan identitas mereka tetap diakui (Will Kymlicka dalam Multicultural Citizenship, 1995).
Dengan demikian, arah multikulturalisme adalah menciptakan, menjamin, dan mendorong ruang publik sehingga memungkinkan beragam komunitas berkembang sesuai kekhasan masing-masing. Menurut Haryatmoko (2007), ada tiga alasan yang menjadikan kesadaran multikulturalisme diperlukan. Pertama, ada fenomena penindasan atau penafian atas dasar etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. Dikotomi antara kita (minna) dan mereka (minhum) seringkali dilembagakan dalam rangka menjauhkan kelompok minoritas dari kekuasaan.
Pelembagaan diskriminasi ini dapat kita amati di wilayah publik seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan politik, dan hubungan sosial lainnya. Agar diskriminasi ini memperoleh legitimasi, kelompok minoritas terus ditekan sehingga kehilangan eksistensinya. Kedua, istilah minoritas secara sistematis telah digunakan untuk memarginalkan kelompok tertentu dengan memberi label ”tidak terlalu penting” dalam berhubungan dengan kelompok dominan. Akibatnya, perasaan rendah diri semakin terpatri dalam struktur kesadaran kelompok minoritas.
Pada konteks inilah multikulturalisme penting untuk menjawab kebutuhan mendasar dari kelompok minoritas. Mereka harus diberikan ruang untuk mengembangkan identitas budaya dan memberikan penghargaan terhadap eksistensinya. Ketiga, kaum urban dan migran seringkali menjadi pihak yang dipinggirkan oleh kelompok dominan. Situasi ini semakin terasa sejak undang-undang otonomi daerah dilaksanakan. Apalagi dalam banyak kasus, otonomi daerah seringkali disalahartikan dengan pemihakan terhadap kepentingan warga asli (lokal) sehingga terjadi diskriminasi terhadap warga pendatang.
Rekrutmen pejabat publik pun tidak lagi didasarkan pada kompetensi, tapi asal daerah, golongan, dan afiliasi politik. Faktor dinamika politik lokal jelas sekali turut memengaruhi perspektif kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Sebagai contoh, dalam kasus pemilihan kepala daerah dan penentuan pejabat publik di daerah selalu muncul alasan bahwa yang harus menduduki jabatan adalah representasi kelompok mayoritas. Perspektif ini jelas sangat berbahaya karena akan mengakibatkan penentuan jabatan-jabatan publik tidak lagi mempertimbangkan kapasitas dan track record.
Padahal sebagai bagian dari ruang publik, jabatan tersebut harus terbuka untuk setiap orang asal memiliki kompetensi dan integritas. Sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme, rasanya kita layak belajar pada pandangan filosof Prancis, Emmanuel Lavinas (1971). Dalam teori tentang penampakan wajah (the face of the other), Lavinas mengatakan bahwa penampakan wajah bukan bagian dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu berbeda dari aku. Kendati demikian, hubungan aku dan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan.
Kehadiran yang lain bahkan akan membuahkan kedamaian dan menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan. Melalui teori penampakan wajah akan tergambar wajah yang lain. Penampakan wajah yang lain akan memungkinkan orang saling menyapa serta mengundang simpati, empati, dan kekaguman. Penampakan wajah tidak pernah membiarkan orang lepas dari tanggung jawab. Setiap orang akan dihadapkan pada penampakan wajah yang mengusik sehingga harus bersikap. Wajah yang tampak akan mencair dalam afeksi sehingga tidak hanya berhenti pada persepsi, tapi juga mengkristal dalam kesadaran seseorang.
Teori Lavinas jelas mengajarkan bahwa perjumpaan dengan wajah yang lain merupakan bentuk hubungan yang ditandai kepedulian dan nirkepentingan. Hubungan itu menyebabkan seseorang bertanggung jawab terhadap yang lain tanpa menuntut balasan. Itu berarti tidak ada tuntutan timbal balik dan tiada pula dominasi. Jika pandangan Lavinas itu mampu diterjemahkan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, akan terasa sangat indah. Individu atau kelompok tidak akan mudah menghakimi, apalagi menyakiti, karena senantiasa tergambar dalam dirinya wajah orang lain.
Menyakiti orang lain sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Bila kesadaran multikulturalisme dapat ditanamkan, kita selalu melihat pluralitas secara positif, toleran, dan optimistik. Sikap ini penting untuk melahirkan komitmen yang tulus sehingga kita terlibat aktif dalam kegiatan lintas budaya, etnis, agama, dan paham keagamaan. Jadi, jangan dihabiskan energi kita untuk memperdebatkan persoalan yang memang sudah jelas berbeda. Spirit multikulturalisme itulah yang senantiasa dikembangkan Buya Syafii dan Maarif Institute.
Pertanyaannya, maukah kita menjadi bagian dari gerakan kebudayaan untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme? Selamat ulang tahun ke-10 Maarif Institute!
BIYANTO
Dosen IAIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
Lembaga yang didirikan Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, ini pun tetap konsisten menampilkan diri sebagai gerakan kebudayaan dalam konteks keislaman, kemanusiaan, dan keindonesiaan. Tiga pilar ini tampak begitu berpengaruh dalam keseluruhan pemikiran dan tindakan guru bangsa yang akrab disapa Buya Syafii tersebut. Salah satu keprihatinan Buya Syafii dalam kaitan dengan kehidupan keagamaan Indonesia era kontemporer adalah maraknya radikalisme bernuansa agama. Tidak jarang dalam radikalisme itu bahkan terjadi kasus bom bunuh diri. Fenomena itu pun mengundang kritik Buya Syafii.
Dalam sebuah kesempatan Buya Syafii mengatakan bahwa pelaku bom bunuh diri sejatinya individu yang berani menghadapi kematian, tetapi takut dengan kehidupan. Pada konteks radikalisme yang kian marak itulah Buya Syafii mengingatkan pentingnya kesadaran terhadap nilainilai multikulturalisme. Kiprah Maarif Institute sejauh ini juga menunjukkan perhatian yang mendalam terhadap multikulturalisme. Kesadaran terhadap multikulturalisme ini diperlukan karena terjadi banyak kasus radikalisme berlatar belakang perbedaan etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. Umumnya radikalisme itu disebabkan ketidaksiapan individu atau kelompok untuk hidup dalam lingkungan yang plural.
Padahal pluralitas menurut Buya Syafii merupakan suatu keniscayaan. Dalam perspektif agama, pluralitas disebut bahkan bagian dari ketetapan Tuhan (sunnatullah). Multikulturalisme dapat dipahami sebagai paham yang mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya sehingga menumbuhkan kepedulian agar kelompok minoritas terintegrasi dalam masyarakat. Multikulturalisme juga meniscayakan kelompok mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok minoritas sehingga kekhasan identitas mereka tetap diakui (Will Kymlicka dalam Multicultural Citizenship, 1995).
Dengan demikian, arah multikulturalisme adalah menciptakan, menjamin, dan mendorong ruang publik sehingga memungkinkan beragam komunitas berkembang sesuai kekhasan masing-masing. Menurut Haryatmoko (2007), ada tiga alasan yang menjadikan kesadaran multikulturalisme diperlukan. Pertama, ada fenomena penindasan atau penafian atas dasar etnis, budaya, agama, dan paham keagamaan. Dikotomi antara kita (minna) dan mereka (minhum) seringkali dilembagakan dalam rangka menjauhkan kelompok minoritas dari kekuasaan.
Pelembagaan diskriminasi ini dapat kita amati di wilayah publik seperti pekerjaan, pendidikan, jabatan politik, dan hubungan sosial lainnya. Agar diskriminasi ini memperoleh legitimasi, kelompok minoritas terus ditekan sehingga kehilangan eksistensinya. Kedua, istilah minoritas secara sistematis telah digunakan untuk memarginalkan kelompok tertentu dengan memberi label ”tidak terlalu penting” dalam berhubungan dengan kelompok dominan. Akibatnya, perasaan rendah diri semakin terpatri dalam struktur kesadaran kelompok minoritas.
Pada konteks inilah multikulturalisme penting untuk menjawab kebutuhan mendasar dari kelompok minoritas. Mereka harus diberikan ruang untuk mengembangkan identitas budaya dan memberikan penghargaan terhadap eksistensinya. Ketiga, kaum urban dan migran seringkali menjadi pihak yang dipinggirkan oleh kelompok dominan. Situasi ini semakin terasa sejak undang-undang otonomi daerah dilaksanakan. Apalagi dalam banyak kasus, otonomi daerah seringkali disalahartikan dengan pemihakan terhadap kepentingan warga asli (lokal) sehingga terjadi diskriminasi terhadap warga pendatang.
Rekrutmen pejabat publik pun tidak lagi didasarkan pada kompetensi, tapi asal daerah, golongan, dan afiliasi politik. Faktor dinamika politik lokal jelas sekali turut memengaruhi perspektif kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Sebagai contoh, dalam kasus pemilihan kepala daerah dan penentuan pejabat publik di daerah selalu muncul alasan bahwa yang harus menduduki jabatan adalah representasi kelompok mayoritas. Perspektif ini jelas sangat berbahaya karena akan mengakibatkan penentuan jabatan-jabatan publik tidak lagi mempertimbangkan kapasitas dan track record.
Padahal sebagai bagian dari ruang publik, jabatan tersebut harus terbuka untuk setiap orang asal memiliki kompetensi dan integritas. Sebagai upaya untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme, rasanya kita layak belajar pada pandangan filosof Prancis, Emmanuel Lavinas (1971). Dalam teori tentang penampakan wajah (the face of the other), Lavinas mengatakan bahwa penampakan wajah bukan bagian dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu berbeda dari aku. Kendati demikian, hubungan aku dan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan.
Kehadiran yang lain bahkan akan membuahkan kedamaian dan menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan. Melalui teori penampakan wajah akan tergambar wajah yang lain. Penampakan wajah yang lain akan memungkinkan orang saling menyapa serta mengundang simpati, empati, dan kekaguman. Penampakan wajah tidak pernah membiarkan orang lepas dari tanggung jawab. Setiap orang akan dihadapkan pada penampakan wajah yang mengusik sehingga harus bersikap. Wajah yang tampak akan mencair dalam afeksi sehingga tidak hanya berhenti pada persepsi, tapi juga mengkristal dalam kesadaran seseorang.
Teori Lavinas jelas mengajarkan bahwa perjumpaan dengan wajah yang lain merupakan bentuk hubungan yang ditandai kepedulian dan nirkepentingan. Hubungan itu menyebabkan seseorang bertanggung jawab terhadap yang lain tanpa menuntut balasan. Itu berarti tidak ada tuntutan timbal balik dan tiada pula dominasi. Jika pandangan Lavinas itu mampu diterjemahkan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, akan terasa sangat indah. Individu atau kelompok tidak akan mudah menghakimi, apalagi menyakiti, karena senantiasa tergambar dalam dirinya wajah orang lain.
Menyakiti orang lain sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Bila kesadaran multikulturalisme dapat ditanamkan, kita selalu melihat pluralitas secara positif, toleran, dan optimistik. Sikap ini penting untuk melahirkan komitmen yang tulus sehingga kita terlibat aktif dalam kegiatan lintas budaya, etnis, agama, dan paham keagamaan. Jadi, jangan dihabiskan energi kita untuk memperdebatkan persoalan yang memang sudah jelas berbeda. Spirit multikulturalisme itulah yang senantiasa dikembangkan Buya Syafii dan Maarif Institute.
Pertanyaannya, maukah kita menjadi bagian dari gerakan kebudayaan untuk menumbuhkan kesadaran multikulturalisme? Selamat ulang tahun ke-10 Maarif Institute!
BIYANTO
Dosen IAIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
(hyk)