Sekadar tegas tidak cukup

Senin, 29 April 2013 - 11:52 WIB
Sekadar tegas tidak...
Sekadar tegas tidak cukup
A A A
NEGERI Alengka itu rajanya sangat tegas. Ketegasannya bahkan tak bisa diukur dengan sekadar menggunakan kriteria yang biasa kita pahami dalam kehidupan sehari-hari. Jika dia melihat tingkah laku raja dari negeri lain yang menyinggung perasaannya, dia putuskan segera negeri itu harus diserbu dan dihancurluluhkan.

Keputusannya merupakan hukum yang tak bisa dibantah. Perintahnya merupakan kewajiban yang tak bisa ditunda, apalagi dibantah. Patih atau perdana menteri, panglima perang, dan seluruh kerabat istana tak lebih dari orang-orang yang bergerak karena kemauannya. Mereka tak boleh memiliki kemauan sendiri. Kepada mereka yang bersedia menjadi ”bayangan” sang raja, mereka hidup makmur dan posisinya istimewa.

Tapi, sebaliknya, kepada mereka yang memiliki jiwa merdeka dan pendirian yang berseberangan dengan pendirian baginda raja, orang seperti itu tidak ada gunanya. Kepandaian dan kejujuran sikap yang menjunjung tinggi kebenaran tidak mendapat tempat di hati baginda raja. Itulah ketegasan yang mencolok di dalam karya sastra pedalangan kita, yang tiap dipertontonkan, kita para penonton menyimak baik-baik sepak terjang raja itu dengan perasaan ngeri dan kita siap untuk menyingkirkannya dari dari kamus kehidupan kita.

Raja-raja di sekeliling negeri Alengka sudah menjadi orang jajahan yang diperlakukan sebagai budak. Negeri-negeri yang masih merdeka cemas bila sewaktu-waktu digempur dengan kekuatan militer yang tak terbayangkan ganasnya. Hidup seolah hanya berisi kecemasan. Kekuatan negeri Alengka bukan merupakan jaminan perlindungan bagi negeri-negeri kecil dan lemah, melainkan merupakan ancaman.

Raja itu memang tidak dilahirkan sebagai pelindung. Kita tahu, raja itu memang manusia yang belum ”jadi” dan mungkin tak akan pernah ”jadi”. Dia raksasa yang terlahir dari sikap terkutuk, hidup di lingkungan yang juga terkutuk. Maka, kepemimpinannya pun terkutuk. Ketegangannya merupakan keganasan yang siap menghancurkan siapa saja yang tak sejalan dengan sikapnya.

Rasanya orang tak perlu menjadi ahli politik atau pemikir ulung untuk mengetahui bahwa ketegasan seperti ini bukan model sikap yang kita cari untuk memperbaiki kehidupan bangsa kita. Kita sudah mengalami zaman Orde Baru yang supertegas. Tapi kita melakukan reformasi secara total, menyeluruh, dan berusaha menghindari semua jenis ketegasan Orde Baru yang tak memberi jaminan rasa aman.

Pak Harto (mantan Presiden Soeharto) memang tegas. Apa maunya jelas. Beliau bisa menguraikan secara terperinci apa yang harus dilakukan. Para menteri kemudian tinggal menjalakan perintahnya. Semua hanya tinggal perkara teknis pelaksanaan. Ini jelas dan tegas. Tapi kita tak menyukainya karena di balik ketegasannya, orang tak diberi alternatif berpikir lain dan menjadi diri yang lain yang tak berada di dalam bayangan kekuasaannya, membungkam kalangan pemuda dan mahasiswa.

Di zaman ini kita menghadapi persoalan ruwet yang tak pernah dipecahkan secara tegas. Jangan salah, ini bukan karena sikap terbuka dan demokratis, melainkan karena tidak tahu apa yang harus dilakukan dan jika tahu, dia tak punya keberanian bertindak. Kebebasan seperti ini membuat rakyat frustrasi dan mengejek sampai jauh di luar batas sopan santun. Orang pun bebas menamakannya apa saja.

Kita bosan hidup di bawah pola kepemimpinan yang membiarkan segala persoalan berkembang menjadi perdebatan ”liar” tanpa kendali dan tanpa kebijakan yang jelas. Maka dalam situasi itu orang merindukan ketegasan. Pemimpin harus tegas. Pemimpinan harus punya kemauan dan harus punya kiblat tersendiri, yang diikuti rakyatnya.

Tegas itu apa?
Sopir-sopir taksi, tukang ojek, tukang bajai, pedagang asongan, dan kalangan bawah pada umumnya bicara hal yang sama. Tapi ketika ditanya apa yang dimaksud ketegasan, tak ada yang bisa menjelaskannya. Mereka hanya rindu pada apa yang disebut ketegasan. Dengan ketegangan semua soal selesai dengan cepat.

Tapi ketika diingatkan tentang ketegasan Orde Baru, yang di baliknya terdapat ancaman mengerikan dan matinya kebebasan berpikir sehingga Daud Jusuf yang merasa diberi tempat mewah sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan siap membungkam kalangan pemuda dan mahasiswa, mereka ogah. Sebagai menteri pendidikan Daud Jusuf siap tidak mendidik.

Sebagai menteri kebudayaan Daud Jusuf siap meniadakan kebudayaan yang bisa berkembang menjadi kapital masa depan. Kebudayaan dimatikan melalui kematian kebebasan kreatif dan kemandirian dalam cara memandang hidup dan masa depan kita sendiri. Jika sekadar bicara perkara ketegasan, Daud Jusuf kurang tegas apa? Kampus-kampus di seluruh pelosok negeri menggeram karena marah sekaligus karena tak berdaya.

Pendidikan macam apa yang melahirkan ketakutan dan ketidakberdayaan macam ini? Apa makna ketegasan bila tegas hanya punya satu makna: menakutkan atau membuat kita tak berdaya? Tegas, semata-mata tegas, yang menjadi kata benda ”ketegasan” itu sama sekali tidak cukup. Bahkan mungkin ketegasan macam itu bukan yang kita cari untuk memandu kehidupan dan jalan mencari penyelamatan masa depan kita. Kemiskinan sudah menjadi ancaman menakutkan.

Tapi karena kita sudah terbiasa hidup di dalamnya, kemiskinan tidak lagi kita lihat sebagai ancaman, tetapi kita tahu kita harus bebas dari kemiskinan itu. Ini saja, sejak kita merdeka, masih menjadi problem tak terpecahkan. Maka janganlah ditambah-tambah dengan sesuatu yang tak kita pahami seperti ketegasan tadi.

Apa artinya tegas kalau buka mulut pun dilarang? Apa artinya tegas––sekali lagi setegas Daud Jusuf––jika nalar tak boleh berkembang menurut jalur yang bukan jalur resmi pemerintah? Apa artinya tegas jika cara memandang dunia sudah ditentukan dan tak boleh menyimpang dari cara pandang orangtua yang tak tahu makna kehidupan generasi masa depan? Raja, presiden, yang memimpin hanya dengan ketegasan, bukan jawaban bagi masalah nasional kita.

Ketegasan tidak cukup. Kita menggunakan kelemahan kepemimpinan sekarang dan mencari model kepemimpinan yang sebaliknya. Ini bahaya masa depan yang jelas. Orde Baru yang otoriter tak bisa diselesaikan dengan demokrasi yang kita miliki. Demokrasi bukan jawaban bagi problem Orde Baru.

Maka, kelemahan mencolok gaya pemimpin hari ini tak bisa sekadar diganti gaya kepemimpinan yang tegas, sekadar tegas. Kita tak boleh terperosok kembali ke dalam kesalahan cara memandang pemimpin dan kepemimpinan. Patut menjadi catatan kita: sekadar ketegasan tidak cukup.

MOHAMAD SOBARY

Budayawan
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6473 seconds (0.1#10.140)