Ujian Pembodohan Nasional
A
A
A
Semenjak ditetapkan sebagai satu-satunya indikator kelulusan siswa beberapa tahun lalu, ujian nasional atau dikenal dengan singkatan UN, terus menuai polemik yang tak kunjung selesai.
Pro dan kontra pelaksanaan UN terus saja terjadi di antara para pengambil kebijakan dan para akademisi, tokoh pendidik, serta masyarakat awam. UN dinilai tidak sesuai dengan dasar dan tujuan pendidikan nasional yang menuntut berpikir kreatif, jujur, serta bertanggung jawab sebagaimana produk pendidikan yang diharapkan.
Indikasi-indikasi kecurangan dan pelanggaran dalam setiap pelaksanaan UN selama bertahun-tahun, menjadi bukti tidak sinkronnya antara pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan dengan realita yang terjadi di lapangan. UN justru membuat ketakutan yang luar biasa bagi siswa, guru, dan orang tua sehingga harus “menyiasati” ujian untuk mencapai standar angka kelulusan dengan segala cara termasuk pembocoran soal ujian dan kunci jawaban.
Celakanya, pendidikan yang seharusnya mengedepankan prinsip rasionalisme pun terjerumus ke dalam irrasionalisme dengan maraknya siswa dan orang tua meminta petunjuk dari “orang pintar” atau ke makam-makam keramat. Realitas ini menjadi bukti UN lebih cenderung sebagai pembodohan nasional. Buruknya pelaksanaan UN ini pulalah yang melahirkan Komunitas Air Mata Guru di Medan, yakni guruguru yang menentang segala bentuk kecurangan dalam UN, beberapa tahun silam.
Ironisnya, mereka justru dikucilkan, diintimidasi, bahkan diolokolok. Fakta ini tentu menjadi paradoks terhadap upaya pengendalian mutu pendidikan nasional sebagaimana didengungkan pemerintah selama ini.
Sangat Memalukan
Carut-marut pelaksanaan UN kembali menjadi perhatian publik tahun ini. Setelah berjalan lancar beberapa tahun terakhir meski tetap diwarnai kecurangan-kecurangan, pelaksanaan UN tahun ini mendapat kritik tajam setelah terjadinya penundaan di 11 provinsi akibat keterlambatan penyaluran kertas ujian. Celakanya, penundaan di hari pertama ujian bukan hanya terjadi di 11 provinsi yang telah diumumkan pemerintah.
Fakta menunjukkan, penundaan juga terjadi di Sumatera Utara (Sumut). Sedikitnya, tercatat 550 sekolah yang tersebar di 33 kabupaten/ kota se-Sumatera Utara harus menunda ujian akibat kekurangan maupun ketiadaan lembar soal ujian di hari pertama pelaksanaan UN. Dinas Pendidikan Sumut dan instansi terkait termasuk pengawas akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan UN pada hari kedua dan seterusnya.
Mereka memutuskan untuk menggelar ujian susulan pada 22 April mendatang. Siswa pun kecewa dan harus mengurungkan niatnya menempuh ujian sesuai jadwal pelaksanaan UN yang telah ditetapkan. Ini sangat memalukan dan telah mencoreng muka pendidikan nasional serta penyelenggaranya. Alasan keterlambatan pengiriman atau pencetakan merupakan penghinaan terhadap seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimana tidak, di zaman era teknologi informasi yang serba online sekarang ini,masalah pencetakan bahan ujian bahkan masih menjadi soal. Padahal, masalah pencetakan bukanlah hal yang rumit, tetapi hanya pekerjaan sederhana dan bisa dilakukan di mana saja. Bangsa ini sepertinya mundur lagi ke zaman batu sehingga pencetakan dan pengiriman soal ujian harus terpusat di satu tempat yang sangat jauh dari lokasi-lokasi ujian.
Sungguh mengherankan, para pejabat publik yang seharihari bergelut dengan gadgetgadget versi terbaru ternyata tidak mampu memanfaatkan teknologi dengan benar. Kejadian ini mengundang banyak tanda tanya. Ada apa ini? Bukankah pemerintah sudah seharusnya melakukan persiapan pelaksanaan UN jauhjauh hari? Bukankah UN merupakan program rutin pemerintah dan bukan program baru atau event dadakan.
Lantas, apa yang dikerjakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dan bagaimana pula koordinasi antara Menteri M Nuh sebagai penanggung jawab utama pelaksanaan UN dengan para bawahannya. Ini lebih sekadar persoalan keterlambatan pencetakan dan pengiriman atau apapun itu. Namun, kejadian ini telah menimbulkan kecurigaan sehingga harus diselidiki soal transparansi penggunaan anggaran maupun tender pencetakannya.
Alasan keterlambatan terlihat seperti dibuat-buat, dan terkesan menutup-nutupi buruknya pengelolaan pendidikan serta manajemen di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Persoalan juga ini harus dijelaskan kepada publik secara transparan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, supaya kecurigaan publik terjawab. Secara teknis dan moral, Mendikbud M Nuh harus bertanggung jawab penuh dengan kegagalan UN tahun ini, bila perlu harus dicopot atau mengundurkan diri.
Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan, harus bertindak tegas menindak bawahannya yang tidak mampu bekerja secara profesional. Celakanya, pemerintah tidak pernah mau mengakui kesalahannya secara elegan. Lihat saja komentar M Nuh yang menanggapi kejadian luar biasa ini dengan santai disertai guyonan serta tidak mau mengakui kegagalannya secara jujur.
Maka, benarlah apa yang dikatakan sejumlah kalangan bahwa memang UN hanya diurusi oleh para amatiran. Lantas ini negara apa? Mengurus ujian akhir sekolah pun tidak tamat-tamat. Lantas, bagaimana mengurusi kemiskinan dan ketidakadilan.
Keadilan Pendidikan
Dengan berbagai kritik dan polemik yang terjadi selama ini, pemerintah bersikukuh tetap melaksanakan UN sebagai satusatunya penentu kelulusan sekolah secara merata di seluruh Tanah Air dengan dalih pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan.
Padahal, ada persoalan mendasar yang selama ini belum teratasi, yakni ketimpangan kecerdasan dan kemampuan sangat menganga antara siswa yang tinggal di perkotaan dan di tempat-tempat terpencil, serta antara siswa dari kalangan berpunya dan siswa dari kalangan miskin.
Masalah ketimpangan ini seharusnya dijembatani dulu oleh pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan nasional sebelum memeratakan standar evaluasi pendidikan sehingga terdapat keadilan yang sama bagi anakanak bangsa untuk mendapatkan pendidikan.
Terlepas penundaan UN tahun ini, pemerintah sudah seharusnya mengkaji ulang standar evaluasi pendidikan serta mempertimbangkan kembali UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, jika pelaksanaan UN saja tidak pernah beres, bangsa ini akan tetap menjadi bangsa tertinggal dan terbelakang, dan ini akan diuji nanti setelah 20 hingga 50 tahun ke depan, akan seperti apa pemimpin bangsa ini.
Oleh sebab itu, menjembatani kesenjangan sosial serta membenahi fasilitas pendidikan–infrastruktur dan tenaga pendidik— akan jauh lebih baik untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional.
Pro dan kontra pelaksanaan UN terus saja terjadi di antara para pengambil kebijakan dan para akademisi, tokoh pendidik, serta masyarakat awam. UN dinilai tidak sesuai dengan dasar dan tujuan pendidikan nasional yang menuntut berpikir kreatif, jujur, serta bertanggung jawab sebagaimana produk pendidikan yang diharapkan.
Indikasi-indikasi kecurangan dan pelanggaran dalam setiap pelaksanaan UN selama bertahun-tahun, menjadi bukti tidak sinkronnya antara pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan dengan realita yang terjadi di lapangan. UN justru membuat ketakutan yang luar biasa bagi siswa, guru, dan orang tua sehingga harus “menyiasati” ujian untuk mencapai standar angka kelulusan dengan segala cara termasuk pembocoran soal ujian dan kunci jawaban.
Celakanya, pendidikan yang seharusnya mengedepankan prinsip rasionalisme pun terjerumus ke dalam irrasionalisme dengan maraknya siswa dan orang tua meminta petunjuk dari “orang pintar” atau ke makam-makam keramat. Realitas ini menjadi bukti UN lebih cenderung sebagai pembodohan nasional. Buruknya pelaksanaan UN ini pulalah yang melahirkan Komunitas Air Mata Guru di Medan, yakni guruguru yang menentang segala bentuk kecurangan dalam UN, beberapa tahun silam.
Ironisnya, mereka justru dikucilkan, diintimidasi, bahkan diolokolok. Fakta ini tentu menjadi paradoks terhadap upaya pengendalian mutu pendidikan nasional sebagaimana didengungkan pemerintah selama ini.
Sangat Memalukan
Carut-marut pelaksanaan UN kembali menjadi perhatian publik tahun ini. Setelah berjalan lancar beberapa tahun terakhir meski tetap diwarnai kecurangan-kecurangan, pelaksanaan UN tahun ini mendapat kritik tajam setelah terjadinya penundaan di 11 provinsi akibat keterlambatan penyaluran kertas ujian. Celakanya, penundaan di hari pertama ujian bukan hanya terjadi di 11 provinsi yang telah diumumkan pemerintah.
Fakta menunjukkan, penundaan juga terjadi di Sumatera Utara (Sumut). Sedikitnya, tercatat 550 sekolah yang tersebar di 33 kabupaten/ kota se-Sumatera Utara harus menunda ujian akibat kekurangan maupun ketiadaan lembar soal ujian di hari pertama pelaksanaan UN. Dinas Pendidikan Sumut dan instansi terkait termasuk pengawas akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan UN pada hari kedua dan seterusnya.
Mereka memutuskan untuk menggelar ujian susulan pada 22 April mendatang. Siswa pun kecewa dan harus mengurungkan niatnya menempuh ujian sesuai jadwal pelaksanaan UN yang telah ditetapkan. Ini sangat memalukan dan telah mencoreng muka pendidikan nasional serta penyelenggaranya. Alasan keterlambatan pengiriman atau pencetakan merupakan penghinaan terhadap seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimana tidak, di zaman era teknologi informasi yang serba online sekarang ini,masalah pencetakan bahan ujian bahkan masih menjadi soal. Padahal, masalah pencetakan bukanlah hal yang rumit, tetapi hanya pekerjaan sederhana dan bisa dilakukan di mana saja. Bangsa ini sepertinya mundur lagi ke zaman batu sehingga pencetakan dan pengiriman soal ujian harus terpusat di satu tempat yang sangat jauh dari lokasi-lokasi ujian.
Sungguh mengherankan, para pejabat publik yang seharihari bergelut dengan gadgetgadget versi terbaru ternyata tidak mampu memanfaatkan teknologi dengan benar. Kejadian ini mengundang banyak tanda tanya. Ada apa ini? Bukankah pemerintah sudah seharusnya melakukan persiapan pelaksanaan UN jauhjauh hari? Bukankah UN merupakan program rutin pemerintah dan bukan program baru atau event dadakan.
Lantas, apa yang dikerjakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dan bagaimana pula koordinasi antara Menteri M Nuh sebagai penanggung jawab utama pelaksanaan UN dengan para bawahannya. Ini lebih sekadar persoalan keterlambatan pencetakan dan pengiriman atau apapun itu. Namun, kejadian ini telah menimbulkan kecurigaan sehingga harus diselidiki soal transparansi penggunaan anggaran maupun tender pencetakannya.
Alasan keterlambatan terlihat seperti dibuat-buat, dan terkesan menutup-nutupi buruknya pengelolaan pendidikan serta manajemen di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Persoalan juga ini harus dijelaskan kepada publik secara transparan oleh pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, supaya kecurigaan publik terjawab. Secara teknis dan moral, Mendikbud M Nuh harus bertanggung jawab penuh dengan kegagalan UN tahun ini, bila perlu harus dicopot atau mengundurkan diri.
Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan, harus bertindak tegas menindak bawahannya yang tidak mampu bekerja secara profesional. Celakanya, pemerintah tidak pernah mau mengakui kesalahannya secara elegan. Lihat saja komentar M Nuh yang menanggapi kejadian luar biasa ini dengan santai disertai guyonan serta tidak mau mengakui kegagalannya secara jujur.
Maka, benarlah apa yang dikatakan sejumlah kalangan bahwa memang UN hanya diurusi oleh para amatiran. Lantas ini negara apa? Mengurus ujian akhir sekolah pun tidak tamat-tamat. Lantas, bagaimana mengurusi kemiskinan dan ketidakadilan.
Keadilan Pendidikan
Dengan berbagai kritik dan polemik yang terjadi selama ini, pemerintah bersikukuh tetap melaksanakan UN sebagai satusatunya penentu kelulusan sekolah secara merata di seluruh Tanah Air dengan dalih pengendalian dan peningkatan mutu pendidikan.
Padahal, ada persoalan mendasar yang selama ini belum teratasi, yakni ketimpangan kecerdasan dan kemampuan sangat menganga antara siswa yang tinggal di perkotaan dan di tempat-tempat terpencil, serta antara siswa dari kalangan berpunya dan siswa dari kalangan miskin.
Masalah ketimpangan ini seharusnya dijembatani dulu oleh pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan nasional sebelum memeratakan standar evaluasi pendidikan sehingga terdapat keadilan yang sama bagi anakanak bangsa untuk mendapatkan pendidikan.
Terlepas penundaan UN tahun ini, pemerintah sudah seharusnya mengkaji ulang standar evaluasi pendidikan serta mempertimbangkan kembali UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, jika pelaksanaan UN saja tidak pernah beres, bangsa ini akan tetap menjadi bangsa tertinggal dan terbelakang, dan ini akan diuji nanti setelah 20 hingga 50 tahun ke depan, akan seperti apa pemimpin bangsa ini.
Oleh sebab itu, menjembatani kesenjangan sosial serta membenahi fasilitas pendidikan–infrastruktur dan tenaga pendidik— akan jauh lebih baik untuk memperbaiki mutu pendidikan nasional.
(rsa)