Tiadanya harga nyawa
A
A
A
Aksi brutal bersenjata di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta (Sabtu, 23/4/2013 dini hari) yang menewaskan empat narapidana dan menciderai beberapa orang (baik aparat lapas maupun narapidana), ternyata dilakukan oleh belasan oknum dari TNI AD, khususnya dari kesatuan Kopassus.
Peristiwa itu sungguh sangat seram karena kecuali mampu secara paksa melumpuhkan para sipir lapas yang sedang bertugas, juga gerakannya sangat cepat dan sekejap menghilangkan nyawa manusia yang sepertinya sudah tak berharga. Daerah Yogyakarta yang terkenal damai dan aman sebagai kawasan budaya, tujuan wisata, dan tempat belajar sebagian generasi muda bangsa ini menimba ilmu dalam lingkungan yang ramah, niscaya sedikit terkoyak.
Penyebab tragedi itu dipastikan terkait dengan terbunuhnya seorang aparat TNI (dari kesatuan Kopassus) di salah satu kafe di Yogyakarta, di mana pelakunya diduga adalah empat orang narapidana yang dihabisi nyawanya itu. Hukum rimba atau “main hakim sendiri” tampaknya berlaku mutlak dalam peristiwa itu, dan bukan saja dengan prinsip “nyawa dibalas nyawa”, melainkan siapa pun yang diidentifikasi sebagai pelaku awal pembunuhan maka semua mereka harus dihabisi.
Jika saja, barangkali, masih ada oknum yang turut terlibat selain empat orang yang sudah terbunuh, maka bukan mustahil akan jadi target berikutnya terutama jika mereka tak mampu dikendalikan pihak komandan di satuan kerja mereka. Peristiwa itu bukan saja membuat warga bangsa ini prihatin, melainkan juga mengkhawatirkan.
Mengapa? Pertama, hilangnya penghargaan terhadap proses hukum positif dan keikhlasan manusiawi. Jika penegak hukum sudah memproses, menetapkan dan bahkan menahan pelaku pembunuhan seorang aparat TNI itu, maka seharusnya semua pihak menghargainya. Tidak boleh lagi melakukan tindakan kekerasan apapun untuk suatu balas dendam, seraya mengikhlaskan sang kolega yang “sudah berpulang ke pangkuan-Nya” sehingga bisa tenang di alam baka.
Dan jika saja keikhlasan itu didasari oleh keyakinan ajaran agama bahwa pelaku penghilangan nyawa manusia niscaya akan memperoleh imbal sanksi berdasarkan hukum Tuhan (kecuali sanksi hukum duniawi), maka sikap balas dendam tak akan terjadi seperti pada kasus di lapas Sleman itu. Akan tetapi, tampaknya solidaritas kolegial negatif karena mungkin merasa telah dipermalukan, maka aturan hukum pun diinjak-injak, serta belas kasihan manusiawi menghilang jauh dari jiwa dan kalbu para aktor sejawat.
Watak arogansi dan amarahlah yang mengusai serta mengendalikan diri mereka. Apalagi merasa memiliki keterampilan fisik yang terlatih andal, ditambah dengan ketersediaan senjata yang bisa secara ampuh sekejap memenuhi hasrat membunuh. Semua ini, tampaknya, diperkuat dengan kurangnya siraman rohani berdasarkan ajaran agama, nilai-nilai budaya, kemanusiaan, dan hukum dalam kehidupan bernegara; sehingga jiwa para aktor aparat pemegang senjata berada dalam suasana gersang.
Hal itu, tentu saja, terkait dengan sistem pembinaan aparat yang lebih mengedepankan faktor fisik ketimbang dimensi kejiwaan. Sehingga kita tak perlu heran, jika tragedi Lapas Sleman yang juga sebelumnya sudah pernah terjadi di OKU (dalam insiden penyerangan polres), akan terus berulang dengan korban-korbannya yang tak menentu.
Kedua, kita pun kemudian bisa membayangkan, jika aksi seperti itu diarahkan ke sasaran-sasaran lain maka sungguh nyawa manusia setiap saat akan terancam bisa hilang tak berharga. Apalagi, umumnya warga bangsa ini tak memiliki body guard bersenjata yang siap tempur berhadapan dengan pasukan yang berupaya merenggut nyawa manusia.
Apalagi aparat keamanan, khususnya jajaran kepolisian, kecuali sibuk dengan pekerjaan rutin termasuk memperkaya diri dengan cara-cara ilegal sebagaimana ditunjukkan oleh Irjen Djoko Susilo dan kawan-kawannya, akan cenderung mengabaikan tugas utama yakni menjaga keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat.
Terlebih lagi, pihak aparat kepolisian juga merupakan boleh jadi sebagai bagian dari sasaran kekerasan, yang kasusnya baru belum lama terjadi di Kabupaten OKU, Sumatera Selatan (7/3/2013). Dalam kaitan itu, setidaknya, warga sipil akan meningkat derajat ketakutan atau rasa waswasnya untuk “salah paham”, apalagi konflik atau bentrok dengan aparat keamanan termasuk keluarganya.
Jika hal itu sempat terjadi, bukan mustahil akan menghadapi kekerasan fisik sampai pada hilangnya nyawa. Mereka-mereka yang mengandalkan kekuatan fisik di tengah cenderung hilangnya nilai-nilai kemanusiaan sejati, pastilah tak akan berpikir panjang soal benar salah, namun lebih pada “serang atau lumpuhkan dulu, persoalan hukum urusan belakangan”.
Apalagi jika dalam suatu peristiwa konflik atau salah paham itu ternyata uang sangat memegang peranan penting, maka kekuatan premanisme termasuk oknum-oknumnya berasal dari institusi yang memiliki senjata, akan selalu dimanfaatkan karena demikian itulah imbal jasa kekerasan. Maka bisa dengan rasa patuh pada yang memberikan materi untuk melakukan apa saja yang diminta termasuk menghabisi nyawa pihak “lawan”, termasuk di dalamnya dalam kaitan dengan persaingan politik sesuatu yang akan selalu mengerikan.
Ketiga, fenomena pembunuhan bersenjata, pada dasarnya juga terkait dengan ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan penertiban perangkat kekerasan yang mematikan itu. Ditemukannya sejumlah senjata api di tempat kediaman salah satu geng preman Jakarta, Hercules, akhir-akhir ini, merupakan bukti tak terbantahkan. Tepatnya, kekerasan dengan menggunakan senjata, tidak mesti hanya dilakukan oleh oknum-oknum aparat negara, karena rakyat pun sudah bisa memilikinya melalui cara-cara ilegal.
Dengan terungkapnya pelaku kebrutalan yang sungguh bengis itu, agaknya pihak TNI haruslah melakukan koreksi total dalam tiga hal pokok, yakni (1) sistem pembinaan aparatnya yang harus fokus pada faktor gemblengan jiwa, budi pekerti, dan masalah hukum; (2) penertiban senjata api; (3) reviu sistem restrukturisasi kelembagaan TNI untuk tidak lagi mengikuti struktur seperti halnya polisi atau instansi pemerintah lainnya, namun lebih pengefektifan fungsi sebagai instrumen pertahanan negara membela kedaulatan bangsa terhadap potensi ancaman dari luar.
LAODE IDA
Wakil Ketua DPD RI, artikel ini pandangan pribadi.
Peristiwa itu sungguh sangat seram karena kecuali mampu secara paksa melumpuhkan para sipir lapas yang sedang bertugas, juga gerakannya sangat cepat dan sekejap menghilangkan nyawa manusia yang sepertinya sudah tak berharga. Daerah Yogyakarta yang terkenal damai dan aman sebagai kawasan budaya, tujuan wisata, dan tempat belajar sebagian generasi muda bangsa ini menimba ilmu dalam lingkungan yang ramah, niscaya sedikit terkoyak.
Penyebab tragedi itu dipastikan terkait dengan terbunuhnya seorang aparat TNI (dari kesatuan Kopassus) di salah satu kafe di Yogyakarta, di mana pelakunya diduga adalah empat orang narapidana yang dihabisi nyawanya itu. Hukum rimba atau “main hakim sendiri” tampaknya berlaku mutlak dalam peristiwa itu, dan bukan saja dengan prinsip “nyawa dibalas nyawa”, melainkan siapa pun yang diidentifikasi sebagai pelaku awal pembunuhan maka semua mereka harus dihabisi.
Jika saja, barangkali, masih ada oknum yang turut terlibat selain empat orang yang sudah terbunuh, maka bukan mustahil akan jadi target berikutnya terutama jika mereka tak mampu dikendalikan pihak komandan di satuan kerja mereka. Peristiwa itu bukan saja membuat warga bangsa ini prihatin, melainkan juga mengkhawatirkan.
Mengapa? Pertama, hilangnya penghargaan terhadap proses hukum positif dan keikhlasan manusiawi. Jika penegak hukum sudah memproses, menetapkan dan bahkan menahan pelaku pembunuhan seorang aparat TNI itu, maka seharusnya semua pihak menghargainya. Tidak boleh lagi melakukan tindakan kekerasan apapun untuk suatu balas dendam, seraya mengikhlaskan sang kolega yang “sudah berpulang ke pangkuan-Nya” sehingga bisa tenang di alam baka.
Dan jika saja keikhlasan itu didasari oleh keyakinan ajaran agama bahwa pelaku penghilangan nyawa manusia niscaya akan memperoleh imbal sanksi berdasarkan hukum Tuhan (kecuali sanksi hukum duniawi), maka sikap balas dendam tak akan terjadi seperti pada kasus di lapas Sleman itu. Akan tetapi, tampaknya solidaritas kolegial negatif karena mungkin merasa telah dipermalukan, maka aturan hukum pun diinjak-injak, serta belas kasihan manusiawi menghilang jauh dari jiwa dan kalbu para aktor sejawat.
Watak arogansi dan amarahlah yang mengusai serta mengendalikan diri mereka. Apalagi merasa memiliki keterampilan fisik yang terlatih andal, ditambah dengan ketersediaan senjata yang bisa secara ampuh sekejap memenuhi hasrat membunuh. Semua ini, tampaknya, diperkuat dengan kurangnya siraman rohani berdasarkan ajaran agama, nilai-nilai budaya, kemanusiaan, dan hukum dalam kehidupan bernegara; sehingga jiwa para aktor aparat pemegang senjata berada dalam suasana gersang.
Hal itu, tentu saja, terkait dengan sistem pembinaan aparat yang lebih mengedepankan faktor fisik ketimbang dimensi kejiwaan. Sehingga kita tak perlu heran, jika tragedi Lapas Sleman yang juga sebelumnya sudah pernah terjadi di OKU (dalam insiden penyerangan polres), akan terus berulang dengan korban-korbannya yang tak menentu.
Kedua, kita pun kemudian bisa membayangkan, jika aksi seperti itu diarahkan ke sasaran-sasaran lain maka sungguh nyawa manusia setiap saat akan terancam bisa hilang tak berharga. Apalagi, umumnya warga bangsa ini tak memiliki body guard bersenjata yang siap tempur berhadapan dengan pasukan yang berupaya merenggut nyawa manusia.
Apalagi aparat keamanan, khususnya jajaran kepolisian, kecuali sibuk dengan pekerjaan rutin termasuk memperkaya diri dengan cara-cara ilegal sebagaimana ditunjukkan oleh Irjen Djoko Susilo dan kawan-kawannya, akan cenderung mengabaikan tugas utama yakni menjaga keamanan dan ketenteraman dalam masyarakat.
Terlebih lagi, pihak aparat kepolisian juga merupakan boleh jadi sebagai bagian dari sasaran kekerasan, yang kasusnya baru belum lama terjadi di Kabupaten OKU, Sumatera Selatan (7/3/2013). Dalam kaitan itu, setidaknya, warga sipil akan meningkat derajat ketakutan atau rasa waswasnya untuk “salah paham”, apalagi konflik atau bentrok dengan aparat keamanan termasuk keluarganya.
Jika hal itu sempat terjadi, bukan mustahil akan menghadapi kekerasan fisik sampai pada hilangnya nyawa. Mereka-mereka yang mengandalkan kekuatan fisik di tengah cenderung hilangnya nilai-nilai kemanusiaan sejati, pastilah tak akan berpikir panjang soal benar salah, namun lebih pada “serang atau lumpuhkan dulu, persoalan hukum urusan belakangan”.
Apalagi jika dalam suatu peristiwa konflik atau salah paham itu ternyata uang sangat memegang peranan penting, maka kekuatan premanisme termasuk oknum-oknumnya berasal dari institusi yang memiliki senjata, akan selalu dimanfaatkan karena demikian itulah imbal jasa kekerasan. Maka bisa dengan rasa patuh pada yang memberikan materi untuk melakukan apa saja yang diminta termasuk menghabisi nyawa pihak “lawan”, termasuk di dalamnya dalam kaitan dengan persaingan politik sesuatu yang akan selalu mengerikan.
Ketiga, fenomena pembunuhan bersenjata, pada dasarnya juga terkait dengan ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan penertiban perangkat kekerasan yang mematikan itu. Ditemukannya sejumlah senjata api di tempat kediaman salah satu geng preman Jakarta, Hercules, akhir-akhir ini, merupakan bukti tak terbantahkan. Tepatnya, kekerasan dengan menggunakan senjata, tidak mesti hanya dilakukan oleh oknum-oknum aparat negara, karena rakyat pun sudah bisa memilikinya melalui cara-cara ilegal.
Dengan terungkapnya pelaku kebrutalan yang sungguh bengis itu, agaknya pihak TNI haruslah melakukan koreksi total dalam tiga hal pokok, yakni (1) sistem pembinaan aparatnya yang harus fokus pada faktor gemblengan jiwa, budi pekerti, dan masalah hukum; (2) penertiban senjata api; (3) reviu sistem restrukturisasi kelembagaan TNI untuk tidak lagi mengikuti struktur seperti halnya polisi atau instansi pemerintah lainnya, namun lebih pengefektifan fungsi sebagai instrumen pertahanan negara membela kedaulatan bangsa terhadap potensi ancaman dari luar.
LAODE IDA
Wakil Ketua DPD RI, artikel ini pandangan pribadi.
(mhd)