Ancaman kaderisasi partai

Sabtu, 30 Maret 2013 - 15:08 WIB
Ancaman kaderisasi partai
Ancaman kaderisasi partai
A A A
Kongres luar biasa (KLB) yang akan segera diselenggarakan oleh Partai Demokrat (PD) merupakan implikasi dari konflik antara dua faksi besar di internal PD yang sebelumnya laten kemudian menjadi manifes.

Konflik tersebut terjadi, karena adanya dua keinginan kontradiktif, yakni: pertama, membangun partai politik secara modern dengan mengedepankan mekanisme internal partai yang kuat, berhadapan dengan yang kedua, melanggengkan kepentingan penguasa lama.

Konflik tersebut bertahan hanya sekadar laten, karena Anas Urbaningrum pada saat awal-awal terpilih menjadi Ketua Umum PD mampu mengendalikan para loyalisnya untuk tidak menunjukkan pertentangan yang sesungguhnya ada terhadap SBY.

Dalam konteks ini, SBY tidak menginginkan dominasinya di PD tereduksi atau terdegradasi oleh keberadaan ketua umum baru PD dengan kualitas yang menyamai atau bahkan berpotensi melampaui dirinya.

Pasalnya, keberadaan tokoh dengan kualitas tersebut, akan ada matahari kembar di internal Demokrat. Karena itu, menjelang Kongres II di Bandung, dengan cara-cara tertentu, kemunculan Anas sudah diupayakan untuk dihadang.

Sebab, harus diakui bahwa Anas memang memiliki potensi besar menjadi politisi ulung yang bisa melampaui SBY. Dan indikasi tersebut makin kuat, karena upaya untuk menghadangnya menjadi pemimpin puncak di PD ternyata gagal total.

Anas menang telak, mengalahkan Andi Mallarangeng yang diinginkan oleh SBY untuk memegang kendali utama PD. Seharusnya, dalam organisasi partai modern, setiap kader mendapatkan peluang yang sama untuk memperebutkan kepemimpinan.

Tugas partai adalah membangun sistem yang mampu melahirkan kader-kader tangguh yang memiliki kemampuan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan masa depan di dalam partai. Dan karena partai politik harus merebut kekuasaan, kader-kader terbaik itulah yang nantinya didistribusikan ke dalam strukturstruktur politik negara.
Dalam konteks mekanisme internal ini, siapa pun yang menang dalam kompetisi memperebutkan kepemimpinan partai harus mendapatkan dukungan penuh, termasuk dari pihak yang kalah dalam kompetisi.

Tentu saja diperlukan sikap lapang dada untuk memberikan kesempatan kepada pemenang untuk menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinan. Faksi yang kalah, jika tetap mempertahankan eksistensinya di dalam partai, harus menjadi “oposisi loyal” yang orientasinya tidak mengganggu kinerja kepengurusan yang sedang berjalan, tetapi sebatas mengkritisi agar partai tetap berada pada track yang benar.

Namun, terdapat fenomena kecenderungan elite politik saat ini, terutama yang telah menguasai struktur politik kenegaraan untuk melanggengkan kekuasaan, walaupun dilakukan dengan menghalalkan segala cara, termasuk mematikan kader- kader muda yang memiliki potensi besar.

Tidak ada kebesaran hati dari elite politik untuk menyerahkan kepemimpinan politik kepada pribadi-pribadi yang memang memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi.

Yang lebih dipentingkan adalah motif untuk mengalihkan kekuasaan kepada orang-orang yang diinginkan dengan tujuan untuk mengamankan kepentingan- kepentingan sendiri, bahkan mengamankan diri dari perangkat hukum yang mungkin saja akan menjerat mantan penguasa, karena penyelewengan kekuasaan yang dilakukan pada saat berkuasa. Situasi dan kondisi seperti inilah yang bisa disebut sebagai Fir’aunisasi dalam politik.

Alquran, dalam beberapa tempat, mengisahkan figur Firaun sebagai raja atau penguasa dengan kekuasaan absolut. Namun, karena bisikan para ahli nujum yang dianggapnya memiliki keahlian meramalkan kejadian di masa depan, ia menjadi takut kehilangan kekuasaan. Sebab, para ahli nujum kepercayaannya memprediksikan bahwa akan lahir seorang anak lelaki yang akan meruntuhkan kekuasaannya.

Karena itu, ia kemudian melakukan operasi besar- besaran untuk menyembelih setiap bayi laki-laki yang dilahirkan di seluruh wilayah negerinya (al-Baqarah: 49, Ibrahim: 6, al-Qashash: 4).

Karena ketakutan yang berlebihan, Firaun kemudian melakukan tindakan melampaui batas yang justru menimbulkan kebencian sebagian besar rakyatnya sendiri menjadi semakin bertambah, sehingga kemudian berbalik melakukan perlawanan terhadapnya.

Dan karena ketakutan dan tindakan yang berlebihan itulah, Firaun justru kehilangan kekuasaannya dengan cara yang sangat mengenaskan, tenggelam di lautan. Faktor utama terjadinya Fir’aunisasi adalah penguasa telah menjadikan kekuasaan sebagai tujuan.
Dan kekuasaan juga digunakan sebagai sarana untuk memenuhi hasrat cinta kepada diri sendiri dan kelompok yang terbatas, bahkan sering kali adalah keluarga, sehingga kemudian melakukan penyelewengan kekuasaan.

Dalam sistem politik yang membatasi periodisasi politik, penguasa tersebut merasa memiliki kepentingan untuk mengamankan diri dengan cara tetap berkuasa, walaupun secara formal telah terjadi peralihan kekuasaan kepada orang lain.

Caranya tentu saja adalah menempatkan penguasa baru yang dianggap bisa mengamankan penguasa lama dari jeratan hukum yang sangat mungkin terjadi ketika sang penguasa lama telah menjadi orang biasa.

Dalam konteks ini, penguasa baru sesungguhnya tidak lebih dari sekadar boneka dari penguasa lama yang secara formal telah tidak lagi memegang kendali kekuasaan. Dan untuk itu, salah satu cara yang kemudian dilakukan adalah “menyembelih” calon-calon pemimpin masa depan, karena dianggap membahayakan.

Operasi dan aksi penyembelihan yang memang terjadi secara faktual dalam sejarah yang dikisahkan Alquran, bisa dipahami sebagai simbol bahwa karena penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa, bisa membuatnya melakukan berbagai upaya, termasuk mematikan generasi baru yang lebih muda, terutama yang dianggap bisa menimbulkan bahaya bagi masa depan hidupnya, keluarganya, atau orangorang terdekatnya.

Orangorang muda yang memiliki potensi besar sebagai pemimpin masa depan dimatikan dengan cara menjauhkannya dari pusat- pusat kekuasaan. Bahkan, orang-orang yang potensial itu bisa juga dipenjarakan.

Fir’aunisasi inilah yang menjadi penyebab utama kaderisasi partai politik tidak berjalan baik. Kepemimpinan yang seharusnya berjalan natural dengan indikator terjadinya kompetisi yang sehat di antara para kader yang memiliki potensi kepemimpinan yang baik yang diselenggarakan dengan fair, justru diintervensi oleh elite politik dengan kekuasaan paling besar.

Seharusnya, elite politik yang telah berkuasa menempatkan diri sebagai “godfather” bagi kader-kader penerus kepemimpinan, sehingga yang muncul sebagai pemimpin kemudian adalah kader-kader yang terbaik, bukan pemimpin karbitan, karena lahir dari perlakuan khusus atau dukungan yang berlebihan dari elite terdahulu.

Dalam momentum KLB nanti, jika para politisi PD tidak segera menyadari situasi yang terjadi saat ini dan berbenah secara cepat dengan melakukan akselerasi kaderisasi untuk mempersiapkan kepemimpinan masa depan, maka PD akan menjadi partai politik dengan kepemimpinan puncak yang bersifat absolut.

Fir’aunisasi pemimpin akan menguat dan akan semakin menjauhkan PD dari sifat dan karakter sebagai partai modern. Wallahu a’lam bi al-shawab.

DR. MOHAMMAD NASIH
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan
FISIP UMJ Pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1022 seconds (0.1#10.140)