Dramaturgi konsolidasi

Selasa, 19 Februari 2013 - 10:13 WIB
Dramaturgi konsolidasi
Dramaturgi konsolidasi
A A A
Ada yang menarik dan mengena dalam tulisan Tajuk harian SINDO, Senin (18/2). Salah satu bagian tulisan di Tajuk tersebut menyoroti tajam sikap SBY selaku ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Sangat keliru ketika seorang pemimpin berpidato berdasar asumsi bahwa masyarakat tidak tahu apa-apa.

Bukankah merendahkan kecerdasan masyarakat itu sama dengan merendahkan akal sehat? Benar dan tidak isi pidato SBY itu akan ditentukan oleh waktu. Sejarah akan mencatat siapa yang konsisten dan siapa yang tidak. Demikian penggalan tulisan di Tajuk tersebut.

Di bagian lain, Tajuk harian SINDO juga mengkritisi pidato SBY yang memosisikan seolah-olah pengamat, wartawan, masyarakat, serta media massa salah duga dengan berbagai manuvernya.

Benarkah soliditas di tubuh Demokrat terwujud lewat seremoni rapimnas tersebut? Atau, jangan-jangan rapimnas hanya bagian dari panggung depan konsolidasi semu para elite partai berkuasa ini.

Strategi kompromi

Rapimnas Partai Demokrat, Minggu (17/2) memang tak bisa kita lepaskan dari konteks situasi dinamis yang berkembang. Ini mata rantai proses penyelamatan, pembenahan, pembersihan, dan konsolidasi partai yang dipimpin langsung oleh SBY selaku ketua Majelis Tinggi. Tentu, hak yang melekat pada SBY dengan segala macam posisinya di Demokrat untuk melakukan proses konsolidasi partai.

Hanya, terlalu sederhana jika dikatakan usainya rapimnas berarti juga usainya rivalitas dan sirkulasi elite antaraktor di internal Demokrat. Apa yang dilakukan SBY di rapimnas sebenarnya bisa kita pahami dalam tiga konteks.

Pertama, ini strategi ZOPA (zone of possible agreement) dalam negosiasi kehormatan antara SBY dan Anas Urbaningrum. Dalam komunikasi politik, sesungguhnya pembacaan alur menjadi penting dalam memosisikan narasi retoris SBY. Kita ingat, gaduhnya berita seputar Demokrat ini dimulai dari hasil rilis elektabilitas Demokrat yang terjun bebas hingga angka 8,3 persen.

Kemudian muncul drama pengondisian “kekitaan” antar elite lewat SMS SBY yang ditunjukkan kepada beberapa tokoh Demokrat. Bola panas bergulir saat SBY secara demonstratif mengeluarkan delapan poin solusi. Pidato SBY saat itu, fokus pada bahasa kuasa untuk pe-ngendalian dan penegasan otoritas.

SBY eksplisit menyatakan bahwa Ketua Majelis Tinggi Partai berwenang dan bertanggung jawab untuk memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai. Dalam konteks yang sama, SBY meminta Anas fokus pada masalah hukum. Jika tujuannya hanya untuk menyelamatkan elektabilitas Demokrat, SBY tentu tak perlu tergopoh-gopoh turun gunung untuk memimpin langsung misi penyelamatan karena publik juga tahu betapa sibuknya SBY sebagai presiden di injury time kekuasaannya.

Reaksi cepat mengumpulkan 33 DPD se-Indonesia pun tak bisa kita lepaskan dari strategi pemetaan kekuatan struktur partai dari pusat hingga daerah. Rekonsensus formal secara langsung melalui penandatanganan pakta integritas menjadi alat kendali dalam pengondisian otoritas sekaligus memuluskan rentang kendali agar pengurus Demokrat berada dalam arus utama yang sama yakni langgam SBY.

Tetapi, fakta politiknya marginalisasi Anas juga tak mudah karena status hukumnya yang tak kunjung jelas sehingga sulit mendorong rapimnas ke kongres luar biasa (KLB). Belum ada tautan legal formal pelanggaran AD/ART partai inilah yang menyebabkan SBY dan Anas akhirnya saling mengakomodasi.

Kedua, SBY tentu juga melihat pergerakan opini publik di eksternal partai yang kian hari kian resisten terhadap langkahnya terjun langsung dalam misi penyelamatan partai. Opini keras dari publik ini terutama karena kekhawatiran SBY tak bisa fokus mengurusi bangsa dan negara meski hal ini juga sudah dibantah oleh SBY. Hal lain yang menjadi sorotan publik adalah cara pragmatis pengambilan kuasa dari Anas yang dikhawatirkan menjadi preseden buruk institusionalisasi demokrasi di tubuh partai.

Ketiga, SBY tentu juga berhitung cermat dinamika ke depan.Jika dia mengambil cara “perang terbuka” dengan menginisiasi sirkulasi elite yang frontal terutama dalam pemosisian Anas, bukan mustahil justru akan memberi efek bumerang bagi otoritas serta kehormatan dirinya sebagai figur utama di Demokrat.

Panggung depan

Tak dimungkiri bahwa panggung politik dalam praktiknya memiliki banyak kesamaan dengan panggung hiburan. Sama-sama memiliki unsur dramaturgi yang menuntut orang memainkan peran-peran tertentu. Erving Goffman (1922- 1982) seorang sosiolog interaksionis dalam bukunya, The Presentation of Self in Everyday Life, menyatakan, perilaku dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari menampilkan diri kita dengan cara yang sama dengan aktor saat menampilkan karakter orang lain pada sebuah pertunjukan drama.

SBY harus kita pahami sebagai aktor yang berusaha menggabungkan karakteristik personal dan tujuan “pertunjukan dramanya sendiri”. Menurut konsep dramaturgis,SBY tentu akan mengembangkan sejumlah perilaku yang mendukung perannya. Setting, kostum, serta pesan verbal dan nonverbal selama rapimnas bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik di publik bahwa tak ada apa-apa di tubuh Demokrat.

Goffman menyebut tindakan ini dengan istilah impression management. Dalam hal memainkan peran, panggung politik sama persis dengan panggung hiburan. Sama-sama menuntut penampilan prima terutama saat sang aktor berada di panggung depan (front stage). Di situlah publik diajak masuk ke dalam pemahaman dan alur cerita yang dikehendaki. Rangkaian tindakan tak bebas dari alur drama yang telah diskenariokan.

Dengan demikian, tindakan bukanlah sesuatu yang natural, melainkan telah dikonstruksi dalam realitas seolah-olah. Hal ini berbeda dengan situasi panggung belakang (back stage) yang biasanya bebas dan menjadi representasi tindakan nyata apa adanya.

Rapimnas jelas-jelas merupakan panggung depan para elite partai Demokrat sehingga apa yang tersaji di panggung depan belum tentu menjadi representasi kebenaran hakikinya.

Terlalu dangkal jika mengklaim soliditas internal hanya dari rapimnas yang seremonial dan formalistik. Dengan demikian, waktulah yang akan menguji konsistensi Demokrat, sekaligus mengonfirmasi benarkah mereka solid atau hanya bermain peran di panggung depan!

GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
(lns)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5611 seconds (0.1#10.140)