SBY, antara tugas negara dan partai
A
A
A
Kembali ke Tanah Air setelah sepekan melakukan kunjungan kerja ke sejumlah negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung fokus pada persoalan Partai Demokrat, bukan mengurusi masalah negara atau rakyat.
Fokus Kabinet Indonesia Bersatu II akan berantakan jika para menteri ikut-ikutan menyibukkan diri mengurusi partainya masing-masing. Sejak masih berada di Arab Saudi, Presiden sudah disibukkan dengan kisruh yang melanda internal Demokrat. Presiden sempat mengirim pesan singkat (SMS) kepada para pengurus Demokrat di Tanah Air, bahkan sempat pula menggelar konferensi pers seputar persoalan Demokrat. Pemandangan atau kenyataan ini tentu saja tidak pantas sehingga mengundang cibir dari berbagai pihak.
Mencibir karena persoalan sepele. Presiden sedang dalam periode waktu kunjungan kenegaraan dan sudah barang tentu Presiden sangat tahu posisi dan kapabilitasnya saat itu. Kurang elok memanfaatkan waktu di sela-sela perjalanan dinas itu untuk mengurus atau sekadar meresponspersoalanDemokrat. Apalagi, di dalam negeri, kader Demokrat pun sudah mengecam Menteri ESDM Jero Wacik karena menyelenggarakan konferensi pers di kantor kementerian untuk menyikapi hasil sebuah survei yang memperlihatkan merosotnya elektabilitas Demokrat.Namun, rupanya, Presiden pun tak bisa menahan diri.
Akibatnya muncul kesan di ruang publik bahwa Presiden tidak konsisten karena sebelumnya meminta para menteri fokus pada tugas negara dan menyampingkan urusan partai. Seperti diketahui, saat berada di Jeddah, Presiden memanfaatkan kapasitasnya sebagai ketua Dewan Pembina Demokrat meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menuntaskan kasus hukum yang menjerat kader Demokrat, utamanya status hukum Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum.
“Saya mohon kepada KPK untuk, ya, bisa segera konklusif dan tuntas. Jika salah, ya kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kami juga ingin tahu kalau itu tidak terlibat,” pinta SBY. Sekali lagi, walaupun bernada imbauan, permintaan seperti tak layak disuarakan seorang Presiden. Kelompok-kelompok yang berpikiran sempit bisa saja mengartikan permintaan itu sebagai upaya Presiden mengintervensi KPK. Kalau pimpinan KPK tidak tegar, permintaan Presiden seperti itu bisa ditanggapi dengan sikap yang tidak profesional pula. Dengan menyuarakan permintaan itu, Presiden lagi-lagi menunjukkan kecenderungan hanya peduli pada persoalan yang berkait dengan atau kelompoknya dalam hal ini Partai Demokrat.
Pada saat bersamaan khalayak juga bisa melihat bahwa Presiden tidak begitu peduli dengan persoalan hukum lainnya. Bukankah di KPK masih ada sejumlah kasus besar yang belum tuntas penanganannya? Kalau Presiden begitu peduli dengan persoalan status hukum Anas, mengapa Presiden tidak peduli dengan posisi Wakil Presiden Boediono yang diduga terlibat dalam skandal Bank Century yang merugikan negara? Semua orang sudah paham bahwa Presiden mestinya lebih memprioritaskan persoalan negara dan persoalan rakyat. Sekali-kali Presiden juga peduli pada partai yang didirikannya, itu pun tak salah.
Tetapi, harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi kekeliruan tafsir atau anggapan. Munculnya anggapan negatif di ruang publik tak bisa dicegah karena begitu tiba di Tanah Air, Presiden langsung menyibukkan diri membenahi Demokrat. Lebih memprihatinkan lagi, bukan melokalisasi persoalan menjadi masalah internal Demokrat, Presiden malah ikut-ikutan “memasyarakatkan” persoalan Partai Demokrat. Akibatnya, energi publik ikut tersedot ke persoalan Demokrat.
Fokus Kabinet
Padahal, sebelum persoalan Demokrat mengemuka,Presiden sempat berencana untuk memanggil menteri pertanian guna menerima penjelasan tentang masalah kebijakan impor daging sapi. Memanggil menteri pertanian dan membahas persoalan impor daging sapi jauh lebih relevan untuk diprioritaskan Presiden dibandingkan dengan mengurusi kisruh di internal Demokrat.
Logikanya, bagi Presiden selaku kepala pemerintahan, persoalan daging sapi semestinya pelik soalnya di tengah keluhan rakyat akan tingginya harga daging sapi tiba-tiba terkuak kasus suap untuk mendapatkan kuota impor daging sapi. Rakyat kebanyakan yang awam langsung mengaitkan praktik suap itu sebagai penyebab tingginya harga daging sapi di dalam negeri. Presiden seharusnya segera memerintahkan para menteri untuk melakukan segala cara yang mungkin guna menormalisasi harga daging sapi di pasar dalam negeri.
Tingginya harga sudah menimbulkan ekses yang luas. Berkait dengan kasus dugaan suap impor daging sapi, KPK sudah berencana memanggil menteri pertanian untuk didengarkan keterangannya sebagai saksi. Di sisi lain, sudah muncul anggapan dan kecurigaan bahwa kabinet tidak mampu dalam mengelola pengadaan daging sapi untuk kebutuhan dalam negeri. Ketidakmampuan itulah yang menyebabkan tingginya harga daging sapi saat ini.
Artinya, sekembalinya dari kunjungan kerja ke luar negeri, persoalan-persoalan seperti inilah yang idealnya direspons Presiden. Benar bahwa para menteri bidang ekonomilah yang seharusnya mengatasi persoalan. Namun, jika setelah sekian lama para menteri ekonomi nyata-nyata tidak mampu menurunkan harga daging sapi ke level yang ideal dan terjangkau daya beli rakyat, Presiden tidak bisa tinggal diam.
Presiden harus turun tangan langsung karena masalahnya riil dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Kini muncul lagi kekhawatiran lain. Karena Presiden mulai “nyambi” membenahi Demokrat, para menteri pun akan ikut-ikutan membenahi partainya masing-masing. Tidak mungkin tidak karena tahun ini semua partai politik peserta Pemilu 2014 harus bersiap. Berkonsolidasi memperkuat peran pengurus pusat dan pengurus daerah, hingga seleksi calon anggota legislatif.
Kalau sudah begitu keadaannya, apa mungkin kabinet bisa 100% fokus mengelola persoalan negara dan persoalan rakyat? Sudah pasti tidak. Dengan demikian, efektivitas kabinet pada bulan-bulan mendatang tidak akan ideal sebagaimana yang diharapkan Presiden. Seperti diketahui, Presiden pernah mengingatkan para menterinya untuk tetap fokus bekerja sesuai tugas dan fungsinya masing-masing kendati 2013 menjadi tahun politik.
Hal ini perlu diingatkan Presiden agar para menteri jangan sampai lebih memprioritaskan kepentingan partainya dibanding program pemerintah untuk kepentingan negara dan rakyat. Namun, harapan yang ideal itu akan sulit diwujudkan setelah Presiden mengambil alih kekuasaan dan semua kewenangan yang ada dalam struktur Demokrat, menyusul kisruh internal di partai itu. Bukan tidak mungkin beberapa menteri yang kebetulan menjabat ketua umum partai akan meniru langkah Presiden.
Tentu saja semua elemen masyarakat berharap efektivitas pemerintahan Presiden SBY tetap terjaga.Namun, jika Presiden pun mulai sibuk mengonsolidasi Demokrat, tidak mungkin efektivitas pemerintahannya bisa terjaga. Situasinya mungkin akan lebih memprihatinkan kalau para menteri ikut-ikutan tidak fokus pada tugasnya masing-masing.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI/ Presidium KAHMI Periode 2012-2017
Fokus Kabinet Indonesia Bersatu II akan berantakan jika para menteri ikut-ikutan menyibukkan diri mengurusi partainya masing-masing. Sejak masih berada di Arab Saudi, Presiden sudah disibukkan dengan kisruh yang melanda internal Demokrat. Presiden sempat mengirim pesan singkat (SMS) kepada para pengurus Demokrat di Tanah Air, bahkan sempat pula menggelar konferensi pers seputar persoalan Demokrat. Pemandangan atau kenyataan ini tentu saja tidak pantas sehingga mengundang cibir dari berbagai pihak.
Mencibir karena persoalan sepele. Presiden sedang dalam periode waktu kunjungan kenegaraan dan sudah barang tentu Presiden sangat tahu posisi dan kapabilitasnya saat itu. Kurang elok memanfaatkan waktu di sela-sela perjalanan dinas itu untuk mengurus atau sekadar meresponspersoalanDemokrat. Apalagi, di dalam negeri, kader Demokrat pun sudah mengecam Menteri ESDM Jero Wacik karena menyelenggarakan konferensi pers di kantor kementerian untuk menyikapi hasil sebuah survei yang memperlihatkan merosotnya elektabilitas Demokrat.Namun, rupanya, Presiden pun tak bisa menahan diri.
Akibatnya muncul kesan di ruang publik bahwa Presiden tidak konsisten karena sebelumnya meminta para menteri fokus pada tugas negara dan menyampingkan urusan partai. Seperti diketahui, saat berada di Jeddah, Presiden memanfaatkan kapasitasnya sebagai ketua Dewan Pembina Demokrat meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera menuntaskan kasus hukum yang menjerat kader Demokrat, utamanya status hukum Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum.
“Saya mohon kepada KPK untuk, ya, bisa segera konklusif dan tuntas. Jika salah, ya kita terima memang salah. Kalau tidak salah, kami juga ingin tahu kalau itu tidak terlibat,” pinta SBY. Sekali lagi, walaupun bernada imbauan, permintaan seperti tak layak disuarakan seorang Presiden. Kelompok-kelompok yang berpikiran sempit bisa saja mengartikan permintaan itu sebagai upaya Presiden mengintervensi KPK. Kalau pimpinan KPK tidak tegar, permintaan Presiden seperti itu bisa ditanggapi dengan sikap yang tidak profesional pula. Dengan menyuarakan permintaan itu, Presiden lagi-lagi menunjukkan kecenderungan hanya peduli pada persoalan yang berkait dengan atau kelompoknya dalam hal ini Partai Demokrat.
Pada saat bersamaan khalayak juga bisa melihat bahwa Presiden tidak begitu peduli dengan persoalan hukum lainnya. Bukankah di KPK masih ada sejumlah kasus besar yang belum tuntas penanganannya? Kalau Presiden begitu peduli dengan persoalan status hukum Anas, mengapa Presiden tidak peduli dengan posisi Wakil Presiden Boediono yang diduga terlibat dalam skandal Bank Century yang merugikan negara? Semua orang sudah paham bahwa Presiden mestinya lebih memprioritaskan persoalan negara dan persoalan rakyat. Sekali-kali Presiden juga peduli pada partai yang didirikannya, itu pun tak salah.
Tetapi, harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi kekeliruan tafsir atau anggapan. Munculnya anggapan negatif di ruang publik tak bisa dicegah karena begitu tiba di Tanah Air, Presiden langsung menyibukkan diri membenahi Demokrat. Lebih memprihatinkan lagi, bukan melokalisasi persoalan menjadi masalah internal Demokrat, Presiden malah ikut-ikutan “memasyarakatkan” persoalan Partai Demokrat. Akibatnya, energi publik ikut tersedot ke persoalan Demokrat.
Fokus Kabinet
Padahal, sebelum persoalan Demokrat mengemuka,Presiden sempat berencana untuk memanggil menteri pertanian guna menerima penjelasan tentang masalah kebijakan impor daging sapi. Memanggil menteri pertanian dan membahas persoalan impor daging sapi jauh lebih relevan untuk diprioritaskan Presiden dibandingkan dengan mengurusi kisruh di internal Demokrat.
Logikanya, bagi Presiden selaku kepala pemerintahan, persoalan daging sapi semestinya pelik soalnya di tengah keluhan rakyat akan tingginya harga daging sapi tiba-tiba terkuak kasus suap untuk mendapatkan kuota impor daging sapi. Rakyat kebanyakan yang awam langsung mengaitkan praktik suap itu sebagai penyebab tingginya harga daging sapi di dalam negeri. Presiden seharusnya segera memerintahkan para menteri untuk melakukan segala cara yang mungkin guna menormalisasi harga daging sapi di pasar dalam negeri.
Tingginya harga sudah menimbulkan ekses yang luas. Berkait dengan kasus dugaan suap impor daging sapi, KPK sudah berencana memanggil menteri pertanian untuk didengarkan keterangannya sebagai saksi. Di sisi lain, sudah muncul anggapan dan kecurigaan bahwa kabinet tidak mampu dalam mengelola pengadaan daging sapi untuk kebutuhan dalam negeri. Ketidakmampuan itulah yang menyebabkan tingginya harga daging sapi saat ini.
Artinya, sekembalinya dari kunjungan kerja ke luar negeri, persoalan-persoalan seperti inilah yang idealnya direspons Presiden. Benar bahwa para menteri bidang ekonomilah yang seharusnya mengatasi persoalan. Namun, jika setelah sekian lama para menteri ekonomi nyata-nyata tidak mampu menurunkan harga daging sapi ke level yang ideal dan terjangkau daya beli rakyat, Presiden tidak bisa tinggal diam.
Presiden harus turun tangan langsung karena masalahnya riil dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Kini muncul lagi kekhawatiran lain. Karena Presiden mulai “nyambi” membenahi Demokrat, para menteri pun akan ikut-ikutan membenahi partainya masing-masing. Tidak mungkin tidak karena tahun ini semua partai politik peserta Pemilu 2014 harus bersiap. Berkonsolidasi memperkuat peran pengurus pusat dan pengurus daerah, hingga seleksi calon anggota legislatif.
Kalau sudah begitu keadaannya, apa mungkin kabinet bisa 100% fokus mengelola persoalan negara dan persoalan rakyat? Sudah pasti tidak. Dengan demikian, efektivitas kabinet pada bulan-bulan mendatang tidak akan ideal sebagaimana yang diharapkan Presiden. Seperti diketahui, Presiden pernah mengingatkan para menterinya untuk tetap fokus bekerja sesuai tugas dan fungsinya masing-masing kendati 2013 menjadi tahun politik.
Hal ini perlu diingatkan Presiden agar para menteri jangan sampai lebih memprioritaskan kepentingan partainya dibanding program pemerintah untuk kepentingan negara dan rakyat. Namun, harapan yang ideal itu akan sulit diwujudkan setelah Presiden mengambil alih kekuasaan dan semua kewenangan yang ada dalam struktur Demokrat, menyusul kisruh internal di partai itu. Bukan tidak mungkin beberapa menteri yang kebetulan menjabat ketua umum partai akan meniru langkah Presiden.
Tentu saja semua elemen masyarakat berharap efektivitas pemerintahan Presiden SBY tetap terjaga.Namun, jika Presiden pun mulai sibuk mengonsolidasi Demokrat, tidak mungkin efektivitas pemerintahannya bisa terjaga. Situasinya mungkin akan lebih memprihatinkan kalau para menteri ikut-ikutan tidak fokus pada tugasnya masing-masing.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI/ Presidium KAHMI Periode 2012-2017
(mhd)