Hukum mati hakim bermasalah

Kamis, 07 Februari 2013 - 09:03 WIB
Hukum mati hakim bermasalah
Hukum mati hakim bermasalah
A A A
Derajat sakral profesi hakim nyaris hilang. Akibat rentetan perilaku tercela sejumlah oknum hakim, profesi ini tidak hanya menuai cibir, tetapi juga mulai menjadi sasaran kecurigaan publik.

Derajat sakral profesi hakim nyaris hilang. Akibat rentetan perilaku tercela sejumlah oknum hakim, profesi ini tidak hanya menuai cibir, tetapi juga mulai menjadi sasaran kecurigaan publik.

Kecenderungan ini sangat berbahaya karena eksesnya akan berwujud pada ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan di negara ini.

Komisi III DPR RI baru saja memilih delapan orang untuk menjadi hakim agung. Sebelumnya Komisi Yudisial (KY) menyodorkan 24 calon untuk mengikuti fit and proper test calon hakim agung.

Delapan hakim agung yang terpilih masih belum memenuhi ekspektasi. Mereka hanya mampu memenuhi angka rata-rata atau baik, belum sangat baik.

Namun, karena Mahkamah Agung memang sangat membutuhkan tambahan hakim agung dan KY juga tidak memberikan pilihan yang ideal, akhirnya Komisi III DPR tetap disepakati untuk memilih delapan hakim agung setelah melalui perdebatan panjang.

Bisa dimaklumi jika persepsi publik terhadap korps hakim dan lembaga peradilan terus memburuk. Dalam dua sampai tiga tahun belakangan ini fakta tentang perilaku tercela sejumlah oknum hakim sudah sangat banyak yang digelar di ruang publik.

Laporan masyarakat tentang hakim bermasalah yang diterima KY sudah mencapai ribuan laporan per tahun. Volume pemberitaan tentang tindak pidana dan pelanggaran etika yang dilakukan oknum hakim pun terbilang cukup tinggi.

Kini berita-berita tentang kejahatan atau pelanggaran kode etik yang dilakukan oknum hakim tidak mengejutkan masyarakat. Perilaku tak terpuji hakim sudah dianggap sebagai peristiwa biasa. Peristiwa penangkapan hakim yang sedang pesta sabu di klub malam tidak lagi dianggap luar biasa.Kasus ini malah jadi tertawaan para pengedar narkoba.

Aspek keagungan profesi ini nyaris hilang karena publik sudah memersepsikan profesi hakim sama dengan profesi lain. Akibat itu tentu saja sangat serius.

Kepercayaan terhadap profesi hakim dan lembaga peradilan, cepat atau lambat, bisa hilang karena orang akan beranggapan bahwa peradilan dijalankan oleh para hakim yang tidak berhak menjadi “wakil Tuhan” di ruang pengadilan. Kecenderungan seperti itu tidak boleh dibiarkan berlarutlarut.

Harus ada upaya ekstra untuk menghentikannya. Karena itu, salut dan respek kepada begitu banyak hakim yang masih tetap konsisten menghormati dan menjaga keagungan profesi mereka.

Kendati negara belum memperlakukan mereka sebagaimana mestinya dan di tengah begitu banyak keterbatasan, mereka tetap setia menjaga harkat dan martabat sebagai “wakil Tuhan”. Rakyat berharap jumlah mereka tidak berkurang sebab merekalah tiang pancang yang bisa mencegah rubuhnya konstruksi keadilan di negara ini.

Seperti rakyat kebanyakan yang sedang kecewa dan geram, hakim-hakim baik itu pun sedang bersedih karena ulah tak terpuji kolega mereka.

Rentetan kasus pelanggaran hukum dan etika profesi hakim menyebabkan kredibilitas dan reputasi korps hakim di negara ini mulai dipertanyakan dan dipersoalkan publik. Ada puluhan oknum hakim yang terjerat kasus narkoba. Oknum hakim lainnya tak kuasa menahan godaan uang suap.

Ada hakim perempuan yang ketahuan berselingkuh. Oknum hakim lainnya diduga sudah “digarap” sindikat kejahatan narkoba karena yang bersangkutan bertindak sendiri meringankan hukuman pimpinan kartel narkoba dengan cara memalsukan vonis.

Aroma bau busuk tercium pada kasus oknum hakim yang diduga terlibat penyelundupan 30 kontainer BlackBerry. Tak kalah hebohnya adalah ulah oknum hakim pada sejumlah pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor).

Hingga Agustus 2012 misalnya KPK mencatat para hakim yang bertugas di pengadilan tipikor sudah membebaskan 71 terdakwa korupsi. Sejumlah vonis bebas akhirnya bermasalah karena kontroversial. Ada juga oknum hakim yang pernah membebaskan lima terdakwa korupsi.

Tahun lalu,di sela-sela Peringatan Hari Kemerdekaan RI, KPK menangkap dua hakim tipikor di Semarang, berikut bukti berupa uang suap Rp150 juta.

Tentu saja yang paling mencengangkan khalayak adalah terkuaknya kasus hakim agung Achmad Yamanie dan kasus hakim Puji Wijayanto. Tahun lalu KPK juga menangkap dua hakim tipikor, Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono, di Semarang.

Kasus hakim agung Yamanie dinilai sangat sudah sangat keterlaluan. Bayangkan, Yamanie bersama hakim agung Imron Anwari dan Nyak Pha sudah menganulir hukuman mati atas terpidana gem-bong narkoba Hangky Gunawan menjadi hukuman penjara 15 tahun.

Tetapi, Yamanie masih berusaha meringankan hukuman itu.Dia diduga memalsukan putusan dengan membubuhkan tulisan tangan vonis 12 tahun. Sementara hakim Puji Wijayanto ditangkap saat sedang berpesta sabu di sebuah klub malam.

Awal tahun ini perhatian masyarakat masih terfokus pada kasus vonis Pengadilan Tipikor Jakarta atas perkara Angelina Sondakh. Hingga hari-hari ini vonis untuk Angelina Sondakh itu masih menjadi bahan perbincangan masyarakat.

Mereka yang awam hukum menilai vonis itu tidak berkeadilan karena terlalu ringan. Apalagi pengadilan tidak mengeluarkan perintah untuk merampas harta hasil korupsi oleh yang bersangkutan.

Vonis itu sama sekali tidak memberi efek jera. Sanksi hukum mestinya lebih berat karena yang bersangkutan berstatus sebagai wakil rakyat yang sebelumnya menjadi bintang iklan: “Katakan,Tidak pada Korupsi!”.

Pemidanaan versus pembebasan


Adanya oknum hakim yang melakukan hangky pangky dalam sidang peradilan bukanlah hal baru.Memang di dalam peradilan hakim bisa memidanakan ataupun membebaskan seorang terdakwa.

Tidak tertutup kemungkinan ada mafia hukum yang bermain, baik untuk memidanakan atau membebaskan. Menurut Komisi Yudisial (KY), hingga triwulan ketiga 2012, KY sudah menerima 1.357 laporan tentang hakim bermasalah.

Sedangkan sepanjang 2011 jumlah laporan masyarakat tentang hakim bermasalah mencapai 1.724 laporan. Persepsi buruk ini bisa menjadi faktor tekanan psikologis bagi para hakim baikbaik yang bertugas di ruang sidang.

Sebagaimana diketahui bersama, masyarakat sangat emosional dalam menyikapi perkara-perkara korupsi dan kasus-kasus pelanggaran etika, baik yang dilakukan pejabat tinggi negara maupun daerah, serta oleh oknum anggota parlemen maupun para hakim sendiri.

Menghadapi emosi publik itu, posisi para hakim bisa menjadi serbasalah. Satu hal yang pasti, dia tidak boleh terpengaruh atau ikut-ikutan emosional. Dia harus tetap proporsional, mengacu pada pasalpasal dakwaan yang dirumuskan jaksa penuntut umum (JPU).

Namun, demi keadilan yang berkearifan, hakim kadang diminta membuat pertimbangan tambahan untuk mempertajam atau memproporsionalkan dakwaan.

Akhir-akhir ini sering terjadi polemik mengenai pemidanaan dan pembebasan. Misalnya dakwaan sudah kuat, tetapi vonis hakim ringan atau sebaliknya vonis yang berat untuk dakwaan yang lemah. Pencuri sandal dihukum berat, tetapi koruptor menerima vonis hakim yang ringan.

Dalam polemik seperti itu tetap saja hakim yang menjadi sasaran kecaman,terutama ketika rasa keadilan publik terusik. Dalam situasi seperti sekarang ini, korps hakim harus tetap tegar, setia, dan taat asas pada profesinya.

Sebagai “wakil Tuhan” di ruang sidang, hakim tidak boleh goyah. Menghadapi perkara korupsi misalnya, hakim harus bersedia dan mampu mendalami dan menghayati dakwaan JPU. Karena korupsi merugikan negara dan menyengsarakan rakyat, tidak salah juga kalau majelis hakim menunjukkan sikap kritis menyikapi dakwaan yang lemah.

Para ahli hukum, cerdik cendekia, dan elemen-elemen masyarakat boleh saja berpendapat dan beradu argumentasi atas suatu perkara yang sedang disidangkan.

Silakan saja data dan sinyalemensinyalemen berseliweran di ruang publik. Namun, korps hakim pada akhirnya harus tetap tegar dan mengacu pada bukti-bukti hukum yang relevan dengan perkara yang sedang disidangkan.

Komisi III DPR RI beberapa waktu lalu telah berinisiatif membentuk Panja Eksaminasi Putusan Mahkamah Agung. Tujuannya untuk melakukan eksaminasi apakah putusan yang dibuat MA telah memenuhi rasa keadilan dan tidak menciderai hukum.

Jika oknum hakim agung di MA bermasalah, ini jelas merupakan awal malapetaka karena puncak pencari keadilan berada di MA. Namun, apa lacur, niat baik tersebut disalahpersepsikan hingga diganjal oleh pihak tertentu.

Komisi III DPR RI tidak akan mencari-cari kesalahan para hakim.Komisi hukum ini justru memberikan dukungan penuh kepada para hakim, baik melalui regulasi ataupun anggaran.

Karena itu, jangan ragu untuk menghukum berat terdakwa korupsi. Jangan pula takut untuk memvonis bebas terdakwa yang tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan JPU.

Jika ada oknum hakim yang terbukti melakukan hangky pangky, saya tidak segan untuk mengusulkan agar hakim tersebut diberikan hukuman maksimal yakni hukuman mati.

AHMAD YANI
Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0092 seconds (0.1#10.140)