Revolusi mental birokrasi
A
A
A
Jika ingin melihat contoh nyata birokrasi melempem di dunia, Indonesia adalah salah satunya. Berbagai penyakit birokrasi seperti malaadministrasi dan kleptokrasi belum juga bisa sepenuhnya hilang dari birokrasi Indonesia.
Birokrasi kita belum sungguh-sungguh berjalan dengan sebagaimana mestinya. Yang tampak hanyalah kelihaian para pelaku birokrasi dalam menjadikan birokrasi sekedar sebagai tempat pelampiasan ambisi mereka untuk memperoleh hal-hal material seperti kekuasaan sekaligus kekayaan.
Praktik birokrasi di Indonesia masih jauh dari bentuk ideal.Lihat saja berbagai kasus korupsi yang menjerat birokrat kita. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama tahun 2011 sebagian besar pelaku korupsi di Indonesia adalah berlatar belakang pegawai negeri sipil (PNS) dengan jumlah 239 orang.
Data menunjukkan bahwa korupsi yang terjadi di pemerintah kabupaten adalah sebanyak 264, pemerintah kota 56, dan pemerintah provinsi 23 (Media Indonesia, 2012). Sungguh memiriskan bukan? Abdi negara bukan mengabdi, tetapi justru menggerogoti birokrasi.
Selain tentang “kebersihan”, bicara birokrasi adalah juga bicara tentang “melayani”. Menjadi birokrat adalah mengabdi, menjadi pelayan,bukan justru dilayani. Namun mari melihat sejenak bagaimana prestasi birokrat kita dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan.
Tim Penilai Kinerja Pelayanan Publik Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara menyatakan bahwa berdasarkan hasil survei tahun 2011 terhadap 183 negara, Indonesia menempati urutan ke-129 dalam hal pelayanan publik.
Indonesia masih kalah dari India, Vietnam,atau bahkan Malaysia yang sudah menempati urutan ke-61 dan Thailand di urutan ke- 70. Pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi kita sungguh minim, belum pantas diberi predikat berhasil. Birokrasi Indonesia masih sangat butuh dibenahi. Tak hanya dari tataran strategis, tapi juga pada tataran teknis.
Pembenahan yang sangat penting dilakukan adalah pembenahan mental para birokrat kita. Pelaku birokrasi Indonesia sudah seharusnya mengubah paradigma bahwa menjadi birokrat adalah menjadi abdi rakyat, bukan berlaku layaknya tuan yang kerap meminta pelayanan.
Birokrasi Indonesia juga tak boleh lagi penuh dengan penggemar kleptokrasi, yang mencari “santapan” sanasini dan menerobos posisi.
Lima tahun sudah reformasi birokrasi bergulir dan satu tahun sudah gagasan “Birokrasi Bersih dan Melayani” dideklarasikan di Universitas Indonesia oleh tokoh-tokoh nasional yang proreformasi birokrasi.
Tahun 2013 seharusnya sudah menjadi fase bagi birokrasi Indonesia dalam mengaplikasikan gagasan-gagasan tersebut dengan langkah-langkah di atas. Perubahan radikal mental para aktor birokrasi sudah selayaknya menjadi resolusi awal tahun, yang dilaksanakan dengan kerja sama berbagai stakeholder yang membutuhkan birokrasi Indonesia yang sungguh-sungguh bersih dan melayani.
Mental birokrasi kita harus menempuh jalan revolusi. Setidaknya terdapat empat hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan revolusi birokrasi yang bersih dan melayani. Pertama adalah profesionalisasi aparatur negara.
Aparatur negara atau biasa disebut dengan PNS selaku abdi negara harus menjadi pegawai yang memiliki kompetensi sebagai seorang birokrat yang profesional. Untuk mendapatkan PNS yang profesional tentu harus diawali dengan rekrutmen yang terbuka dan berdasarkan pada merit system, bukan spoils system. Kedua, peningkatan pelayanan publik.
Lahirnya UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sudah menjadi langkah awal yang baik untuk perbaikan kualitas pelayanan publik Indonesia. Namun hal tersebut hanya akan menjadi “regulasi kosong” jika tak disertai implementasi yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, seluruh sistem dan jajaran birokrasi harus terintegrasi dalam peningkatan pelayanan publik. Ketiga, peningkatan transparansi dan akuntabilitas publik. Birokrasi seharusnya ditujukan untuk rakyat. Oleh karenanya begitu wajar jika birokrasi menjadi sebuah sistem yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik.
Secara gradual, hal ini akan berpengaruh pada penciptaan kontrol eksternal atau kontrol sosial, yakni pengawasan sosial yangdilakukanolehmasyarakat terhadap berjalannya birokrasi.
Keempat, political will pejabat birokrasi. Tak dapat dimungkiri bahwa sistem feodal masih mendarah daging dalam tubuh birokrasi kita. Apa yang dilakukan atasan akan menjadi pengaruh besar terhadap bawahannya.
Revolusi mental birokrasi harus dimulai dari niat baik para “penguasa birokrasi”. Dengan demikian, proses revolusi ini akan lebih mudah untuk dieksekusi.
Pada akhirnya, birokrasi tak boleh sedikit pun merugikan rakyat. Tanpa perbaikan birokrasi, kekayaan rakyat akan terus digerogoti dan kebutuhan rakyat tak akan pernah sungguh-sungguh terlayani.
Sekali lagi, mental pelaku birokrasi harus segera diperbaiki.Tahun 2013 belumlah terlambat bagi birokrasi kita untuk reparasi diri. Yakin saja bahwa jika mental birokrasi Indonesia sudah mengalami revolusi, Indonesia maju bukan lagi hanya menjadi angan-angan atau ilusi.
Dr DEWI ARYANI
Anggota DPR RI Fraksi PDIP,
Duta UI untuk Reformasi Birokrasi Indonesia
Birokrasi kita belum sungguh-sungguh berjalan dengan sebagaimana mestinya. Yang tampak hanyalah kelihaian para pelaku birokrasi dalam menjadikan birokrasi sekedar sebagai tempat pelampiasan ambisi mereka untuk memperoleh hal-hal material seperti kekuasaan sekaligus kekayaan.
Praktik birokrasi di Indonesia masih jauh dari bentuk ideal.Lihat saja berbagai kasus korupsi yang menjerat birokrat kita. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama tahun 2011 sebagian besar pelaku korupsi di Indonesia adalah berlatar belakang pegawai negeri sipil (PNS) dengan jumlah 239 orang.
Data menunjukkan bahwa korupsi yang terjadi di pemerintah kabupaten adalah sebanyak 264, pemerintah kota 56, dan pemerintah provinsi 23 (Media Indonesia, 2012). Sungguh memiriskan bukan? Abdi negara bukan mengabdi, tetapi justru menggerogoti birokrasi.
Selain tentang “kebersihan”, bicara birokrasi adalah juga bicara tentang “melayani”. Menjadi birokrat adalah mengabdi, menjadi pelayan,bukan justru dilayani. Namun mari melihat sejenak bagaimana prestasi birokrat kita dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan.
Tim Penilai Kinerja Pelayanan Publik Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara menyatakan bahwa berdasarkan hasil survei tahun 2011 terhadap 183 negara, Indonesia menempati urutan ke-129 dalam hal pelayanan publik.
Indonesia masih kalah dari India, Vietnam,atau bahkan Malaysia yang sudah menempati urutan ke-61 dan Thailand di urutan ke- 70. Pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi kita sungguh minim, belum pantas diberi predikat berhasil. Birokrasi Indonesia masih sangat butuh dibenahi. Tak hanya dari tataran strategis, tapi juga pada tataran teknis.
Pembenahan yang sangat penting dilakukan adalah pembenahan mental para birokrat kita. Pelaku birokrasi Indonesia sudah seharusnya mengubah paradigma bahwa menjadi birokrat adalah menjadi abdi rakyat, bukan berlaku layaknya tuan yang kerap meminta pelayanan.
Birokrasi Indonesia juga tak boleh lagi penuh dengan penggemar kleptokrasi, yang mencari “santapan” sanasini dan menerobos posisi.
Lima tahun sudah reformasi birokrasi bergulir dan satu tahun sudah gagasan “Birokrasi Bersih dan Melayani” dideklarasikan di Universitas Indonesia oleh tokoh-tokoh nasional yang proreformasi birokrasi.
Tahun 2013 seharusnya sudah menjadi fase bagi birokrasi Indonesia dalam mengaplikasikan gagasan-gagasan tersebut dengan langkah-langkah di atas. Perubahan radikal mental para aktor birokrasi sudah selayaknya menjadi resolusi awal tahun, yang dilaksanakan dengan kerja sama berbagai stakeholder yang membutuhkan birokrasi Indonesia yang sungguh-sungguh bersih dan melayani.
Mental birokrasi kita harus menempuh jalan revolusi. Setidaknya terdapat empat hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan revolusi birokrasi yang bersih dan melayani. Pertama adalah profesionalisasi aparatur negara.
Aparatur negara atau biasa disebut dengan PNS selaku abdi negara harus menjadi pegawai yang memiliki kompetensi sebagai seorang birokrat yang profesional. Untuk mendapatkan PNS yang profesional tentu harus diawali dengan rekrutmen yang terbuka dan berdasarkan pada merit system, bukan spoils system. Kedua, peningkatan pelayanan publik.
Lahirnya UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sudah menjadi langkah awal yang baik untuk perbaikan kualitas pelayanan publik Indonesia. Namun hal tersebut hanya akan menjadi “regulasi kosong” jika tak disertai implementasi yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, seluruh sistem dan jajaran birokrasi harus terintegrasi dalam peningkatan pelayanan publik. Ketiga, peningkatan transparansi dan akuntabilitas publik. Birokrasi seharusnya ditujukan untuk rakyat. Oleh karenanya begitu wajar jika birokrasi menjadi sebuah sistem yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik.
Secara gradual, hal ini akan berpengaruh pada penciptaan kontrol eksternal atau kontrol sosial, yakni pengawasan sosial yangdilakukanolehmasyarakat terhadap berjalannya birokrasi.
Keempat, political will pejabat birokrasi. Tak dapat dimungkiri bahwa sistem feodal masih mendarah daging dalam tubuh birokrasi kita. Apa yang dilakukan atasan akan menjadi pengaruh besar terhadap bawahannya.
Revolusi mental birokrasi harus dimulai dari niat baik para “penguasa birokrasi”. Dengan demikian, proses revolusi ini akan lebih mudah untuk dieksekusi.
Pada akhirnya, birokrasi tak boleh sedikit pun merugikan rakyat. Tanpa perbaikan birokrasi, kekayaan rakyat akan terus digerogoti dan kebutuhan rakyat tak akan pernah sungguh-sungguh terlayani.
Sekali lagi, mental pelaku birokrasi harus segera diperbaiki.Tahun 2013 belumlah terlambat bagi birokrasi kita untuk reparasi diri. Yakin saja bahwa jika mental birokrasi Indonesia sudah mengalami revolusi, Indonesia maju bukan lagi hanya menjadi angan-angan atau ilusi.
Dr DEWI ARYANI
Anggota DPR RI Fraksi PDIP,
Duta UI untuk Reformasi Birokrasi Indonesia
(maf)