Koruptor Itu Manusia Bukan Angka

Senin, 06 April 2020 - 06:09 WIB
Koruptor Itu Manusia Bukan Angka
Koruptor Itu Manusia Bukan Angka
A A A
Maqdir Ismail
Advokat di Jakarta dan Staf Pengajar FH UAI

MASIH saja ada orang yang keberatan dengan pembebasan “koruptor” dan orang-orang yang sedang diadili karena di dakwa korupsi atau lagi di tahan dalam peroses penyidikan pekara korupsi. Bahkan banyak kecaman kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mewacanakan pembebasan warga binaan perkara korupsi.

Salah satu di antaranya Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik kemungkinan pembebasan warga binaan kasus korupsi yang telah berusia di atas 60 tahun yang telah menjalani 2/3 masa tahanannya dapat dibebaskan melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.

Kritik terhadap wacana Menteri ini begitu banyaknya dilakukan, oleh pengamat atau oleh orang-orang yeng menyebut diri anti korupsi, dan pernyataan sudah berbentuk “kebencian” yang disebar melalui berbagai berita, termasuk media sosial. Bahkan hampir sepeti “badai kebencian” yang disebar luaskan dan menerjang kedudukan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Terhadap krtitik atas rencana membebaskan warga binaan perkara korupsi ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan, hanya orang tumpul rasa kemanusiaannya yang tidak mau membebaskan narapidana dari lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan kondisi kelebihan kapasitas di tengah pandemi Covid-19.

Tentu pernyataan ini harus dianggap sebagai reaksi keras Menteri terhadap orang yang hanya melakukan keritik, tanpa mempertimbangkan bahwa para warga binaan itu sebagai manusia yang sama dengan pihak pengkritik. Sampai-sampai Menteri menyatkan, "Saya mengatakan hanya orang yang sudah tumpul rasa kemanusiaannya dan tidak menghayati sila kedua Pancasila yang tidak menerima pembebasan napi di lapas 'over' kapasitas,"

Sikap Menteri yang sudah membebaskan para warga binaan perkara tindak pidana umum, patut di hargai. Inilah bentuk penghargaan terhadap hak asasi manusia untuk mendapatkan jaminan kesehetan bagi mereka yang sedang menjalani hukuman. Apalagi, mengingat seperti di katakana oleh Menteri bahwa Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia sudah over kapasitas.

Korban PP 99 yang Melanggar UU
Yang selalu dijadikan dasar untuk tidak memberikan hak-hak warga binaan dalam perkara korupsi adalah ketentuan PP 99 Tahun 2012. Cukup banyak keterangan yang disampaikan pemerintah sesudah lahirnya peraturan pemerintah ini, antara lain, bahwa terhadap warga binaan kasus korupsi hanya akan diberikan remisi, jika bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar tindak pidana yang dilakukannya.

Dengan keberadaan PP 99/2012 inilah warga binaan perkara korupsi, tidak pernah akan mendapatkan remisi, kecuali bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dengan cara membuat penyataan adanya keterlibatan orang lain dalam perkara yang dihadapi. Bahkan, ada juga yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum tetapi toh tetap saja permintaan menjadi justice collaborator ditolak oleh Hakim. Karena putusan akhir ada pada Hakim dan tentu saja harus ada pesrsetujuan dari Penuntut Umum.

Dalam praktik hukum kita, penggunaan status justice collaborator untuk tujuan lain yaitu mengakui keterlibatan orang lain, telah digunakan dalam perkara Muhammad Muafaq Wirahadi, pemberi suap perkara mantan Ketua PPP M. Romahurmuziy. Diberi status justice collaborator oleh KPK dan Hakim, karena mengakui adanya pemberian uang kepada mantan Ketua PPP M. Romahurmuziy.

Tentu tidak salah kalau pemberian status justice collaborator ini dikatakan sebagai bentuk suap oleh penegak hukum kepada saksi dalam hal ini Muhammad Muafaq Wirahadi agar orang lain bisa dihukum. Keterangan dan kesaksian dari orang-orang semacam itu bertentangan dengan hal mendasar yaitu ajaran keadilan dan kebanaran, karena pembayaran atas kesaksian yang bernilai akan memberikan motivasi yang kuat kepada saksi untuk berbohong.

Ini adalah pemutar balikan hukum dan keadilan, karena seorang Terdakwa dibayar dengan kedudukan sebagai justice collaborator, akan diberi kemudahan dan pengurangan hukuman, sepanjang mengungkap aib orang lain, meskipun dia adalah pelaku utama dan ditangkap dalam operasi tangkap tangan. Dalam keadaan ini hukuman dijatuhkan bersandarkan pengakuan, bukan pada kebenaran bukti dari persidangan.

Sungguh sangat ironis, penegakan hukum untuk meberantas korupsi dalam perkara suap, tetapi kesaksian untuk menjerat Terdakwa lain disandarkan kepada “suap” atau hadiah terhadap saksi yang berani membuat keterngan dengan fakta yang tidak benar. Tentu tindakan ini bukan hanya tindakan yang tidak etis, tetapi justru mencederai keadilan dengan sikap yang culas dan penuh tipu daya.

Dari kepustakaan menyuap saksi bukan hal yang baru. Hal ini dapat diikuti dari perkara United States v Singeleton. Dalam perkaranya Singleton adalah seorang saksi dipersidangan bernama Napoleon Douglas membuat kesepakatan dengan Penuntut Umum, dimana pihak penuntut akan memberikan keringanan hukuman kalau dia berkata ‘jujur” dan memberikan bantuan susbstansial kepada Penuntut Umum. Adapun pihak pemerintah tidak akan menuntut atas pelanggaran yang lain, memberi tahu pengadilan adanya kerja sama dari Douglas dan akan mengajukan mosi yang meringankan bagi Douglas.

Sekarang ini dalam praktik hukum, setiap orang di dakwa dalam perkara korupsi, agar mendapat kemudahan harus berani berbohong untuk menarik orang lain dalam perkaranya. Inilah ironi dari PP 99/2012. Atas dasar itulah, seharusnya PP 99/2012 di batalkan.

Pembebasan Warga Binaan
Pembebasan warga binaan selain dapat melindungi nyawa para warga binaan juga melindungi para penjaga Lembaga Pemasyarakatan. Para penjaga dapat sepenuhnya melaksanakan anjuran pemerintah untuk tetap berada di rumah, karena selama masih ada warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan, tentunya para penjaga tersebut masih tetap harus menjalankan tugas mereka.

Tindakan membebaskan warga binaan ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai bentuk kebijakan. Pilihan terbaik adalah memberikan remisi sesuai dengan sisa masa hukuman, artinya membebaskan seluruh warga binaan.

Terlepas dari Lembaga yang akan mengeluarkan keputusan untuk membebaskan warga binaan, sebenarnya yang penting adalah keluarnya para warga binaan dari Lembaga Pemasyarakatan dan tentu saja hal ini diperlukan untuk memberikan perlindungan bagi keluarga pegawai Lembaga Pemasyarakatan dan masyarakat sekitar mereka dari acaman Covid 19 .

Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa negara hadir di semua sudut masyarakat. Dan ini juga untuk membuktikan bahwa manusia di atas segalanya dan hukum itu adalah untuk melindungi hak asasi manusia. Hak manusia untuk bebas dari kemungkinan mendapat penyakit ketika sedang menjalani hukuman.

Hal yang harus kita sadari bahwa koruptor itu juga manusia seperti kita, mempunyai keluarga, mempunyai anak dan isteri. Tentu keluarga mereka tidak berharap ada yang akan diantarkan langsung ke pemakaman sesudah kain kafannya di bungkus plasti dalam peti mati, tanpa sempat mampir ke rumah sekadar untuk melihat wajahnya terakhir.

Kami percaya, keputuasan terbaikmu pak Menteri ditunggu ribuan keluarga.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3869 seconds (0.1#10.140)