COVID 19 dan Perilaku Belanja Masyarakat Kita
A
A
A
Prof Dr Jony Oktavian HaryantoGuru Besar Manajemen Pemasaran, President University
Seiring dengan meningkatkan kasus pasien positif terpapar virus Covid-19, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk menerapkan social distance , yaitu mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain, termasuk mengurangi kontak tata muka langsung.
Langkah ini termasuk menghindari ke tempat-tempat yang ramai dikunjungi, seperti supermarket, bioskop, dan stadion. Imbauan pemerintah ini berikutnya diikuti dengan siswa yang belajar di rumah, demikian juga PNS dan banyak karyawan swasta bekerja dari rumah sehingga konsep work from home (WFH) menjadi populer akhir-akhir ini.
Meskipun kebijakan social distance ini sudah mulai berjalan dan banyak yang sudah menerapkan, ditandai dengan lengangnya jalan-jalan protokol di Jakarta yang biasanya macet dan sepinya pusat-pusat perbelanjaan, namun jumlah kasus pasien positif covid-19 semakin meningkat dari hari ke hari.
Sejak pertama kali diumumkan Presiden Jokowi, 2 Maret lalu, sebanyak dua kasus, data per 18 Maret menunjukkan sudah 227 kasus resmi. Menurut para pakar kesehatan masyarakat, ditengarai kasus resmi tersebut merupakan fenomena gunung es di mana data aktual di lapangan berkisar 5-10 kali dari yang dilaporkan.
Hal ini tentu menimbulkan kepanikan dan kecemasan di masyarakat mengingat virus corona ini cukup mematikan dan telah banyak korbannya. Berbeda dengan kasus virus SARS, di mana waktu itu media sosial belum semasif saat ini, maka sekarang hampir semua media sosial membahas tentang virus korona ini.
Menarik untuk dicermati bahwa kebijakan social distance yang diikuti WFH tersebut ternyata di sisi lain meningkatkan konsumsi belanja online masyarakat kita (Sindo , 14/3/2020). Data menunjukkan perusahaan ekspedisi SiCepat mencatat kenaikan volume pengiriman sebesar 13%, dan terus meningkat seiring bertambahnya kasus corona.
Hal yang sama berlaku juga untuk barang mewah di mana terjadinya peningkatan belanja barang mewah. Berkaca dari kasus China, pada awal masa karantina terjadi penurunan penjualan secara signifikan sehingga beberapa gerai produk fesyen terkemuka banyak yang menutup gerainya.
Namun setelah masa karantina dilonggarkan, menurut data dari Bloomberg (12/3/2020), masyarakat mulai kembali membeli barang mewah tersebut.
Fenomena ini ternyata telah dibahas oleh Solomon, Greenberg, & Pyszczynski (1991) dengan konsep Terror Management Theory (TMT). Dijelaskan bahwa ketika seseorang mengalami ancaman kematian, misalnya melalui berita terus-menerus tentang kematian, maka dalam dirinya akan mengaktifkan dua fenomena psikologis.
Pertama , adalah dengan meningkatkan atau mengubah cara pandangnya terhadap dunia dan budaya.
Kedua , adalah dengan meningkatkan self esteem yang didefinisikan sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu dan biasanya berhubungan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri, hal ini merupakan suatu ekspresi sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat di mana individu itu meyakini diri sendiri mampu, penting, berhasil dan berharga (diramu dari berbagai sumber).
Pada fenomena pertama, yaitu mengubah cara pandang terhadap dunia dan budaya, misalnya ditandai dengan meningkatnya jumlah pengunjung masjid setelah isu virus Covid-19 ini menyebar atau suatu keadaan di mana masyarakat menjadi lebih religius karena teringat dengan kematian.
Contoh lain, di Amerika Serikat, setelah kejadian runtuhnya menara kembar World Trade Center disebabkan serangan teroris membuat pengunjung gereja mengalami kenaikan yang signifikan (Ferraro, Shiv, & Bettman, 2005).
Fenomena kedua , yaitu terjadinya peningkatan self esteem untuk mengatasi stres akibat adanya ancaman kematian tersebut pada individu. Hal inilah yang menjelaskan fenomena terjadinya peningkatan pembelian barang mewah maupun belanja online setelah adanya berita ancaman kematian karena virus korona.
Ferraro et al (2005) dalam studinya menunjukkan bahwa ketika partisipan perempuan diberikan stimuli berita yang mengingatkan akan kematian, maka mereka akan lebih memilih roti cokelat dibandingkan dengan memilih salad sebagai makanannya. Artinya para perempuan tersebut ketika dihadapkan pada stres karena adanya berita yang mengingatkan kematian dan tidak lagi memedulikan risiko gemuk ketika makan roti cokelat.
Demikian juga partisipan yang lain ketika diberikan stimuli tentang berita yang mengingatkan kematian, secara rata-rata mereka jauh lebih besar mendonasikan uangnya untuk yayasan sosial.
Menarik untuk membahas fenomena kedua ini, mengingat meningkatnya kelas menengah di Indonesia, telah juga mendorong terjadinya konsumsi produk mewah dan pembelian online . Bisa terjadi pembelian tas atau telepon genggam mahal yang dulunya masih dipikir seribu kali sebelum membeli, tiba-tiba saja muncul keberanian membeli meskipun dibayar dengan kartu kredit.
Berita yang mengingatkan pada kematian mampu mendorong seseorang melakukan sesuatu di luar nalar walaupun ada kemungkinan setelah berita virus Covid-19 ini mereda maka datanglah penyesalan karena membeli sesuatu di luar kemampuan mereka dan akhirnya harus pusing dengan angsuran yang membebani setiap bulannya.
Di satu sisi, ini adalah peluang bagi produk bermerek dengan kategori mewah untuk melakukan pemasaran produknya. Konsumen yang merasa terancam self esteem -nya akan mencoba menutupi kegalauan mereka dengan membeli produk mewah tersebut dengan lebih mudah dibandingkan biasanya. Namun, sebagai pemasar perlu juga untuk memperhatikan etika, yaitu tidak memanfaatkan situasi bencana nonalam global dan kepanikan masyarakat ini untuk mendapatkan keuntungan sesaat.
Di lain pihak, sebagai konsumen, kita harus paham bahwa epidemi ini suatu saat akan mereda bahkan dikabarkan sudah ditemukan vaksinnya dan saat ini sedang dalam tahap uji coba. Tanpa vaksin pun, sebenarnya tubuh kita sudah mempunyai sistem imun untuk melawan virus tersebut. Oleh karena itu, tidak perlu takut atau panik berlebihan supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari ketika setiap bulan harus membayar cicilan produk mewah yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan.
Seiring dengan meningkatkan kasus pasien positif terpapar virus Covid-19, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk menerapkan social distance , yaitu mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi dengan orang lain, termasuk mengurangi kontak tata muka langsung.
Langkah ini termasuk menghindari ke tempat-tempat yang ramai dikunjungi, seperti supermarket, bioskop, dan stadion. Imbauan pemerintah ini berikutnya diikuti dengan siswa yang belajar di rumah, demikian juga PNS dan banyak karyawan swasta bekerja dari rumah sehingga konsep work from home (WFH) menjadi populer akhir-akhir ini.
Meskipun kebijakan social distance ini sudah mulai berjalan dan banyak yang sudah menerapkan, ditandai dengan lengangnya jalan-jalan protokol di Jakarta yang biasanya macet dan sepinya pusat-pusat perbelanjaan, namun jumlah kasus pasien positif covid-19 semakin meningkat dari hari ke hari.
Sejak pertama kali diumumkan Presiden Jokowi, 2 Maret lalu, sebanyak dua kasus, data per 18 Maret menunjukkan sudah 227 kasus resmi. Menurut para pakar kesehatan masyarakat, ditengarai kasus resmi tersebut merupakan fenomena gunung es di mana data aktual di lapangan berkisar 5-10 kali dari yang dilaporkan.
Hal ini tentu menimbulkan kepanikan dan kecemasan di masyarakat mengingat virus corona ini cukup mematikan dan telah banyak korbannya. Berbeda dengan kasus virus SARS, di mana waktu itu media sosial belum semasif saat ini, maka sekarang hampir semua media sosial membahas tentang virus korona ini.
Menarik untuk dicermati bahwa kebijakan social distance yang diikuti WFH tersebut ternyata di sisi lain meningkatkan konsumsi belanja online masyarakat kita (Sindo , 14/3/2020). Data menunjukkan perusahaan ekspedisi SiCepat mencatat kenaikan volume pengiriman sebesar 13%, dan terus meningkat seiring bertambahnya kasus corona.
Hal yang sama berlaku juga untuk barang mewah di mana terjadinya peningkatan belanja barang mewah. Berkaca dari kasus China, pada awal masa karantina terjadi penurunan penjualan secara signifikan sehingga beberapa gerai produk fesyen terkemuka banyak yang menutup gerainya.
Namun setelah masa karantina dilonggarkan, menurut data dari Bloomberg (12/3/2020), masyarakat mulai kembali membeli barang mewah tersebut.
Fenomena ini ternyata telah dibahas oleh Solomon, Greenberg, & Pyszczynski (1991) dengan konsep Terror Management Theory (TMT). Dijelaskan bahwa ketika seseorang mengalami ancaman kematian, misalnya melalui berita terus-menerus tentang kematian, maka dalam dirinya akan mengaktifkan dua fenomena psikologis.
Pertama , adalah dengan meningkatkan atau mengubah cara pandangnya terhadap dunia dan budaya.
Kedua , adalah dengan meningkatkan self esteem yang didefinisikan sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu dan biasanya berhubungan dengan penghargaan terhadap dirinya sendiri, hal ini merupakan suatu ekspresi sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukkan tingkat di mana individu itu meyakini diri sendiri mampu, penting, berhasil dan berharga (diramu dari berbagai sumber).
Pada fenomena pertama, yaitu mengubah cara pandang terhadap dunia dan budaya, misalnya ditandai dengan meningkatnya jumlah pengunjung masjid setelah isu virus Covid-19 ini menyebar atau suatu keadaan di mana masyarakat menjadi lebih religius karena teringat dengan kematian.
Contoh lain, di Amerika Serikat, setelah kejadian runtuhnya menara kembar World Trade Center disebabkan serangan teroris membuat pengunjung gereja mengalami kenaikan yang signifikan (Ferraro, Shiv, & Bettman, 2005).
Fenomena kedua , yaitu terjadinya peningkatan self esteem untuk mengatasi stres akibat adanya ancaman kematian tersebut pada individu. Hal inilah yang menjelaskan fenomena terjadinya peningkatan pembelian barang mewah maupun belanja online setelah adanya berita ancaman kematian karena virus korona.
Ferraro et al (2005) dalam studinya menunjukkan bahwa ketika partisipan perempuan diberikan stimuli berita yang mengingatkan akan kematian, maka mereka akan lebih memilih roti cokelat dibandingkan dengan memilih salad sebagai makanannya. Artinya para perempuan tersebut ketika dihadapkan pada stres karena adanya berita yang mengingatkan kematian dan tidak lagi memedulikan risiko gemuk ketika makan roti cokelat.
Demikian juga partisipan yang lain ketika diberikan stimuli tentang berita yang mengingatkan kematian, secara rata-rata mereka jauh lebih besar mendonasikan uangnya untuk yayasan sosial.
Menarik untuk membahas fenomena kedua ini, mengingat meningkatnya kelas menengah di Indonesia, telah juga mendorong terjadinya konsumsi produk mewah dan pembelian online . Bisa terjadi pembelian tas atau telepon genggam mahal yang dulunya masih dipikir seribu kali sebelum membeli, tiba-tiba saja muncul keberanian membeli meskipun dibayar dengan kartu kredit.
Berita yang mengingatkan pada kematian mampu mendorong seseorang melakukan sesuatu di luar nalar walaupun ada kemungkinan setelah berita virus Covid-19 ini mereda maka datanglah penyesalan karena membeli sesuatu di luar kemampuan mereka dan akhirnya harus pusing dengan angsuran yang membebani setiap bulannya.
Di satu sisi, ini adalah peluang bagi produk bermerek dengan kategori mewah untuk melakukan pemasaran produknya. Konsumen yang merasa terancam self esteem -nya akan mencoba menutupi kegalauan mereka dengan membeli produk mewah tersebut dengan lebih mudah dibandingkan biasanya. Namun, sebagai pemasar perlu juga untuk memperhatikan etika, yaitu tidak memanfaatkan situasi bencana nonalam global dan kepanikan masyarakat ini untuk mendapatkan keuntungan sesaat.
Di lain pihak, sebagai konsumen, kita harus paham bahwa epidemi ini suatu saat akan mereda bahkan dikabarkan sudah ditemukan vaksinnya dan saat ini sedang dalam tahap uji coba. Tanpa vaksin pun, sebenarnya tubuh kita sudah mempunyai sistem imun untuk melawan virus tersebut. Oleh karena itu, tidak perlu takut atau panik berlebihan supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari ketika setiap bulan harus membayar cicilan produk mewah yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan.
(zil)