Covid-19 dan Perubahan Global
A
A
A
Musa Maliki
Dosen Hubungan Internasional UPN Jakarta; Kandidat Doktoral Charles Darwin University, Australia
MANUSIA spesies modern berpikir bahwa dengan ilmu pengetahuan ilmiah, semuanya serbarasional, terprediksi, dan dapat dikendalikan. Kasus epidemi Covid-19 membuktikan bahwa konteks zaman modern, hidup manusia tetap penuh kekhawatiran, kepanikan, kegelisahan, tak menentu, tak terkendalikan, dan kondisinya di luar jangkauannya. Covid-19 belum ada obatnya dan masih belum jelas sebabnya.
Masyarakat internasional panik dan kesulitan dalam menyelesaikan isu Covid-19. Seperti yang tertulis di berita utama Bloomberg news : "Coronavirus conference gets cancelled because of coronavirus"
Apakah Covid-19 akan mengarah pada babak baru tatanan dunia global? Pertanyaan ini mungkin terlalu dini, tapi penting untuk direfleksikan.
Era Anthropocene
Anthropocene adalah tanda zaman manusia dalam kondisi ambivalen: manusia bisa mengendalikan alam sekaligus semesta/alam mengalami krisis (Chakrabarty, 2009). Batas tanda zaman ini agar mudah dipahami adalah saat terjadi revolusi pertanian atau awal era industrialisasi di saat pabrik-pabrik berdiri (faktor produksi) menjadi sumber kebebasan manusia.
Menurut Chakrabarty (2009), era anthropocene adalah tanda zaman spesies manusia merasa terlepas, berjarak dari alam dengan menguasainya, tapi faktanya mustahil. Faktanya, manusia bagian dari alam itu sendiri. Jadi, tindakan manusia saat ini adalah aksi degradasi atas alam.
Di era anthropocene , manusia menjadi pusat dari semesta (anthropocentrism) . Manusia unggul atas alam yang terdiri atas binatang, tumbuhan, dan seisi bumi (manusia). Keunggulan manusia mempunyai kesadaran bahwa alam adalah instrumen manusia yang kapan saja dieksploitasi.
Masalahnya, ukuran sejauh mana alam dieksploitasi sulit diukur. Hal ini mengingatkan pada nasihat Mahatma Gandhi: "the world has enough for everyone’s need, but not enough for everyone’s greed ". Nasihat ini mengingatkan pada manusia bahwa alam terbatas.
Era anthropocene ini, manusia terus-menerus mengakumulasi kapital yang materialistis tanpa henti (greediness) atas nama "pertumbuhan" dan "kemajuan". Saya tidak yakin kesadaran tentang "pertumbuhan" dan "kemajuan" bisa membawa umat manusia menjadi lebih baik, karena kini justru membawa pada malapetaka ekosistem.
Kesadaran akan itu faktanya adalah blind spot atau ketidaksadaran atas bahaya dari malapetaka ekosistem, seperti adanya tragedy of common , global warming , SARS, MERS, dan khususnya virus Covid-19.
Watak Hubungan Antarbangsa
Kaum realis dan liberalis hubungan internasional beserta para pengambil kebijakan global belum sampai pada frekuensi kesadaran kosmopolit, bahwa tantangan global warming dan malapetaka ekosistem dunia sudah menjadi urusan hidup-matinya umat manusia sebab kasus Covid-19 ini adalah tanda dari malapetaka itu.
Sayangnya, negara-bangsa (masyarakat internasional) sepertinya hanya mengalami kejutan sesaat ketika virus SARS dan MERS terjadi. Kini dunia masih panik atas virus Covid-19 yang terus menelan korban secara masif. Virus Covid-19 adalah tragedy of common umat manusia yang kini seharusnya menjadi momen penting bagi masyarakat internasional untuk lebih mengutamakan aspek lingkungan global, bukan ekonomi politik global.
Namun, beberapa masyarakat internasional masih saja memikirkan diri mereka sendiri. Hal ini relevan dengan teori realisme hubungan internasional bahwa sifat dasar alamiah negara adalah egois dan self-help. Bahkan secara teoretis, solidaritas antar negara dalam penanggulangan isu-isu kontemporer termasuk Covid-19 pun demi penyelamatan negaranya masing-masing, bukan adanya dorongan moral atau welas asih kemanusiaan.
Setiap negara di dunia sibuk mengurusi Covid-19 dalam negaranya. Sudah menjadi fakta bahwa Jepang dan Singapura terlihat terstruktur rapi dalam penanganan bahaya virus tersebut, sehingga level kepercayaan atas negara tersebut tinggi.
Sebaliknya, Indonesia menjadi negara yang membingungkan dan memiliki kepercayaan internasional yang rendah karena terlambat mengidentifikasi para korban positif Covid-19 dan ketika teridentifikasi pun atas inisiatif korban.
Di Indonesia, kita juga melihat fakta dalam pengecekan bandara yang kurang meyakinkan, pelacakan seseorang yang positif korona yang faktanya sulit dilacak dari mana sumbernya, komentar para menteri yang terkait justru jawabannya menambah kekhawatiran baik di kalangan nasional maupun global, kurangnya fasilitas untuk mengidentifikasi Covid-19 di beberapa daerah, adanya salah paham antaraparat pemerintah, khususnya antara daerah dan pusat.
Selain itu, hampir setiap negara di dunia membatasi lalu lintas orang, khususnya pada aplikasi visa yang melarang warga China, Korea, dan Iran, dan beberapa Italia untuk masuk ke negaranya. Di sini, syukurnya Indonesia sadar dan mengikuti tren global untuk melarang turis negara-negara tersebut.
Semua negara mengurusi dirinya masing-masing dengan caranya masing-masing dan saling belajar satu dengan yang lain. Namun, negara-negara di dunia belum mempunyai standar bersama dalam menangani Covid-19.
Lembaga WHO (1948) hanyalah lembaga formalitas urusan kesehatan dunia yang selama ini hanya mengurusi informasi kesehatan dunia dalam pendataan dan administrasi kesehatan dunia. Ketika sampai pada level kebijakan, permasalahan lebih kompleks terjadi ketika urusan kesehatan dikendalikan oleh para pemilik modal dan politisi dunia (Stoeva, 2016).
Kemungkinan Perubahan Tatanan Global
Mungkin terlalu dini membicarakan vaksin Covid-19. Namun, prediksi temuan antivirus Covid-19 tidak membuat masyarakat internasional sadar bahwa mengatasi wabah penyakit salah satunya dengan menjaga ekosistem dan lingkungan global.
Sistem kapitalisme global telah memenjarakan kesadaran umat manusia sehingga sistem apa pun yang lahir hanya akan beradaptasi ke dalamnya. Dorongan sistem ini mendukung kehendak manusia untuk terus merusak ekosistem dunia. Ketertindasan alam yang berujung pada krisis lingkungan dan rusaknya ekosistem dunia justru akan menghancurkan umat manusia sendiri sebab manusia bagian dari alam (Youat, 2014). Hal semacam ini membuat sulit masyarakat internasional untuk move on .
Padahal, masyarakat internasional perlu menyadari bahwa munculnya wabah epidemi Covid-19 seharusnya membuat mereka berhenti mengejar pertumbuhan ekonomi yang tak akan habisnya. Obsesi ekonomi-politik internasional hanya akan menambah ketidakadilan global, khususnya perlakukan semena-mena atas ekosistem alam dunia.
Planet kita perlu keseimbangan antara manusia dan alam demi mengatasi global warming dan efeknya, seperti munculnya Covid-19. Perubahan tatanan global perlu transisi yang signifikan: perlunya perubahan principal , bukan partikular; perlunya perubahan pola pikir dan metodologis bukan penanganan teknis.
Di sinilah manusia dituntut untuk belajar ( tidak ignorance) dan kritis atas dirinya sendiri. Harapannya, Covid-19 menyadarkan masyarakat internasional untuk menghormati alam dan belajar (memahami) kembali alam serta hidup berdampingan dengannya.
Dosen Hubungan Internasional UPN Jakarta; Kandidat Doktoral Charles Darwin University, Australia
MANUSIA spesies modern berpikir bahwa dengan ilmu pengetahuan ilmiah, semuanya serbarasional, terprediksi, dan dapat dikendalikan. Kasus epidemi Covid-19 membuktikan bahwa konteks zaman modern, hidup manusia tetap penuh kekhawatiran, kepanikan, kegelisahan, tak menentu, tak terkendalikan, dan kondisinya di luar jangkauannya. Covid-19 belum ada obatnya dan masih belum jelas sebabnya.
Masyarakat internasional panik dan kesulitan dalam menyelesaikan isu Covid-19. Seperti yang tertulis di berita utama Bloomberg news : "Coronavirus conference gets cancelled because of coronavirus"
Apakah Covid-19 akan mengarah pada babak baru tatanan dunia global? Pertanyaan ini mungkin terlalu dini, tapi penting untuk direfleksikan.
Era Anthropocene
Anthropocene adalah tanda zaman manusia dalam kondisi ambivalen: manusia bisa mengendalikan alam sekaligus semesta/alam mengalami krisis (Chakrabarty, 2009). Batas tanda zaman ini agar mudah dipahami adalah saat terjadi revolusi pertanian atau awal era industrialisasi di saat pabrik-pabrik berdiri (faktor produksi) menjadi sumber kebebasan manusia.
Menurut Chakrabarty (2009), era anthropocene adalah tanda zaman spesies manusia merasa terlepas, berjarak dari alam dengan menguasainya, tapi faktanya mustahil. Faktanya, manusia bagian dari alam itu sendiri. Jadi, tindakan manusia saat ini adalah aksi degradasi atas alam.
Di era anthropocene , manusia menjadi pusat dari semesta (anthropocentrism) . Manusia unggul atas alam yang terdiri atas binatang, tumbuhan, dan seisi bumi (manusia). Keunggulan manusia mempunyai kesadaran bahwa alam adalah instrumen manusia yang kapan saja dieksploitasi.
Masalahnya, ukuran sejauh mana alam dieksploitasi sulit diukur. Hal ini mengingatkan pada nasihat Mahatma Gandhi: "the world has enough for everyone’s need, but not enough for everyone’s greed ". Nasihat ini mengingatkan pada manusia bahwa alam terbatas.
Era anthropocene ini, manusia terus-menerus mengakumulasi kapital yang materialistis tanpa henti (greediness) atas nama "pertumbuhan" dan "kemajuan". Saya tidak yakin kesadaran tentang "pertumbuhan" dan "kemajuan" bisa membawa umat manusia menjadi lebih baik, karena kini justru membawa pada malapetaka ekosistem.
Kesadaran akan itu faktanya adalah blind spot atau ketidaksadaran atas bahaya dari malapetaka ekosistem, seperti adanya tragedy of common , global warming , SARS, MERS, dan khususnya virus Covid-19.
Watak Hubungan Antarbangsa
Kaum realis dan liberalis hubungan internasional beserta para pengambil kebijakan global belum sampai pada frekuensi kesadaran kosmopolit, bahwa tantangan global warming dan malapetaka ekosistem dunia sudah menjadi urusan hidup-matinya umat manusia sebab kasus Covid-19 ini adalah tanda dari malapetaka itu.
Sayangnya, negara-bangsa (masyarakat internasional) sepertinya hanya mengalami kejutan sesaat ketika virus SARS dan MERS terjadi. Kini dunia masih panik atas virus Covid-19 yang terus menelan korban secara masif. Virus Covid-19 adalah tragedy of common umat manusia yang kini seharusnya menjadi momen penting bagi masyarakat internasional untuk lebih mengutamakan aspek lingkungan global, bukan ekonomi politik global.
Namun, beberapa masyarakat internasional masih saja memikirkan diri mereka sendiri. Hal ini relevan dengan teori realisme hubungan internasional bahwa sifat dasar alamiah negara adalah egois dan self-help. Bahkan secara teoretis, solidaritas antar negara dalam penanggulangan isu-isu kontemporer termasuk Covid-19 pun demi penyelamatan negaranya masing-masing, bukan adanya dorongan moral atau welas asih kemanusiaan.
Setiap negara di dunia sibuk mengurusi Covid-19 dalam negaranya. Sudah menjadi fakta bahwa Jepang dan Singapura terlihat terstruktur rapi dalam penanganan bahaya virus tersebut, sehingga level kepercayaan atas negara tersebut tinggi.
Sebaliknya, Indonesia menjadi negara yang membingungkan dan memiliki kepercayaan internasional yang rendah karena terlambat mengidentifikasi para korban positif Covid-19 dan ketika teridentifikasi pun atas inisiatif korban.
Di Indonesia, kita juga melihat fakta dalam pengecekan bandara yang kurang meyakinkan, pelacakan seseorang yang positif korona yang faktanya sulit dilacak dari mana sumbernya, komentar para menteri yang terkait justru jawabannya menambah kekhawatiran baik di kalangan nasional maupun global, kurangnya fasilitas untuk mengidentifikasi Covid-19 di beberapa daerah, adanya salah paham antaraparat pemerintah, khususnya antara daerah dan pusat.
Selain itu, hampir setiap negara di dunia membatasi lalu lintas orang, khususnya pada aplikasi visa yang melarang warga China, Korea, dan Iran, dan beberapa Italia untuk masuk ke negaranya. Di sini, syukurnya Indonesia sadar dan mengikuti tren global untuk melarang turis negara-negara tersebut.
Semua negara mengurusi dirinya masing-masing dengan caranya masing-masing dan saling belajar satu dengan yang lain. Namun, negara-negara di dunia belum mempunyai standar bersama dalam menangani Covid-19.
Lembaga WHO (1948) hanyalah lembaga formalitas urusan kesehatan dunia yang selama ini hanya mengurusi informasi kesehatan dunia dalam pendataan dan administrasi kesehatan dunia. Ketika sampai pada level kebijakan, permasalahan lebih kompleks terjadi ketika urusan kesehatan dikendalikan oleh para pemilik modal dan politisi dunia (Stoeva, 2016).
Kemungkinan Perubahan Tatanan Global
Mungkin terlalu dini membicarakan vaksin Covid-19. Namun, prediksi temuan antivirus Covid-19 tidak membuat masyarakat internasional sadar bahwa mengatasi wabah penyakit salah satunya dengan menjaga ekosistem dan lingkungan global.
Sistem kapitalisme global telah memenjarakan kesadaran umat manusia sehingga sistem apa pun yang lahir hanya akan beradaptasi ke dalamnya. Dorongan sistem ini mendukung kehendak manusia untuk terus merusak ekosistem dunia. Ketertindasan alam yang berujung pada krisis lingkungan dan rusaknya ekosistem dunia justru akan menghancurkan umat manusia sendiri sebab manusia bagian dari alam (Youat, 2014). Hal semacam ini membuat sulit masyarakat internasional untuk move on .
Padahal, masyarakat internasional perlu menyadari bahwa munculnya wabah epidemi Covid-19 seharusnya membuat mereka berhenti mengejar pertumbuhan ekonomi yang tak akan habisnya. Obsesi ekonomi-politik internasional hanya akan menambah ketidakadilan global, khususnya perlakukan semena-mena atas ekosistem alam dunia.
Planet kita perlu keseimbangan antara manusia dan alam demi mengatasi global warming dan efeknya, seperti munculnya Covid-19. Perubahan tatanan global perlu transisi yang signifikan: perlunya perubahan principal , bukan partikular; perlunya perubahan pola pikir dan metodologis bukan penanganan teknis.
Di sinilah manusia dituntut untuk belajar ( tidak ignorance) dan kritis atas dirinya sendiri. Harapannya, Covid-19 menyadarkan masyarakat internasional untuk menghormati alam dan belajar (memahami) kembali alam serta hidup berdampingan dengannya.
(jon)