Covid-19 dan Kepercayaan pada Otoritas Informasi

Selasa, 17 Maret 2020 - 06:26 WIB
Covid-19 dan Kepercayaan pada Otoritas Informasi
Covid-19 dan Kepercayaan pada Otoritas Informasi
A A A
DrFirman Kurniawan S.

Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital

Pendiri LITEROS.org

OPINI masyarakat, terkait urusan apa pun, pada awalnya sangat bervariasi dengan spektrum tak terbatas. Setelah mencoba sajian tertentu yang sedang dibicarakan masyarakat misalnya, opini bisa berbunyi: makanan ini enak sekali, hingga makanan ini tidak enak sekali. Atau ketika menontonvariety showpemilihan bintang idola, pendapat yang beredar bisa dari sangat layak jadi idola hingga sangat tak layak jadi idola. Keragaman opini itu sah, tergantung selera maupun konteks yang menyertai saat komunikasi terjadi.

Maka ketika digambarkan, keragaman opini itu ibarat spiral dengan permukaan sangat lebar, representasi lebarnya spektrum lontaran pendapat, dan bergerak menyempit pada bagian akhirnya, menuju satu titik. Pergerakan opini ini boleh dianalogikan seperti sekrup atau pusaran air, yang bersama lewatnya waktu mengalami persinggungan dengan opini lain. Bertarung dengan opini yang lebih kuat argumentasinya, maupun yang lebih lemah.

Sumbernya media massa,key opinion leader, juga berasal daritrending topicmedia sosial, dalam konteks komunikasi digital hari ini. Akibat persinggungan, variasi opini berkurang. Ini boleh jadi karena sepakat dengan opini lain yang identik. Atau justru opini batal dilontarkan ketika beresiko bersinggungan dengan opini lain yang argumentasinya kuat dan arahnya berbeda. Ada kekhawatiran pemilik opini yang beda, ditindas pendapatnya oleh opini yang lebih kuat. Pemiliknya merasa lebih baik menyembunyikan pendapatnya, sementara atau selamanya daripada berhadap dengan risiko diisolasi akibat beredarnya opini arus utama. Pada tahap ini, spektrum opini menyempit, menuju satu titik keheningan.

Menggambarkan pergerakan opini dari yang semula berspektrum luas, menuju satu titik keheningan, dibahas pada teoriSpiral of Silence.Teori ini termasuk dalam varian teori media, dalam kaitannya dengan pembentukan opini publik. Ia digagas oleh Elizabeth Noelle-Neumann, ilmuwan politik awal 1970-an.

Relevansi membahas teori ini dengan konteks berjangkitnya Covid-19, adalah saat Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020 mengumumkan adanya dua pasien positif tertular. Opini yang akhirnya berkembang sangat berspektrum luas. Mulai dari ekspresi opini, bahwa penyakit yang sangat berbahaya ini akhirnya sampai juga di Indonesia—maka itu perlu memborong persediaan bahan makanan,hand sanitizer, masker dalam jumlah cukup untuk menghadapi kelumpuhan kehidupan sosial hingga waktu tak tentu—hingga ekspresi opini, penyakit ini tak lebih berbahaya dari flu. Maka kenapa harus panik ?

Dalam konteks menangani penyebaran virus yang bergerak sangat cepat, keragaman opini justru merugikan. Tak mudah menggerakkan perilaku masyarakat ke arah tindakan yang sama, jika opini masih beragam. Terlalu banyak wacana, tindakan bergerak ke segala arah. Maka tiada lain, otoritas informasi wajib membangun komunikasi yang menyelaraskan opini masyarakat. Dalam pengamatan pascapengumuman Presiden, otoritas informasi dijalankan Kementerian Kesehatan, tampak sudah bertindak lebih serius. Itu terlihat dengan ditunjuknya juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, berikut pemberlakuan protokol penanganan penyebaran virus. Apakah cukup?

Masyarakat yang khawatir merasa dirinya segera jadi tertular. Ini akibat persebaran yang sangat cepat dan merenggut nyawa berjumlah besar di waktu pendek. Mereka ada dalam ketakseimbangan informasi: bagaimana caranya agar saya terhindar dari penularan? Posisi ini membutuhkan informasi tepercaya untuk menyudahi ketidakseimbangan.

Namun, bukan soal tiadanya informasi yang jadi problem masyarakat di zaman komunikasi digital. Justru meledaknya produksi, distribusi sekaligus konsumsi informasi itu sendiri yang jadi soal. Pandemi Covid-19 diikuti infodemi penularan. Semakin mengonsumsi informasi, masyarakat makin berada dalam ketidakpastian. Cemas sebagai ekspresinya.

Bagaimana tidak, ketika Menteri Kesehatan menyebut angka kematian akibat flu lebih tinggi dari Covid-19, beberapa saat kemudian WHO menyatakan virus ini lebih berbahaya dari flu. Masyarakat beranjak, dari tenang menjadi gamang. Demikian pula ketika pemerintah memutuskan tak mengungkap identitas pasien yang positif tertular Covid-19, justru di saat yang sama otoritas kesehatan Singapura menguraikan narasi tentang terjangkitnya pasien: berapa usianya, dari mana kemungkinan sumber penularannya, maupun tempat terkahir yang dikunjungi sebelum tertular. Argumentasinya, agar masyarakat Singapura yang belum tertular menghindari sumber dan tempat penularan. Kembali masyarakat bertanya-tanya mengapa kebijakan Indonesia berbeda? Apa argumentasinya?

Dalam konteks penjelasan teoriSpiral of Silencedi atas, pergerakan opini menuju satu titik tampak dinegasikan oleh adanya opini tandingan. Opini yang diperoleh masyarakat dengan mudah lewat perangkat digitalnya mampu memenuhi kebutuhan informasi. Keheningan yang dibentuk lewat informasi Kementerian Kesehatan bersifat sementara, karena dibatalkan oleh informasi yang lebih kuat argumentasinya. Maka ketika saat ini yang dibutuhkan adalah menyempitnya opini menuju satu titik keheningan, tampaknya otoritas informasi Indonesia menghadapi problem defisitnya nilai informasi yang diproduksinya. Mungkin bukan lantaran tak bekerja keras, bukan sarana-prasarana yang tak memadai atau kurangnya keahlian memitigasi penularan Covid-19, melainkan opini yang diproduksi dan didistribusikan tak mampu membangun kepercayaan masyarakat.

Jalan keluar dari dilema informasi yang menyertai merebaknya virus dapat ditempuh lewat pemetaan wacana arus utama terkait Covid-19 yang menjadi keresahan masyarakat. Itu misalnya dilakukan dengan menyusuritrending topicmedia sosial. Ini tentu memerlukan disediakannya penjelasan yang tepat manakala timbul opini yang meragukan. Perlu politik bahasa dalam membangun kepercayaan masyarakat, sebab sejatinya kepercayaan tak bisa dibangun dalam satu malam.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5421 seconds (0.1#10.140)