Korona, Omnibus Law, dan Pelajaran Kebijakan

Senin, 16 Maret 2020 - 06:31 WIB
Korona, Omnibus Law,...
Korona, Omnibus Law, dan Pelajaran Kebijakan
A A A
Dr Telisa Aulia Falianty
Dosen dan Pengamat Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Tahun 2020 sungguh diawali dengan berbagai kejadian yang cukup mengejutkan. Awal tahun diawali dengan banjir besar terutama di Jakarta yang cukup berdampak luas. Disusul wabah virus korona yang kemudian dikenal dengan virus Covid-19 yang membuat kondisi menjadi semakin berat. Dari sisi regulasi, awal 2020 juga diramaikan dengan RUU Omnibus Law yang menuai harapan baru, namun juga ada berbagai kritik.

Perang dagang pada 2019 telah menekan perekonomian dunia termasuk Indonesia. Tahun 2020 merupakan tahun yang sudah diprediksikan akan berat untuk ekonomi akibat dampak perang dagang serta dampak lanjutan dari resesi global yang menyebabkan kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) belum pulih sebagaimana yang diharapkan. Kurva imbal hasil AS yang cenderung memiliki kemiringan negatif pada 2019 memberikan prediksi akan terjadinya resesi di AS pada 2020.

Ekonom ahli krisis ekonomi dan perekonomian global, Nourel Roubini, pada 2019 telah memprediksi 10 downside risk dari pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu perang dagang AS-China, terjadinya disrupsi pada global supply chain sehingga meningkatkan potensi stagflasi, perlambatan pertumbuhan ekonomi AS yang semakin akut, pasar modal AS yang mengalami pelemahan, utang di negara-negara berkembang dalam bentuk baru yang didenominasi dalam mata uang asing, kemampuan bank sentral untuk berperan sebagai lender of the last resort semakin terbatas, berbagai risiko ekonomi, keuangan dan politik di Eropa, serta dampak penurunan suku bunga Fed yang diikuti oleh penurunan bunga di dunia.

Namun, dalam kenyataannya, prediksi tersebut telah underestimate oleh faktor nonekonomi seperti isu kesehatan yang mengejutkan kita semua. Downside risk pertumbuhan ekonomi global menjadi jauh lebih besar karena faktor yang semula dianggap ceteris paribus ini.

Saat awal tahun, pemerintah masih yakin tidak akan terpapar virus korona, terus mengebut RUU Omnibus Law untuk mengejar target menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045. Awal ide omnibus law memang sangat baik, yaitu untuk mengatasi permasalahan perundang-undangan yang tumpang tindih baik antarsektor maupun antarkementerian/lembaga, juga antara pemerintah pusat dan daerah yang selama ini menjadi hambatan untuk meningkatkan daya saing ekonomi.

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi

Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2020 dari 3,1% menjadi 3,0%, dan kemudian meningkat menjadi 3,4% dari prakiraan semula 3,2% pada 2021. BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2020 akan lebih rendah, yaitu menjadi 5,0-5,4%, dari prakiraan semula 5,1-5,5%, dan kemudian meningkat pada 2021 menjadi 5,2-5,6%. IMF juga memangkas proyeksi ekonomi global menjadi 2,9%, 3,3% dan 3,4% untuk 2019, 2020 dan 2021. Proyeksi OECD untuk Indonesia akan tumbuh di angka 4,8% pada 2020 dan 5,1% pada 2021.

Indeks harga saham gabungan dan nilai tukar rupiah pun sebagai indikator keuangan yang sangat berubah cepat dalam jangka pendek menunjukkan tren terus melemah. Per 12 Maret 2020, IHSG menyentuh angka di bawah 5000 untuk pertama kali. Respons kebijakan yang cepat perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas pasar keuangan dan nilai tukar sebagai garda terdepan.

Respons Kebijakan

OECD telah membuat interim report dan mengajukan empat kelompok saran kebijakan untuk mengantisipasi dampak korona agar pertumbuhan ekonomi dunia tidak terlalu jatuh. Pertama , kebijakan yang paling urgen dibutuhkan adalah ukuran kebijakan untuk memastikan kesehatan publik yang efektif. Kedua , kebijakan untuk menghindari dampak negatif outbreak terhadap kelompok sosial yang vulnerable . Perusahaan dan pekerja yang mengalami disrupsi pendapatan temporer perlu dilindungi.

Ketiga , kebijakan untuk menjaga likuiditas yang cukup dari sistem keuangan merupakan kebijakan kunci yang mengizinkan bank untuk menyediakan bantuan pada UKM dan perusahaan yang terancam bangkrut. Kebijakan moneter yang dapat dilakukan adalah dengan menurunkan kewajiban giro wajib minimum (GWM) bagi perbankan. Fasilitas transaksi swap antarnegara oleh bank sentral perlu untuk dimanfaatkan untuk mengantisipasi terjadinya arus modal keluar dan berkurangnya pendapatan ekspor dan pariwisata. Keempat , bantuan fiskal temporer perlu diimplementasikan untuk mendukung sektor-sektor yang paling terdampak, yaitu sektor perjalanan dan wisata. Bantuan fiskal temporer untuk pekerja yang terkena PHK juga perlu disiapkan.

Mengacu pada laporan OECD tersebut, pemerintah Indonesia telah cukup sigap merespons dan sejalan dengan saran kebijakan OECD tersebut. Kementerian Keuangan menyiapkan bantuan berupa fasilitas PPH 21 dan 25 yang ditanggung pemerintah, penundaan selama enam bulan untuk pajak hotel dan restoran, pemberian subsidi tiket pesawat untuk rute tertentu, serta penambahan dana untuk kartu sembako bagi masyarakat vulnerable.

Dari sisi kebijakan moneter, Gubernur BI pada 11 Maret 2020 menyampaikan bahwa akan terus menjaga stance kebijakan moneter akomodatif pada 2020. Bank Indonesia juga akan mengimplementasikan kebijakan makroprudensial akomodatif yang akan diperluas untuk pengembangan UMKM dan sektor prioritas, termasuk ekspor dan pariwisata.

Selain kebijakan moneter bersifat makro oleh bank sentral , secara mikro di perbankan dan pasar saham, Otoritas Jasa Keuangan juga telah merespons dengan relaksasi pengaturan penilaian kualitas aset kredit dengan plafon sampai dengan 10 miliar dan relaksasi pengaturan restrukturisasi kredit yang disalurkan kepada debitur di sektor yang terdampak penyebaran virus korona.

Pelajaran Kebijakan


Momentum terjadinya virus korona memberikan hikmah kepada kita untuk lebih bersatu lagi ke depannya dan mencari solusi dari berbagai permasalahan bangsa. Pro dan kontra dari omnibus law harus dianggap sebagai proses alamiah pendewasaan demokrasi sehingga kita bisa mendapatkan regulasi yang benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan Indonesia di masa depan.

Beberapa pelajaran penting kebijakan untuk Indonesia dengan berbagai fenomena yang terjadi saat ini adalah: Pertama , diperlukan peningkatan kecepatan respons terhadap perubahan global di berbagai bidang. Perubahan cepat dari sektor kesehatan, teknologi, geopolitik global, dan perubahan regulasi.

Kedua , peningkatan sinergi, koordinasi, dan kolaborasi agar ada orkestra dan harmonisasi kebijakan. Tujuannya agar dihasilkan kebijakan yang optimal untuk menghadapi berbagai permasalahan bangsa yang semakin kompleks. Koordinasi dan sinergi kebijakan publik harus melibatkan publik dan multi-stakeholder agar mendapatkan masukan yang baik dalam implementasi. Banyaknya kritik belakangan ini terhadap omnibus law salah satu kemungkinannya disebabkan oleh kurangnya masukan dari stakeholder.

Ketiga , pentingnya menjaga kejelasan, kredibilitas, dan konsistensi kebijakan. Sering kali masyarakat menjadi kebingungan dengan berbagai simpang siur informasi, masih ada beberapa isu yang dianggap di mana aparat pemerintah masih menunjukkan ego sektoral dan tujuan untuk menenangkan dengan memberikan pernyataan yang cenderung overoptimistis, namun kadang kurang realistis sehingga mengurangi kewaspadaan terhadap krisis ekonomi ataupun terhadap kejadian penyebaran virus.

Sering kali kita dianggap oleh pihak luar telat merespons. Itu karena adanya misinformasi akibat overoptimisme yang kadang kala bisa menghasilkan tindakan yang kurang optimal karena ekspektasi yang terbentuk menjadi tidak akurat.

Keempat , dalam jangka menengah, kita perlu memperkuat kebijakan berbasis riset. Selama ini pembuatan kebijakan sering kali terburu-buru dan kurang didukung oleh riset yang kuat. Naskah akademik yang menjadi kewajiban sebelum suatu peraturan terbentuk sering kali dibuat terburu dengan anggaran seadanya dan terkesan hanya untuk formalitas.

Dengan berbagai pelajaran ini, kita harapkan menjadi pembelajaran Indonesia ke depannya untuk menjadi negara maju berpendapatan tinggi dan lebih sejahtera pada 2045, sesuai cita-cita Indonesia Maju sebagaimana disampaikan Presiden Jokowi pada pelantikannya di depan Sidang MPR pada 20 Oktober 2019.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7361 seconds (0.1#10.140)