Menggejalanya 'The Banality of Evil'

Sabtu, 14 Maret 2020 - 07:20 WIB
Menggejalanya The Banality of Evil
Menggejalanya 'The Banality of Evil'
A A A


Muhammad Ghozi Alfatih

Asisten Menaker RI Bidang Perencanaan dan Kebijakan

ADOLF Eichmann adalah tokoh kunci yang menyusun rencana pengumpulan, pengangkutan, dan pembunuhan para tawanan Nazi. Namun anehnya, salah satu arsitek pemusnahan jutaan umat Yahudi yang reputasinya dianggap tak kalah kejam dibandingkan dokter Josef Mengele yang berjuluk “The Angel of Death” itu justru merasa heran, mengapa ia begitu dibenci oleh banyak orang.

Dalam sidang pengadilannya pada 1961, Eichmann menyatakan bahwa dirinya sekadar melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, dan baginya itu bukanlah hal buruk. Bahkan sebagaimana dikutipThe Guardian(12 Agustus 1999), di buku hariannya saat berada dalam penjara, Eichmann menulis: "Perintah itu adalah hal tertinggi dalam hidup saya, dan saya harus mematuhinya tanpa pertanyaan."

Apakah Eichmann tergolong psikopat kelas berat atau mengalami gangguan jiwa yang mendorongnya bertindak di luar batas kemanusiaan? Tidak. Enam psikiater yang bertugas memeriksanya menyimpulkan bahwa Eichmann normal, alias waras, serta punya kehidupan keluarga yang wajar layaknya rata-rata orang.

Lantas, mengapa orang "normal" (ordinary people) semacam Eichmann bisa berubah menjadi monster hanya karena dorongan perintah dari luar (kehendak) dirinya?

Stanley Milgram menyodorkan jawaban berdasarkan hasil sembilan belas rangkaian eksperimen ilmiahnya tahun 1960–1963 tentang kepatuhan (obedience experiment), yang sangat terkenal di kemudian hari. Pakar psikologi sosial dari Yale University itu menandaskan bahwa perintah yang dikeluarkan oleh otoritas yang dianggap sah (legitimate authority) akan membuat seseorang merasa tidak bersalah ketika melakukan tindakan jahat terhadap orang lain, dalam rangka mematuhi perintah tersebut (Milgram, 2009).

Bila kita cermati, kesimpulan Milgram yang cukup menghebohkan itu sebenarnya tak hanya sesuai untuk menjelaskan kontroversi kasus Eichmann di awal ‘60-an, tapi juga sangat relevan digunakan sebagai salah satu sudut pandang untuk memahami tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia belakangan ini.

Barisan anak muda yang dengan sukarela menjadi mesin pembunuh ISIS yang luar biasa sadis di Irak dan Suriah, misalnya, adalah contoh produk buruk yang dihasilkan oleh pengaruh otoritas politik-keagamaan di lingkaran mereka.

Begitu pula yang terjadi di India beberapa waktu lalu. Provokasi yang dilancarkan otoritas politik kelompok berhaluan ekstrem-fundamentalis berperan sangat penting dalam memantik kekerasan massal umat Hindu terhadap kaum minoritas muslim.

Jika ditarik ke dalam konteks Indonesia kekinian, situasinya mungkin agak berbeda atau tidak segawat yang terjadi di Irak, Suriah, dan India. Tetapi sulit dimungkiri bahwa pintu-pintu prakondisi ke arah sana telah terbuka lebar, yang dipicu oleh setidaknya tiga faktor, yaitu:

Pertama, munculnya banyak sekali juru bicara agama di ruang-ruang publik yang sebetulnya tidak berkompeten dan kredibel, yang menyebabkan menyebarnya otoritas keagamaan secara serampangan di kalangan kaum awam, yang rentan disalahgunakan untuk mengeksploitasi sentimen primordial-sektarian.

Kita sekarang kerap menyaksikan para artis dan mualaf mendadak berpenampilan layaknya seorang ustaz atau ulama. Atas nama dakwah dan "berhijrah", mereka dengan enteng memompakan gairah eksklusivisme dan formalisme agama ke tengah-tengah masyarakat, kendati tanpa didasari pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang memadai.

Kedua, masifnya penggunaan media sosial sebagai sarana informasi dan komunikasi antarpersonal yang memudahkan siapa pun mengakses berita serta isu-isu dari berbagai sumber, termasuk ceramah atau komentar-komentar kasar yang disuarakan oleh para tokoh masyarakat.

Bagi masing-masing pengikutnya, pernyataan yang dilontarkan sang tokoh tentu saja rawan dimaknai sebagai "titah" otoritatif yang seyogianya diyakini dan ikuti, meski tak jarang bernuansa kekerasan atau bersifat konfrontatif.

Ketiga, menguatnya pembenaran ideologis (ideological justification) yang turut memotivasi kaum awam untuk melibatkan diri dalam aksi kekerasan terhadap orang atau kelompok lain yang diyakini memang pantas diserang atau "dihukum".

Ironisnya, ketiga faktor di atas seakan justru cenderung dimanfaatkan oleh sebagian pihak sebagai bahan baku untuk mengibarkan politik identitas dalam gelanggang kontestasi demokrasi, yang aromanya mulai menyengat tajam semenjak proses Pemilihan Gubernur DKI Jakarta dua tahun lalu.

Masyarakat pun menjadi mudah terbelah berdasarkan preferensi politik serta latar belakang agama dan keyakinan, yang pada gilirannya menyuburkan agresivitas, sekaligus menstimulasi lahirnya meminjam istilah Sam Keen hostile imagination(khayalan permusuhan), sebuah bentuk manipulasi pikiran melalui aneka macam propaganda, seperti ujaran, tulisan, dan gambar yang diputarbalikkan (distorted) atau pun dipelintir (twisted), demi memersepsikan orang lain yang berbeda sebagai musuh, dengan bergam atribut menyeramkan, semisal: sesat, jahat, nista, dajal, togut, dan semacamnya.

Dalam situasi seperti ini, kepatuhan pada otoritas (sosial, politik, maupun agama) yang bersifat destruktif sebagaimana disinyalir Milgram akan mudah menjangkiti berbagai kelompok masyarakat, mengubah mereka menjadi para pelaku kekerasan atau kejahatan tanpa perasaan bersalah, atau yang diistilahkan Hannah Arendt sebagai wujudthe banality of evil. Anggota suatu ormas, misalnya, menjadi bersikap beringas karena instruksi pimpinannya. Kader partai berubah agresif lantaran anjuran konfrontasi dari lapisan elitenya.

Pendek kata, sikap dan tindakan amoral cenderung menyeruak dari dalam diri banyak orang, serta dipandang sebagai sesuatu yang banal; biasa, lumrah, dan minus beban tanggung jawab. Kekerasan yang dilakukan tak lagi terkait erat dengan rekam jejak kriminal ataupun watak jahat pelakunya, tetapi lebih dimaknai sebagairefleksi the state of agency, yakni ekspresi kepatuhan demi pemenuhan harapan orang/pihak lain, yang diyakini otoritasnya dalam menyampaikan perintah atau anjuran.

Maka sudah saatnya semua pihak menyadari bahaya yang sedang mengintai situasi sosial masyarakat kita tersebut, sembari bersama-sama berupaya mengantisipasinya secara serius sebelum terlambat.

Para pemuka agama sebaiknya berdakwah dengan lebih santun, seraya menghormati kemajemukan masyarakat. Bukan malah mengeksploitasi sentimen primordial umatnya, apalagi sampai mengumbar fatwa-fatwa yang berpotensi memantik pertikaian di kalangan masyarakat awam.

Aparat penegak hukum pun mesti berusaha keras menghadirkan kepastian hukum serta tidak boleh tunduk pada tekanan dari siapa pun, yang malah akan memperlebar celah penyalahgunaan otoritas komunal (informal) untuk memobilisasi tindakan melawan hukum.

Media massamainstreamjuga perlu memikirkan cara penyajian berita yang lebih bijak, tidak sekadar memperhatikan aspek sensasinya. Kritik sekeras apa pun memang harus terus ditumbuhkan, agar ruang wacana publik semakin kondusif bagi perkembangan demokrasi.

Namun, di tengah menjamurnya fenomenapost-truthseiring dengan masuknya era komunikasi tanpa batas yang banyak dijejali oleh informasi-informasi manipulatif dan distortif, terutama di berbagai platform media sosial, peran media massamainstreamuntuk ikut membangun opini publik yang sehat dan berkualitas sangatlah vital, demi memperkuat imunitas masyarakat terhadap aneka macam agitasi dan provokasi yang merusak.

Last but not least, pemerintah tentu saja merupakan pihak yang paling berkewajiban menjaga kohesivitas sosial di tengah kehidupan bangsa yang berbineka. Melalui wakil presiden (wapres), misalnya, pemerintah sesungguhnya bisa berbuat banyak untuk mengoptimalkan program-program yang mengemban misi deradikalisasi dan penguatan spirit kebangsaan.

Dengan menyandang figur ulama, wapres sebetulnya memiliki kredibilitas untuk berusaha merajut semua kelompok masyarakat, termasuk faksi-faksi garis keras, demi memompakan semangat persatuan dalam perbedaan (unity in diversity).

Tetapi mesti disadari pula, bahwa kerja-kerja positif pemerintah apa pun itu pasti bakal menemui jalan terjal jika kebijakan-kebijakan resmi yang dihasilkannya justru dirasakan kurang berpihak pada aspirasi rakyat. Pada saat yang sama, pemerintah perlu bersikeras memastikan pula supaya tidak terjadiabuse of powerdi jajaran birokrasinya, sehingga tidak melahirkan kekerasan struktural yang berkontribusi penting bagi persemaian benih-benih kekerasan individual dan komunal.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4860 seconds (0.1#10.140)